Saturday, September 14, 2019

1 SAMUEL 12:1-7

1 SAMUEL 12:1-7
ESTAFET KEPEMIMPINAN
Bahan Khotbah Ibadah Minggu
15 SEPTEMBER 2019

P E N D A H U L U A N
Seorang pemimpin yang baik bukan saja suskes melaksanakan tangung-jawab kepemimpinannya, melainkan juga mampu menyiapkan proses peralihan tampuk kepemimpinan dari dirinya sendiri kepada orang lain. Paling tidak inilah yang terjadi dalam bacaan kita ini.

Suksesi kepemimpinan di Israel ini bermula dari keinginan umat Israel untuk dipimpin oleh seorang raja. Mengapa mereka menginginkannya. Alasannya dapat kita temukan pada 8:1-5,yakni:
1.      Samuel telah berusia lanjut (ay.1)
2.      Samuel menunjuk anak-anaknya, Yoel dan Abia menggantikan dirinya namun prilaku anak-anaknya tidak benar, korup dan memutarbalikkan keadilan (ay.2,3)
3.      Israel ingin seperti bangsa-bangsa lain yang memiliki raja yang kelihatan dan tidak seperti Allah yang tidak terlihat (ay.5).    

Menarik sekali bahw apenolakan kepada Samuel dan permintaan mendapatkan raja yang dituntut oleh orang Israel itu bukan sesungguhnya menolak Samuel. TUHAN, Allah Israel menyampaikan kepada Samuel bahwa tindakan mereka adalah menolak AKU (8:7). Silakan bayangkan, bahwa Allah ditolak mereka sebagai raja. Maka sistem pemerintahan Teokrasi (dipimpin oleh Allah) berubah menjadi Monarki (dipimpin oleh raja).


EXEGESE TEKS (Uraian Perikop)
Arti nama Samuel berasal dari bahasa Ibrani שְׁמוּאֵל (BACA: Shemu’el) yang berarti namanya adalah Allah. Beberapa catatan penting di dalam Alkitab tentang Samuel sangat menarik. Ia disebut sebagai hakim terakhir dan juga terbesar (Kis.13:20), ia disebut sebagai nabi pertama di Israel (Kis.3:24), dan dianggap sebagai tokoh yang terbesar dan paling dihormati setelah Musa ketika TUHAN menyebut dua nama ini (Yer.15:1). Pada perikop ini, Samuel mohon diri kepada Israel dan pamit, setelah selesai melaksanakan suksesi tersebut. Terdapat beberapa catatan penting dalam perikop ini, yakni:

1.      Dua Kali Suksesi?
Kesan yang kita dapatkan jika membaca pasal 8 setelah Saul di urapi menjadi raja, bukankah suksesi sudah terjadi? Mengapa saat itu Samuel tidak langsung pamit? Bahkan jika membaca pada ayat 2 kita menemukan bahwa Samuel mengakui Saul sebagai penggantinya, namun juga menyebut anak-anaknya yang meneruskan tanggung jawabnya?

Ternyata kita harus membedakan antara kepemimpinan Politik dan kepemimpinan Spiritual. Samuel bukan saja seorang hakim (pemimpin wilayah) bagi umat Israel waktu itu, ia juga adalah seorang nabi yang dipercayakan Allah untuk menuntun kehidupan rohani umat (pemimpin spiritual). Tidak heran jika hanya Samuel-lah yang boleh mempersembahkan korban (10:8; 13:11,12). Ketika raja Saul diurapi, suksesi kepemimpinan baru pada aspek politis (pemimpin wilayah) dan belum pada aspek rohaniah (pemimpin Spiritual).

Dengan demikian, ketika Samuel pamit pada perikop kita saat ini, itu berarti pamit sebagai pemimpin wilayah karena telah ada Saul. Di sisi lain, ketika ia menyebut: bukankah anak-anakku laki-laki ada di antara kamu?” (ay.2) menunjukkan bahwa ada kesan bahwa ia juga meletakkan jabatan sebagai pemimpin spiritual (nabi) bagi umat Israel.

2.      Samuel menunjuk anak-anaknya (ay.2)
Tidak dapat dipahami mengapa Samuel masih tetap menunjuk anak-anaknya, yakni Yo’el dan Abia sebagai penerusnya di bidang kerohanian. Padahal telah dicatat bahwa mereka tidak seperti ayahnya. Hidup mereka sebagai pemimpin spiritual dapat dikatakan “jauh panggang dari api” alias tidak memenuhi syarat. Bagaimana mungkin tetap mempertahankan status quo? Apakah karena mereka adalah garis ketutunan langsung dari Samuel?

Jika kita telusuri lebih lanjut, ternyata TUHAN, Allah Israel tidak mengfungsikan Yoel dan Abia sebagai posisi penerus Samuel. Hal ini terbukti ketika Tuhan sendiri memanggil ulang Samuel (dan bukan anak-anaknya) untuk mengurapi Daun menjadi raja menggantikan Saul yang tidak dikendaki Allah (1 Samuel 16).  
 
3.      Samuel Mempertanggung-jawabkan Kinerjanya (ay.3-5)
Perhatikanlah apa yang dilakukan oleh Samuel ketika tiba waktunya untuk menyerahkan tampuk kepemimpinan kepada pemimpin yang baru. Ada dua hal penting yang dibuat Samuel:
a.      Sadar diri
Perhatikan alasan utama Samuel mengundurkan diri: tetapi aku ini telah menjadi tua dan beruban (ay.2). Samuel sadar diri bahwa usianya sudah lanjut dan fisiknya tidak sekuat waktu ia masih muda. Tentulah faktor ini mempengaruhi kemampuannya untuk melaksanakan tugas ganda kepemimpinan di Israel.

Samuel terkategori sebagai pemimpin yang “tahu diri” dan mampu dengan sadar menerima kekurangannya itu agar kepentingan orang banyak tidak terabaikan karena “kondisi lamban” yang ada pada dirinya akibat faktor usia. Pemimpin yang baik harus mampu untuk sigap dan giat bekerja dan memahami kapan untuk berhenti.

b.      Pertanggung-jawaban
Lihatlah bagaimana Samuel menyampaikan kalimat penting pada ayat 3-5. Ia meminta umat Israel untuk menjadi “hakim” tentang apa yang sudah ia lakukan, sekaligus siap dituding jari tentang kesalahan apa yang sudah ia perbuat (ay.3). Pada tahap berikutnya, ia kemudian menpertanggung-jawabkan perbuatannya di hadapan Allah dan menjadikan TUHAN sebagai saksi dari semua tindak tanduk perbuatannya selama melaksanakan tugas yang ia emban (ay.5).

Pada dua model pertanggung-jawaban itu, Samuel dinyatakan bersih. Pemimpin yang baik adalah pemimpin yang bersedia untuk siap dinilai dan dimintakan pertanggung-jawaban. Samuel adalah contoh pemimpin yang dimaksud. Bukan saja siap bertanggung-jawab, namun juga mengantisipasi pertanggung-jawaban itu dengan cara melakukan yang terbaik saat mengemban tugas, supaya ketika tiba waktunya untuk mempertanggung-jawabkan segala sesuatu di hadapan manusia dan terutama di hadapan TUHAN, ia didapati layak dan bersih.

4.      Pemimpin hingga akhir (ay.6,7)
Menarik untuk diperhatikan catatan yang muncul pada ayat 6 dan 7. Setelah ia mempertanggung-jawabkan semua kinerja selama memimpin umat, Samuel tetap menjadi pemimpin purnabakti secara struktural tetapi tidak secara fungsional.  

Benar bahwa ia telah meletakkan jabatan di dan pamit di hadapan umat. Namun jika memperhatikan ayat 6,7 dan bahkan hingga akhir perikop ini yakni ayat 25, kita menemukan wejangan seorang peimpin masih terus dilalukan oleh Samuel. Ia tidak membiarkan Israel tanpa pemdampingan. Walaupun secara struktural ia sudah bukan pemimpn mereka, namun petuah dan nasehat bahkan bimbingan dan wejangan masih terus bersedia ia sampaikan. Samuel tetap menjadi seorang pemimpin hingga akhir hidupnya.



APLIKASI DAN RELEFANSI

Wednesday, September 11, 2019

YAKOBUS 3:7-2

YAKOBUS 3:7-2
MENJINAKKAN LIDAH
Bahan Bacaan Alkitab Ibadah Rumah Tangga
Rabu, 18 September 2019

PENGANTAR (Latar Belakang Kitab)
Surat ini ditujukan kepada orang Kristen Yahudi diaspora yakni mereka yang tersebar dalam perantauan. Yakobus menujukan surat ini kepada duabelas suku yang telah percaya kepada Yesus Kristius (1:1).

Sepertinya, Yakobus melihat berbagai persoalan yang sedang dihadapi oleh jemaat Tuhan ini dengan cara umum, yakni tentang perbagai pencobaan hidup yang harus mereka alami sebagai kaum pendatang maupun pencobaan iman sehubungan dengan status mereka sebagai orang percaya (1:2-18); bagaimana seharusnya sikap orang percaya berhubungan dengan Firman Tuhan yang telah mereka terima (1:19-27); relasi dan interaksi dalam jemaat maupun di luar jemaat (2:1-13); termasuk cara menggunakan lidah (3:1-18); iman yang harusnya diejawantahkan dalam perbuatan (2:14-26); dan beberapa pokok penting yang berhubungan dengan tindakan, cara hidup serta sikap yang harus dilakukan oleh seorang yang percaya kepada Yesus Kristus (4:1-5:20).

Dengan kata lain, jika tulisan Paulus berbicara tentang begitu banyak kerygma dan hal-hal yang bersifat doktrin teologis, surat Yakobus justru menitik beratkan pada aspek lain yakni tindakan nyata dari tiap kerygma yang telah diimani itu. Bagaimanakah seorang bercaya bersikap? Bagaimana memandang harta itu? Apa yang dilakukan jika merencanakan hari esok? Jika ada penderitaan dan persoalan hidup apakah yang harus diperbuat sebagai orang percaya? Dan masih banyak lagi berbagai hal yang sifatnya tindakan nyata sebagai orang Kristen yang diajarkan Yakobus.

PENJELASAN NATS

Pasti diantara kita mengenal lagu rohai untuk anak-anak, yang penggalan syairnya berbunyi: “hati-hati gunakan lidah, karena Bapa di Sorga melihat penuh cinta, hati-hati gunakan lidahmu”. Syair ini menegaskan tentang pentingnya mengatur cara bicara dan bertutur atau menggunakan lidah ketika mengucapkan sesuatu tentang apapun kepada sesama bahkan juga kepada Tuhan.

Sepertinya, Yakobus melihat bahwa terjadi persoalan internal dalam kehidupan jemaat, bukan saja mengenai iman jemaat tapi interaksi antar mereka terutama berhubungan dengan menggunaan lidah. Salah satu yang disoroti oleh Yakobus adalah pengunaan lidah untuk mengajar namun dilakukan dengan cara yang tidak benar. Itulah sebabnya ia menekankan soal janganlah banyak orang di antara kamu mau menjadi guru (ay.1). Hal ini berhubungan dengan perkataan tidak benar seorang pengajar tentang iman Kristen berupa ajaran sesat dan atau pengertian yang salah namun berapi-api mengajarkan yang salah itu. Sebab tidak ada satupun yang luput dari kesalahan dalam hal berkata-kata (ay.2).

Yakobus menyebut tenang betapa “berkuasanya” lidah untuk menentukan kehidupan orang sebagaimana hebatnya kemudi kecil yang mampu mengendalikan kapal yang besar ataupun bagai lidah api yang kecil dapat membakar hutan (ay.3-5). Karena begitu besarnya pengaruh lidah bagi kehidupan seorang percaya, maka pada ayat-ayat selanjutnya Yakobus menekankan soal berhati-hati menggunakan lidah (berkata).

Dalam rangka kehati-hatian terhadap lidah, Yakobus pada ayat 7-10 memaparkan secara dalam tentang lidah ini dalam hubungannya dengan dosa, yakni:
1.      Apa lidah itu (ay.7,8)
Yakobus menyebut bahwa tidak ada seorangpun dapat menjinakkan lidah. Kalimat ini terkesan berlebihan, tapi yang dimaksud oleh Yakobus adalah “sulit untuk menahan mulut untuk tidak berbicara”. Dan jika sudah berbicara, lidah akan terkesan menjadi sesuatu yang buas, tidak terkuasai dan menjadi racun. Bagaimana hingga lidah bisa menjadi buas, racun dan tidak terkuasai itu. Paling tidak ada dua hal (bahkan lebih) untuk dijadikan contoh:
  1. Memuji diri sendiri
Tindakan “Memuji diri sendiri” atau membangga-banggakan diri banyak dilakukan oleh orang-orang yang merasa membutuhkan “pengakuan” dan “eksistensi.” Tak jarang, tindakan ini dilakukan dengan jalan merendahkan orang lain. Kalaupun tidak merendahkan orang lain, motif memuji diri sendiri  ini umumnya dilakukan dengan perkataan tidak benar atau dusta yang tersembunyi.

  1. Gosip
Istilah ini berrati “Menyebarkan berita-berita atau isu-isu yang tidak benar” tentang orang lain atau biasa disebut dengan fitnah. Hal ini dapat dipicu oleh rasa kecewa, tidak dihargai, tersingkir, atau tidak mendapat tempat dalam jemaat atau di tengah masyarakat dsb. Semua yang diucapkan oleh mulut melalui lidah sebagai alat ucap itu adalah perkataan yang tidak benar dan juga dusta yang tersembunyi.

Dampak dari kedua contoh diatas hanyalah satu yakni merusak. Jika seseorang sudah memulai dengan kebohongan atau dusta, maka ia akan ”membenarkan” dustanya itu dengan ”menggunakan” dusta yang lain, dan kemudian berlanjut terus. Di sisi lain, dua hal ini kemudia merusak hidup persekutuan dan menghancurkan ikatan indah di dalamnya (perkawinan, pertemanan, dll). Tidak heran jika Yakobus menyebut bahwa lidah itu liar atau buas (tidak terkendali) dan menjadi racun dalam persekutuan.

2.      Dua fungsi lidah (9-10)

Tidak selamanya lidah itu merusak. Itu juga menjadi penekanan Yakobus pada ayat 9. Lidah dapat juga dugunakan untuk hal-hal yang baik berupa mengucapkan kebenaran dan terutama dipakai untuk memuji Allah. Namun lidah juga bisa digunakan secar atidak benar sebagaimanan disebutkan di atas yakni menjadi kutuk bagi sesama. Sumpah serapah, ucapan yang menyakitkan berupa kata-kata kasar dan kotor adalah poin yang dimaksud oleh Yakobus tentang dengan lidah kita mengutuk manusia.

Hanya ada dua pilihan saja tentang lidah, yakni menjadikan itu sebagai alat kebenaran ataukah alat kejahatan. Menjadikan itu untuk kemuliaan Tuhan atau justru sebaliknya menjadi alat untuk mendatangkan dosa dan kutuk. Pilihan ini ada pada manusia. Manusia yang memiliki lidah punya kewajiban untuk memilihnya.


Pada bagian akhir perikop ini, yakni ayat 11 dan 12, Yakobus memberikan penekanan soal dua pilihan pemanfaatan lidah itu. Pilihan itu mementukan siapa sesungguhnya orang tersebut. Orang yang banyak diam, sering dianggap bijaksana, berhikmat, pandai, dan sebagainya. Mungkin karena pengaruh suatu pepatah “diam itu emas.” Di sisi lain, orang yang banyak bicara sering dianggap luwes, mudah akrab, terbuka, dan sebagainya. Tetapi sebetulnya, yang paling utama bukanlah seberapa banyaknya dia diam atau seberapa banyaknya dia berbicara, melainkan seberapa bernilainya ucapan yang ia ucapkan!

Bagi Yakobus, tidak ada sumber mata air yang baik (tawar) memancarkan air yang buruk (pahit) dan atau pohon ara berbuah zaitun. Siapakah seseorang itu ditentukan dari bagaimana ia mengendalikan lidahnya, atau bagaimana ia berucap dan berkata-kata. Sebab dari ucapannya kita dapat mengetahui siapa sesuangguhnya orang itu.


REFLEKSI
Kendalikan lidah kita masing-masing dengan cara mengatur apa yang akan diucapkan mulut dan apa yang akan dikatakan kepada sesama. Tidak mudah mengendalikan lidah sebagaimana Yakobus katakan. Tetapi dengan hikmat Tuhan kiranya kita dimampukan. Sebab bagaimana mungkin kita berani mengatakan bahwa kita adalah pribadi yang takut akan Tuhan, namun tutur kata dan ucapan kita tidak mampu mencerminkan hal tersebut.

Perhatikanlah bahwa sumber mata air tawar tidak mungkin memancarkan air pahit. Orang percaya yang telah dibenarkan seharusnya mampu mengucapkan setiap perkataan yang benar untuk meuliaan Tuhan dan membangun sesama. Amin.

Thursday, September 5, 2019

AMSAL 10:15-18


AMSAL 10:15-18
MENGINDAHKAN DIDIKAN TUHAN
Ibadah Keluarga Rabu, 11 September 2019

Pengantar
Kitab Amsal adalah buku  kumpulan ajaran moral dan pandangan hidup yang luas dalam corak puitis. Mereka yang mendalami karya Salomo ini dapat memperoleh petunjuk-petunjuk praktis tentang bagaimana cara hidup orang beriman menghadapi persoalan dan tantangan hidup yang keras dan kejam. Salomo sendiri telah menulis 3000 amsal (1 Raja-raja 4:32) dan terdapat 35 kutipan amsal dalam Perjanjian Baru.

Pasal 10-22 adalah kumpulan dari Amsal Salomo yang berisikan tentang bagaimana seharusnya menjalani kehidupan di hadapan Allah dan sesama, serta menjalani kehidupan sukses di tengah kehidupan. Amsal selalu membandingkan tentang orang benar dan orang fasik; orang saleh dan orang munafik; serta kebenaran dan kejahatan. Dua kubu ini hampir selalu muncul dalam wejangan hikmatnya.

Pada bacaan kita saat ini yakni Amsal 10:15-18, terdapat 4 (empat) tema yang muncul yakni mengenai kekayaan dan kemiskinan, upah yang benar dan yang fasik, didikan dan teguran, serta yang terakhir tentang menyembunyikan kebencian vs mengumpat.

Telaah Perikop (exsegese teks)
Empat tema tersebut, yang diangkat oleh Salomo pada ayat 15-18 ini akan kita bahas berdasarkan beberapa pokok bahasan sebagai berikut:
1.      Mengupayakan kehidupan melalui harta benda
Apabila kita membaca ayat 15 bacaan kita, maka kita menemukan sesuatu yang “seakan bertentangan” dengan konsep Salomo mengenai harta dan kekayaan. Misalnya silakan lihat redaksi Amsal 18:11 dan bandingkan juga dengan bunyi Amsal 10:15.
Kota yang kuat bagi orang kaya ialah hartanya dan seperti tembok yang tinggi menurut anggapannya. (Amsal 18:11)

Kota yang kuat bagi orang kaya ialah hartanya, tetapi yang menjadi kebinasaan bagi orang melarat ialah kemiskinan. (Amsal 10:15)

Amsal 18:11 dengan jelas berbicara tentang jebakan harta dan kekayaan ketika dijadikan sebagai tembok tinggi atau tempat berlindung dari segala kehancuran. Harta menjadi pertahanan menghadapai segala sesuatu, sehingga secara tidak langsung harta telah “mengantikan posisi” Tuhan. Padahal dengan jelas, Salomo mengkritik kehidupan model seperti itu dan kemudian menyatakan bahwa TUHAN adalah Menara yang kuat dan di sanalah orang mencari keselamatan (lihat 18:10).

Jika merujuk pada penjelasan di atas, lalu mengapa kemudian kalimat Kota yang kuat bagi orang kaya ialah hartanya pada Amsal 10:15 terkesan positif dituturkan Salomo dan berbeda suasananya ketika membaca Amsal 18:11?

Dualisme pemahaman ini menjadi jelas jika kita membaca dua ayat di awal pasal 10 kitab Amsal, secara khusus ayat 4,5 yakni:
4  Tangan yang lamban membuat miskin,
tetapi tangan orang rajin menjadikan kaya.
5 Siapa mengumpulkan pada musim panas, ia berakal budi;
siapa tidur pada waktu panen membuat malu.

Pada bagian ini, Salomo berbicara twntang usaha dan kerja untuk memperoleh kekayaan atau harta bendawi demi melangsungkan kehidupan. Dengan demikian, jika membaca ayat 15 pasal 10 dalam terang ayat 4 dan 5 kita menemukan keterkaitan yang sangat penting yakni: apabila seorang malas dan lamban dalam mengupayakan kehidupan, sertatidak menyiapkan diri menghadapi tiap musim kehidupan memlaui akalbudinya, maka kemiskinan akan menjadi warna kehidupannya. Hasil akhir adalah kebinasaan karena kemelaratan hidup yang ia terima karena bermalas-malasan.

Selanjutnya, Salomo menekankan tentang, pentingnya untuk memilah sumber penghaslan yang diperoleh ketika mengupayakan harta dankekayaan melalui bekerja. Menurut Salomo ada dua sumber upah dari kerja, yakni yang dilakukan secara benar oleh orang benar dan yang dilakukan dengan cara tidak benar oleh orang fasik (ay.16). Dua asal upah ini mengarah pada dua tujuan akhir yakni kehidupan dan dosa.

Pernyataan pada ayat 16 ini diteguhkan oleh ayat 2 yakni segala sesuatu yang diperoleh dengan cara yang tidak benar, yakni memperoleh harta benda dengan cara yang salah akan membawa siapapun pada kehancuran sebab semuanya tidak akan berfaedah. Di sisi lain, Salomo meyakninkan bahwa ketika bekerja serta memperoleh harta kekayaan dengan cara yang benar, kehidupannya dijamin selamat dari Maut. Bahkan ada jaminan bahwa orang benar tidak akan dibiarkan oleh TUHAN mengalami kelaparan.  

2.      Manfaat didikan dan teguran
Terdapat dua penekanan penting yg disampaikan oleh Salomo pada ayat 17 ini, yakni:

Pertama: Orang yang benar tidak hanya menerima pengajaran, tetapi juga menyimpannya. Mereka tidak membiarkannya terlepas begitu saja karena ceroboh, seperti yang dilakukan oleh kebanyakan orang. Mereka tidak membiarkannya jatuh ke tangan orang-orang yang akan merampasnya. Mereka mengindahkan didikan baik-baik, menjaganya agar tetap murni dan utuh, untuk mereka gunakan sendiri, supaya dengan itu mereka bisa menguasai diri mereka sendiri, menyimpannya demi kepentingan orang lain, supaya bisa mengajar orang-orang tersebut. Barangsiapa berbuat demikian akan menuju jalan kehidupan, yaitu jalan yang disertai penghiburan sejati dan menuju kehidupan kekal.
Kedua: Orang yang salah bukan hanya tidak menerima pengajaran, melainkan juga berketetapan serta berkehendak untuk menolaknya ketika pengajaran itu ditawarkan kepada mereka. Mereka tidak mau diajar tentang kewajiban mereka karena pengajaran itu menyingkapkan kesalahan mereka. Mereka sangat membenci pengajaran yang mengandung teguran, dan jelas mereka keliru. Ini merupakan tanda bahwa penilaian mereka keliru, dan mereka memiliki pemahaman yang keliru tentang apa yang baik dan apa yang jahat. Itu sebabnya perilaku mereka juga sesat. Seorang pengembara yang tersesat, yang tidak mau diberi tahu akan kekeliruannya serta ditunjukkan jalan yang benar, maka sudah pasti ia akan tetap tersesat, dan terus-menerus tersesat. Jelas dia telah kehilangan jalan kehidupan.

3.      Menyembunyikan Kebencian
Apakah maksud dari menyembunyikan kebencian? Bukankah adalah baik untuk tidak menunjukkan rasa marah dan benci di depan umum. Ternyata Salomo bermaksud mengatakan dengan cara yang berbeda, yakni tentang kefasikan dan berpura-pura menahan kebencian.

Ketika kejahatan ditutupi oleh kata-kata manis dan penyamaran: Maka siapa-pun yang menyembunyikan kebencian dengan bibir yang berdusta, meskipun menganggap dirinya sendiri cerdik, ia tetap adalah orang bebal. Bibir yang berdusta saja sudah dianggap buruk, apalagi jika dipakai sebagai selubung kejahatan, atau ada maksud jahat dalamnya, yakni supaya terlihat benar dan baik..

Salomo bermaksud menekankan soal kemunafikan yakni dengan cara menyembunyikan rasa benci pada seseorang supaya terkesan bahwa ia hebat dan tangguh, tetap terkategori sebagai orang bebal. Yang benar adalah murni mengampuni seseorang dengan tulus dan rela melepaskan pengampunan secara sukarela. Di sisi lain, jika dengan sengaja mengumpat atau menyampaikan perkataan kasar kepada mereka yang dibenci maka label bebal tetap menjadi bagian kehidupannya. Tidak heran kemudian di ayat 19, Salomo mengajak untuk berhati-hati untuk berbicara dan memiliki kemamuan untuk mengekang bibirnya.


Renungan dan Penerapan