Wednesday, March 11, 2020

Bilangan 4:34-37

SUATU KEHORMATAN BEKERJA DI RUMAH TUHAN
Bahan Khotbah Ibadah Keluarga
18 Maret 2020

Oleh: Pdt. Cindy Tumbelaka, M.Th
(dengan "sedikit" tambahan dan penyesuaian)

Pengantar dan Pemahaman Teks
            Kehat adalah salah satu dari anak anak Lewi (selain Gerson dan Merari, 3:17). Tidak seperti suku-suku Israel lainnya, bani Lewi, termasuk Kehat, yang dicatat adalah semua laki-laki yang berumur satu bulan ke atas (3:14).  Perbedaan ini karena kepentingan pencatatan yang berbeda. Jika suku-suku lainnya dicatat untuk menghitung kekuatan pasukan, suku Lewi dicatat untuk menghitung jumlah orang yang kena wajib tugas berhubung dengan pekerjaan jabatan di Kemah Pertemuan (4:35, 37). Berdasarkan kepentingan ini maka yang didata adalah orang-orang (laki-laki maupun perempuan) yang berumur 30 sampai 50 tahun (4:35).

Renungan dan Penerapan
Melakukan pekerjaan jabatan di Kemah Pertemuan pada zaman itu sama dengan menjadi pekerja di gereja pada zaman ini. Perhatikan ketentuannya:
1.      Keturunannya dikhususkan TUHAN
Keturunan Kehat, yang adalah keturunan Lewi, dicatat sejak berumur 1 bulan. Hal ini sepertinya dibuat berbeda dengan ketentuan pengudusan semua anak laki-laki sulung (bdk. Luk 2:21-24).  Ini berarti, yang dihitung dan dikuduskan sebagai keturunan pejabat Kemah Pertemuan adalah semua orang, sulung maupun bukan, laki-laki maupun perempuan.

Pada zaman sekarang, orang Kristen tidak lagi berpegang pada ketentuan seperti ini, yaitu jika orang tuanya adalah pejabat gereja maka seluruh keluarga dan keturunannya pun mewarisi atau terikat dengan jabatan itu. Akan tetapi bukan berarti semangat melayani hanya milik anggota keluarga yang memiliki jabatan gereja. Semangat pelayanan harus dimiliki oleh seluruh anggota keluarga dan diwarisi kepada keturunan-keturunan berikut. 

Walaupun sekeluarga terpanggil untuk ikut melayani namun hal semangat ini tidak selalu diterima baik oleh jemaat. Kendalanya adalah orang akan melihat kiprah keluarga dalam pelayanan seperti cara ‘menguasai’ pekerjaan di rumah Tuhan. Jika kita kembali ke Kitab Bilangan, TUHAN sendiri yang menentukan bahwa pekerjaan di rumah ibadah harus dikerjakan oleh keluarga (bukan hanya perorangan) yang ditentukan TUHAN (bukan dipilih jemaat). Akan tetapi, pertimbangan jemaat untuk tidak ‘mendominasi’ pelayanan gereja juga harus dipertim-bangkan. Karena itu, gereja harus bijak mewadahi semangat pelayanan sekeluarga untuk da-pat menopang pelayanan pejabat gereja di keluarga itu. 

2.      Umur pejabat di Rumah Tuhan ditentukan TUHAN
Jika umur orang yang mau melayani ditentukan TUHAN, artinya sebelum batas umur terbawah (30 tahun), itu berarti para kaum lewi sudah harus dipersiapkan sedemikian rupa supaya ketika umur 30 tahun, ia siap melakukan pekerjaan yang sudah turun temurun dilakukan. Proses ini mengingatkan kita pada kemampuan untuk bukan saja melihat potensi tetapi juga meng-kondisikan segala sesuatu supaya tersedia potensi atau Sumber Daya Insani.

Pada masa kini, orang yang berumur 30 tahun termasuk dalam kelompok dewasa.  Di beberapa gereja, jabatan dalam pelayanan juga dapat dipercayakan kepada orang yang umurnya lebih muda, yaitu satu tahun setelah peneguhan sidi reguler (18 tahun).  Pada umur 18 tahun, seorang telah dianggap sudah cukup dewasa secara iman (sidi) untuk melayani, entah sebagai sebagai pelayan PA PT, pengurus pelkat, sebagai diaken maupun maupun penatua. Tetapi persoalan di sini bukan soal umur, melainkan menyiapkan kader pemimpin yang melayani sebagaimana sejak dini (umur sebulan), para keturuna kaum Lewi mulai di data.

Batas umur yang ditetapkan oleh Allah untuk melayani di Kemah Pertemuan adalah 50 tahun.  Pada masa kini, masih banyak orang yang berumur 50 tahun dianggap sebagai yang masih produktif sehingga masih dipercayakan tugas pelayanan.  Pada sisi lain, pemerintah pun menentukan masa usia produktif dibatasi oleh pensiun pada umur + 56 tahun, sedangkan pada bidang pekerjaan profesional tertentu bisa mencapai 70 tahun. Yang pasti, tentu ada pertimbangan mengapa orang yang wajib bertugas di Kemah Pertemuan dibatasi hanya sampai umur 50 tahun.

Perlunya ada pertimbangan dan evaluasi tentang faktor usia, karena hal inipun penting dari segi kemampuan fisik ketika melayani. Dengan kata lain, pembatasan umur bukan soal “saya masih rindu melayani tetapi sudah dibatasi”, melainkan soal kemampuan fisik, dan mental ketika memberi diri kepada Tuhan agar dapat maksimal melayaniNya. Di sisi lain, pembatasan usia oleh TUHAN pada bacaan kita ini, sudah pasti berhubungan dengan kaderisasi. Bahwa generasi tua perlu memberi ruang pada generasi selanjutnya untuk dipercayakan pekerjaan mulia itu.

Gereja bukan saja hanya menyiapkan kader ke depan untuk melayani TUHAN, tetapi menciptakan atmosfir positif terhadap proses suksesi atau pergantian jabatan dalam pelayanan. Hal ini penting supaya generasi terdahulu tidak merasa dibuang, dan generasi selanjutnya tidak merasa diabaikan.

Penutup
Bagi orang Israel, setiap penentuan Tuhan dalam hidup adalah suatu kehormatan, apakah sebagai pejuang, pekerja maupun sebagai pejabat rumah ibadah.  Kehormatan itu jelas bukan berdasarkan apa yang dikerjakan tetapi karena Tuhan sendiri yang menentukan kita untuk melakukan pekerjaan-Nya. Walaupun tidak umum, umur seseorang juga termasuk dalam pertimbangan Tuhan menentukan pekerjaan yang tepat untuk kita lakukan. Sebenarnya, untuk melakukan pekerjaan di rumah Tuhan, banyak orang yang lebih muda dari umur 30 tahun maupun lebih tua dari 50 tahun, masih mampu melakukan berbagai macam pelayanan.  Dengan alasan ini, kita tidak lagi menganggap batasan usia 30 sampai 50 tahun sebagai ukuran mati. Kita pun ‘tanpa merasa bersalah,’ bahkan dengan senang hati berkiprah sejak muda maupun ketika sudah berumur. 

Akhirnya, yang menentukan umur berapa seharusnya kita mulai ataupun mengakhiri pelayanan adalah realita.  Kita harus jujur mengakui dan mengukur sejauh mana kedewasaan dan tanggung jawab kita dapat memberi sumbangsih pada pelayanan gereja sehingga umur tidak terlalu menjadi masalah,asalkan terpenuh kriteria yakni mampu dan tersedia ruang kaderisasi.

Bilangan 1:1-27

Pentingnya Sensus Jemaat
Bahan Khotbah Ibadah Minggu
15 Maret 2020

Oleh: Pdt. Cindy Tumbelaka, MA

Pengantar
            Kitab Bilangan memiliki dua judul dalam bahasa yang berbeda.  Dalam bahasa Ibrani, kitab ini bernama “Bar-nidbar” yang berarti Di Padang Gurun karena kitab ini mencatat firman TUHAN kepada bangsa Israel selama di padang gurun, sekeluarnya mereka dari Mesir (1:1, di ambil dari kalimat pertama: TUHAN berfirman kepada Musa di padang gurun Sinai). Judul lain dari kitab ini adalah “Arithmoi” dalam bahasa Yunani (berdasarkan Septuaginta: Kitab Ibrani yang diterjemahkan ke dalam bahasa Yunani), yang berarti “Bilangan.” Judul ini diberikan ber-dasarkan isi kitab yaitu pencatatan jumlah dalam angka (bilangan) suku-suku Israel.

Pemahaman Teks
Ay. 1          Adalah keterangan surat: yaitu berdasarkan Firman TUHAN kepada Musa di dalam kemah pertemuan, pada tanggal 1 bulan 2 tahun kedua, sesudah keluar dari Mesir.
                   Dengan demikian, sensus pertama ini terjadi setelah umat Israel dua tahun berada di padang gurun.
Ay. 2-3       TUHAN memerintahkan Musa untuk menghitung jumlah segenap umat Israel menurut kaum-kaum yang ada dalam setiap suku mereka, khusus-nya yang laki-laki berumur dua puluh tahun ke atas dan yang sanggup berperang untuk dijadikan pemimpin yang mewakili sukunya (1:2). Dari kriteria ini, jelaslah bahwa maksud penghitungan ini adalah untuk mempersiapkan pasukan karena mereka akan berperang, hampir di setiap daerah yang akan mereka lalui bahkan sampai masuknya bangsa Israel ke tanah Kanaan-pun, mereka masih harus merebutnya dari penduduk asli.
Ay. 4-16     Dari setiap suku Israel (yang berjumlah 12), harus ada satu orang untuk mendampingi Musa, yakni setiap kepala suku/ kepala pasukan (ay. 16). Ay. 5-15 adalah daftar nama-nama mereka berdasarkan suku yang diwakili.
Ay. 17-19   Musa melakukan tepat seperti yang diperintahkan TUHAN, yaitu mencatat mereka di padang gurung Sinai.
Ay. 20-21   Dari bani Ruben (anak sulung Yakub = Israel), ada 46.500 orang laki-laki yang berumur di atas 20 tahun dan yang sanggup berperang.
Ay. 22-23   Bani Simeon ada 59.300 orang
Ay. 24-25   Bani Gad ada 45. 600 orang
Ay. 26-27   Bani Yehuda ada 74.600 orang

Sebagai tambahan, total semua laki-laki Israel yang berumur 20 tahun ke atas dan yang sanggup berperang ada 603.550 orang (1:44-46). Penghitungan ini tidak termasuk suku Lewi karena suku Lewi dikhususkan untuk mengawasi Kemah Suci, bukan untuk ikut berperang (1:47-50). Suku Lewi bertugas untuk mengangkat Kemah Suci dengan segala perabotannya, karena pekerjaan itu tidak boleh dilakukan oleh orang awam (1:50-51).

Renungan dan Penerapan
            Penghitungan ini jelas dimaksudkan untuk menghitung kekuatan (bakal) pasukan Israel sehingga tidak termasuk di dalamnya perempuan dan anak-anak (sebagaimana sensus penduduk pada umumnya). Pada satu sisi, sangat mungkin ada laki-laki di atas umur 20 tahun yang tidak mampu berperang sehingga tidak masuk hitungan. Ini berarti, jumlah bangsa Israel yang keluar dari Mesir saat itu, jauh lebih banyak dari jumlah 603.550 orang yang dicatat ini. 
TUHAN memandang sangat penting bagi Musa (dan Harun) untuk menghitung berapa sebenarnya jumlah kekuatan yang mereka miliki untuk berperang. Karena itu, TUHAN memerintahkan Musa untuk menghitung orang demi orang (ay. 3) bukan sekadar perkiraan, padahal, penghitungan zaman itu jelas memakai metode manual. Tidak hanya itu, orang demi orang harus diperiksa supaya dapat dikatakan mampu berperang. Pekerjaan menghitung seperti ini tidaklah mudah, sebab jumlah orang tidak sedikit, apalagi harus memenuhi kriteri khusus yakni berumur 20 tahun – laki2 – mampu berperang.
Ketekunan untuk menghitung orang demi orang dan kejujuran untuk menilai kemampuan seseorang adalah hal yang seringkali diabaikan ketika kita merancang kegiatan gereja (bukan untuk berperang seperti pada zaman itu). Gereja semangat untuk membangun dan melakukan berbagai program namun jika tidak dimulai dari penghitungan ‘orang demi orang’ melainkan menghitung berdasarkan perkiraan (dan harapan) maka dalam pelaksanaan-nya, pembangunan maupun kegiatan gereja akan lebih banyak dan sering mengalami masalah, seperti kekurangan dana maupun sumber daya. Tuhan Yesus sendiri mengajarkan kita:  “… kalau mau mendirikan sebuah menara … duduk dahulu membuat anggaran biayanya, kalau-kalau cukup uangnya untuk menyelesaikan pekerjaan itu?  Supaya … jangan semua orang yang melihatnya, mengejek dia, …: Orang itu mulai mendirikan, tetapi ia tidak sanggup menyelesaikan-nya (Luk 14:28-30).
Jadi, kelalaian gereja menghitung kekuatan dengan jujur adalah awal mula terjadinya pencarian dana yang terkesan memaksa (bukan lagi sukarela), acara maupun pengadaan bahan bangunan yang seadanya, bisa juga terjadi pemborosan, pekerjaan yang berlarut-larut bahkan ada yang tidak selesai atau mangkrak atau (jika pelayanan) tidak sesuai harapan.
Setelah kita menghitung kekuatan, TUHAN mengajarkan kita untuk mampu mengartikan bilangan-bilangan itu (= menganalisa data). Sebenarnya, menghitung merupakan hal yang tidak terlalu sulit selama kita tekun dan teliti.  Yang lebih sulit lagi adalah membaca (= menganalisa) apa yang sebenarnya terjadi di balik data/ bilangan-bilangan yang terkumpul, mis: apa yang membuat jumlah peserta ibadah/ kegiatan tidak sebanyak dengan jumlah jemaat yang terdaftar? Apakah karena waktu pelaksanaan yang tidak tepat atau kegiatan yang tidak menarik? Apa yang membuat jumlah persembahan jauh lebih sedikit dibanding peserta yang hadir? Apakah kemampuan memberi yang lemah atau peserta ibadah bukanlah yang masih produktif (kebanyakan lansia dan anak-anak)? Pada umumnya, gereja suka mengumpulkan data dan mewajibkan laporan dari semua kegiatan namun tidak mampu membaca apa yang sebenarnya terjadi di balik data dan laporan.  Padahal, Yesus juga memberi gambaran bahwa kalau mau pergi berperang … raja … duduk dahulu untuk mempertimbangkan, apakah dengan sepuluh ribu orang ia sanggup menghadapi lawan …  Jikalau tidak, ia akan mengirim utusan … untuk menanyakan syarat-syarat perdamaian (Luk 14:31-32). Kemampuan kita membaca = menganalisa data dan laporan sangat menentukan langkah yang akan diambil berikut.
Mendarat pada tema di minggu Prapaskah, kita diajar untuk mengevaluasi penderitaan yang kita alami, baik sebagai pribadi, keluarga, gereja bahkan masyarakat berdasarkan kejujuran mengukur kemampuan diri. Sebagaimana yang telah disebutkan di atas, penderitaan yang kita alami, bisa jadi karena kita “lebih besar pasak (= pengeluaran) daripada tiang (= pemasukan)” dan terbuai dengan harapan yang tidak masuk akal.  Dalam memberi tugas dan tanggung jawab kepada kita, Allah pun mengukur.  Kata Paulus: pencobaan yang kita alami tidak melebihi kekuatan manusia ataupun melampaui kekuatan (1Kor 10:13).  Tetapi kalau ternyata kita jatuh terpuruk, saatnyalah kita mengevaluasi diri: adakah kita yang tidak jujur menilai diri dan kemampuan kita.