Wednesday, March 11, 2020

Bilangan 4:34-37

SUATU KEHORMATAN BEKERJA DI RUMAH TUHAN
Bahan Khotbah Ibadah Keluarga
18 Maret 2020

Oleh: Pdt. Cindy Tumbelaka, M.Th
(dengan "sedikit" tambahan dan penyesuaian)

Pengantar dan Pemahaman Teks
            Kehat adalah salah satu dari anak anak Lewi (selain Gerson dan Merari, 3:17). Tidak seperti suku-suku Israel lainnya, bani Lewi, termasuk Kehat, yang dicatat adalah semua laki-laki yang berumur satu bulan ke atas (3:14).  Perbedaan ini karena kepentingan pencatatan yang berbeda. Jika suku-suku lainnya dicatat untuk menghitung kekuatan pasukan, suku Lewi dicatat untuk menghitung jumlah orang yang kena wajib tugas berhubung dengan pekerjaan jabatan di Kemah Pertemuan (4:35, 37). Berdasarkan kepentingan ini maka yang didata adalah orang-orang (laki-laki maupun perempuan) yang berumur 30 sampai 50 tahun (4:35).

Renungan dan Penerapan
Melakukan pekerjaan jabatan di Kemah Pertemuan pada zaman itu sama dengan menjadi pekerja di gereja pada zaman ini. Perhatikan ketentuannya:
1.      Keturunannya dikhususkan TUHAN
Keturunan Kehat, yang adalah keturunan Lewi, dicatat sejak berumur 1 bulan. Hal ini sepertinya dibuat berbeda dengan ketentuan pengudusan semua anak laki-laki sulung (bdk. Luk 2:21-24).  Ini berarti, yang dihitung dan dikuduskan sebagai keturunan pejabat Kemah Pertemuan adalah semua orang, sulung maupun bukan, laki-laki maupun perempuan.

Pada zaman sekarang, orang Kristen tidak lagi berpegang pada ketentuan seperti ini, yaitu jika orang tuanya adalah pejabat gereja maka seluruh keluarga dan keturunannya pun mewarisi atau terikat dengan jabatan itu. Akan tetapi bukan berarti semangat melayani hanya milik anggota keluarga yang memiliki jabatan gereja. Semangat pelayanan harus dimiliki oleh seluruh anggota keluarga dan diwarisi kepada keturunan-keturunan berikut. 

Walaupun sekeluarga terpanggil untuk ikut melayani namun hal semangat ini tidak selalu diterima baik oleh jemaat. Kendalanya adalah orang akan melihat kiprah keluarga dalam pelayanan seperti cara ‘menguasai’ pekerjaan di rumah Tuhan. Jika kita kembali ke Kitab Bilangan, TUHAN sendiri yang menentukan bahwa pekerjaan di rumah ibadah harus dikerjakan oleh keluarga (bukan hanya perorangan) yang ditentukan TUHAN (bukan dipilih jemaat). Akan tetapi, pertimbangan jemaat untuk tidak ‘mendominasi’ pelayanan gereja juga harus dipertim-bangkan. Karena itu, gereja harus bijak mewadahi semangat pelayanan sekeluarga untuk da-pat menopang pelayanan pejabat gereja di keluarga itu. 

2.      Umur pejabat di Rumah Tuhan ditentukan TUHAN
Jika umur orang yang mau melayani ditentukan TUHAN, artinya sebelum batas umur terbawah (30 tahun), itu berarti para kaum lewi sudah harus dipersiapkan sedemikian rupa supaya ketika umur 30 tahun, ia siap melakukan pekerjaan yang sudah turun temurun dilakukan. Proses ini mengingatkan kita pada kemampuan untuk bukan saja melihat potensi tetapi juga meng-kondisikan segala sesuatu supaya tersedia potensi atau Sumber Daya Insani.

Pada masa kini, orang yang berumur 30 tahun termasuk dalam kelompok dewasa.  Di beberapa gereja, jabatan dalam pelayanan juga dapat dipercayakan kepada orang yang umurnya lebih muda, yaitu satu tahun setelah peneguhan sidi reguler (18 tahun).  Pada umur 18 tahun, seorang telah dianggap sudah cukup dewasa secara iman (sidi) untuk melayani, entah sebagai sebagai pelayan PA PT, pengurus pelkat, sebagai diaken maupun maupun penatua. Tetapi persoalan di sini bukan soal umur, melainkan menyiapkan kader pemimpin yang melayani sebagaimana sejak dini (umur sebulan), para keturuna kaum Lewi mulai di data.

Batas umur yang ditetapkan oleh Allah untuk melayani di Kemah Pertemuan adalah 50 tahun.  Pada masa kini, masih banyak orang yang berumur 50 tahun dianggap sebagai yang masih produktif sehingga masih dipercayakan tugas pelayanan.  Pada sisi lain, pemerintah pun menentukan masa usia produktif dibatasi oleh pensiun pada umur + 56 tahun, sedangkan pada bidang pekerjaan profesional tertentu bisa mencapai 70 tahun. Yang pasti, tentu ada pertimbangan mengapa orang yang wajib bertugas di Kemah Pertemuan dibatasi hanya sampai umur 50 tahun.

Perlunya ada pertimbangan dan evaluasi tentang faktor usia, karena hal inipun penting dari segi kemampuan fisik ketika melayani. Dengan kata lain, pembatasan umur bukan soal “saya masih rindu melayani tetapi sudah dibatasi”, melainkan soal kemampuan fisik, dan mental ketika memberi diri kepada Tuhan agar dapat maksimal melayaniNya. Di sisi lain, pembatasan usia oleh TUHAN pada bacaan kita ini, sudah pasti berhubungan dengan kaderisasi. Bahwa generasi tua perlu memberi ruang pada generasi selanjutnya untuk dipercayakan pekerjaan mulia itu.

Gereja bukan saja hanya menyiapkan kader ke depan untuk melayani TUHAN, tetapi menciptakan atmosfir positif terhadap proses suksesi atau pergantian jabatan dalam pelayanan. Hal ini penting supaya generasi terdahulu tidak merasa dibuang, dan generasi selanjutnya tidak merasa diabaikan.

Penutup
Bagi orang Israel, setiap penentuan Tuhan dalam hidup adalah suatu kehormatan, apakah sebagai pejuang, pekerja maupun sebagai pejabat rumah ibadah.  Kehormatan itu jelas bukan berdasarkan apa yang dikerjakan tetapi karena Tuhan sendiri yang menentukan kita untuk melakukan pekerjaan-Nya. Walaupun tidak umum, umur seseorang juga termasuk dalam pertimbangan Tuhan menentukan pekerjaan yang tepat untuk kita lakukan. Sebenarnya, untuk melakukan pekerjaan di rumah Tuhan, banyak orang yang lebih muda dari umur 30 tahun maupun lebih tua dari 50 tahun, masih mampu melakukan berbagai macam pelayanan.  Dengan alasan ini, kita tidak lagi menganggap batasan usia 30 sampai 50 tahun sebagai ukuran mati. Kita pun ‘tanpa merasa bersalah,’ bahkan dengan senang hati berkiprah sejak muda maupun ketika sudah berumur. 

Akhirnya, yang menentukan umur berapa seharusnya kita mulai ataupun mengakhiri pelayanan adalah realita.  Kita harus jujur mengakui dan mengukur sejauh mana kedewasaan dan tanggung jawab kita dapat memberi sumbangsih pada pelayanan gereja sehingga umur tidak terlalu menjadi masalah,asalkan terpenuh kriteria yakni mampu dan tersedia ruang kaderisasi.

Bilangan 1:1-27

Pentingnya Sensus Jemaat
Bahan Khotbah Ibadah Minggu
15 Maret 2020

Oleh: Pdt. Cindy Tumbelaka, MA

Pengantar
            Kitab Bilangan memiliki dua judul dalam bahasa yang berbeda.  Dalam bahasa Ibrani, kitab ini bernama “Bar-nidbar” yang berarti Di Padang Gurun karena kitab ini mencatat firman TUHAN kepada bangsa Israel selama di padang gurun, sekeluarnya mereka dari Mesir (1:1, di ambil dari kalimat pertama: TUHAN berfirman kepada Musa di padang gurun Sinai). Judul lain dari kitab ini adalah “Arithmoi” dalam bahasa Yunani (berdasarkan Septuaginta: Kitab Ibrani yang diterjemahkan ke dalam bahasa Yunani), yang berarti “Bilangan.” Judul ini diberikan ber-dasarkan isi kitab yaitu pencatatan jumlah dalam angka (bilangan) suku-suku Israel.

Pemahaman Teks
Ay. 1          Adalah keterangan surat: yaitu berdasarkan Firman TUHAN kepada Musa di dalam kemah pertemuan, pada tanggal 1 bulan 2 tahun kedua, sesudah keluar dari Mesir.
                   Dengan demikian, sensus pertama ini terjadi setelah umat Israel dua tahun berada di padang gurun.
Ay. 2-3       TUHAN memerintahkan Musa untuk menghitung jumlah segenap umat Israel menurut kaum-kaum yang ada dalam setiap suku mereka, khusus-nya yang laki-laki berumur dua puluh tahun ke atas dan yang sanggup berperang untuk dijadikan pemimpin yang mewakili sukunya (1:2). Dari kriteria ini, jelaslah bahwa maksud penghitungan ini adalah untuk mempersiapkan pasukan karena mereka akan berperang, hampir di setiap daerah yang akan mereka lalui bahkan sampai masuknya bangsa Israel ke tanah Kanaan-pun, mereka masih harus merebutnya dari penduduk asli.
Ay. 4-16     Dari setiap suku Israel (yang berjumlah 12), harus ada satu orang untuk mendampingi Musa, yakni setiap kepala suku/ kepala pasukan (ay. 16). Ay. 5-15 adalah daftar nama-nama mereka berdasarkan suku yang diwakili.
Ay. 17-19   Musa melakukan tepat seperti yang diperintahkan TUHAN, yaitu mencatat mereka di padang gurung Sinai.
Ay. 20-21   Dari bani Ruben (anak sulung Yakub = Israel), ada 46.500 orang laki-laki yang berumur di atas 20 tahun dan yang sanggup berperang.
Ay. 22-23   Bani Simeon ada 59.300 orang
Ay. 24-25   Bani Gad ada 45. 600 orang
Ay. 26-27   Bani Yehuda ada 74.600 orang

Sebagai tambahan, total semua laki-laki Israel yang berumur 20 tahun ke atas dan yang sanggup berperang ada 603.550 orang (1:44-46). Penghitungan ini tidak termasuk suku Lewi karena suku Lewi dikhususkan untuk mengawasi Kemah Suci, bukan untuk ikut berperang (1:47-50). Suku Lewi bertugas untuk mengangkat Kemah Suci dengan segala perabotannya, karena pekerjaan itu tidak boleh dilakukan oleh orang awam (1:50-51).

Renungan dan Penerapan
            Penghitungan ini jelas dimaksudkan untuk menghitung kekuatan (bakal) pasukan Israel sehingga tidak termasuk di dalamnya perempuan dan anak-anak (sebagaimana sensus penduduk pada umumnya). Pada satu sisi, sangat mungkin ada laki-laki di atas umur 20 tahun yang tidak mampu berperang sehingga tidak masuk hitungan. Ini berarti, jumlah bangsa Israel yang keluar dari Mesir saat itu, jauh lebih banyak dari jumlah 603.550 orang yang dicatat ini. 
TUHAN memandang sangat penting bagi Musa (dan Harun) untuk menghitung berapa sebenarnya jumlah kekuatan yang mereka miliki untuk berperang. Karena itu, TUHAN memerintahkan Musa untuk menghitung orang demi orang (ay. 3) bukan sekadar perkiraan, padahal, penghitungan zaman itu jelas memakai metode manual. Tidak hanya itu, orang demi orang harus diperiksa supaya dapat dikatakan mampu berperang. Pekerjaan menghitung seperti ini tidaklah mudah, sebab jumlah orang tidak sedikit, apalagi harus memenuhi kriteri khusus yakni berumur 20 tahun – laki2 – mampu berperang.
Ketekunan untuk menghitung orang demi orang dan kejujuran untuk menilai kemampuan seseorang adalah hal yang seringkali diabaikan ketika kita merancang kegiatan gereja (bukan untuk berperang seperti pada zaman itu). Gereja semangat untuk membangun dan melakukan berbagai program namun jika tidak dimulai dari penghitungan ‘orang demi orang’ melainkan menghitung berdasarkan perkiraan (dan harapan) maka dalam pelaksanaan-nya, pembangunan maupun kegiatan gereja akan lebih banyak dan sering mengalami masalah, seperti kekurangan dana maupun sumber daya. Tuhan Yesus sendiri mengajarkan kita:  “… kalau mau mendirikan sebuah menara … duduk dahulu membuat anggaran biayanya, kalau-kalau cukup uangnya untuk menyelesaikan pekerjaan itu?  Supaya … jangan semua orang yang melihatnya, mengejek dia, …: Orang itu mulai mendirikan, tetapi ia tidak sanggup menyelesaikan-nya (Luk 14:28-30).
Jadi, kelalaian gereja menghitung kekuatan dengan jujur adalah awal mula terjadinya pencarian dana yang terkesan memaksa (bukan lagi sukarela), acara maupun pengadaan bahan bangunan yang seadanya, bisa juga terjadi pemborosan, pekerjaan yang berlarut-larut bahkan ada yang tidak selesai atau mangkrak atau (jika pelayanan) tidak sesuai harapan.
Setelah kita menghitung kekuatan, TUHAN mengajarkan kita untuk mampu mengartikan bilangan-bilangan itu (= menganalisa data). Sebenarnya, menghitung merupakan hal yang tidak terlalu sulit selama kita tekun dan teliti.  Yang lebih sulit lagi adalah membaca (= menganalisa) apa yang sebenarnya terjadi di balik data/ bilangan-bilangan yang terkumpul, mis: apa yang membuat jumlah peserta ibadah/ kegiatan tidak sebanyak dengan jumlah jemaat yang terdaftar? Apakah karena waktu pelaksanaan yang tidak tepat atau kegiatan yang tidak menarik? Apa yang membuat jumlah persembahan jauh lebih sedikit dibanding peserta yang hadir? Apakah kemampuan memberi yang lemah atau peserta ibadah bukanlah yang masih produktif (kebanyakan lansia dan anak-anak)? Pada umumnya, gereja suka mengumpulkan data dan mewajibkan laporan dari semua kegiatan namun tidak mampu membaca apa yang sebenarnya terjadi di balik data dan laporan.  Padahal, Yesus juga memberi gambaran bahwa kalau mau pergi berperang … raja … duduk dahulu untuk mempertimbangkan, apakah dengan sepuluh ribu orang ia sanggup menghadapi lawan …  Jikalau tidak, ia akan mengirim utusan … untuk menanyakan syarat-syarat perdamaian (Luk 14:31-32). Kemampuan kita membaca = menganalisa data dan laporan sangat menentukan langkah yang akan diambil berikut.
Mendarat pada tema di minggu Prapaskah, kita diajar untuk mengevaluasi penderitaan yang kita alami, baik sebagai pribadi, keluarga, gereja bahkan masyarakat berdasarkan kejujuran mengukur kemampuan diri. Sebagaimana yang telah disebutkan di atas, penderitaan yang kita alami, bisa jadi karena kita “lebih besar pasak (= pengeluaran) daripada tiang (= pemasukan)” dan terbuai dengan harapan yang tidak masuk akal.  Dalam memberi tugas dan tanggung jawab kepada kita, Allah pun mengukur.  Kata Paulus: pencobaan yang kita alami tidak melebihi kekuatan manusia ataupun melampaui kekuatan (1Kor 10:13).  Tetapi kalau ternyata kita jatuh terpuruk, saatnyalah kita mengevaluasi diri: adakah kita yang tidak jujur menilai diri dan kemampuan kita.

Wednesday, March 4, 2020

2 Tawarikh 1:1-13

MENENTUKAN KEBUTUHAN YANG TEPAT
Bahan Khotbah Ibadah Minggu
Minggu , 8 Maret 2020

Oleh: Pdt. Cindy Tumbelaka, MA

Pengantar
            Kalau … kitab 1Tawarikh kita berjumpa dengan kisah kepemimpinan Daud se-bagai raja Israel … maka dalam kitab 2Tawarikh, kisahnya bertumpu pada kehidupan Salomo, … raja … yang akan memenuhi kerinduan Daud mendirikan rumah bagi TUHAN. Pembahasan dalam kitab 2Tawarikh, umumnya terkait proses pendirian bait Allah, pentahbisan dan penyelenggaraan ibadah-ibadahnya serta kegemilangan bangsa Israel di bawah kepemimpinan Salomo (kutipan SDGK).

Pemahaman Teks
Ay. 1        Penulis kitab 2Tawarikh memperkenalkan Salomo, sebagai anak Daud yang disertai TUHAN sehingga kedudukannya sebagai raja menjadi kuat dan kekuasaan besar.
Ay. 2-6    Setelah Salomo menjadi raja (1Taw 29:28), ia memerintahkan kepada seluruh Israel (kepala-kepala pasukan seribu dan pasukan seratus, para hakim dan semua pemimpin, yakni para kepala puak) untuk mempersembahkan 1.000 korban bakaran di atas mezbah di Gibeon (di bukit pengorbanan). Pada bagian ini, penulis kitab 2Tawarikh sempat menjelaskan tentang mengapa mereka ke Gibeon, yaitu karena di situlah Ke-mah Pertemuan Allah diletakkan. Kemah suci itu dibuat oleh Musa sewaktu mereka di padang gurun. Kemah itu diletakkan di bukit pengorbanan yang di Gibeon namun tabut Allah, yang semula ada di dalamnya, telah dipindahkan Daud ke kemah lain, yang dibuat Daud khusus untuk tabut itu di Yerusalem (ay. 4). Yang tertinggal pada kemah suci (buatan Musa) di Gibeon adalah mezbah tembaga buatan Bezaleel bin Uri bin Hur (ay. 5). Mezbah itu masih ada di depan Kemah Suci TUHAN (ay. 5). Maka ke sanalah Salomo dan jemaah itu meminta petunjuk TUHAN (ay. 5).
Ay. 7        Ayat ini memper-lihatkan bahwa kepada orang yang meminta petunjuk-Nya (ay. 6), Allah seolah bersedia memberikan apapun yang dimintanya.
Ay. 8-10  Intinya, Salomo meminta hikmat dan pengertian untuk memimpin seluruh bangsa Israel (ay. 10). Dalam pidato pengangkatan Salomo menjadi raja, Daud, yang adalah bapa Salomo sekaligus raja sebelumnya, memperkenalkan Salomo sebagai yang masih muda dan kurang berpengalaman untuk pekerjaan sebesar ini, yaitu memimpin bangsa Israel sekaligus membangun rumah bagi nama TUHAN (1Taw 29: 1). Kemungkinan besar, ‘cap’ yang diberikan Daud terhadap Salomo inilah yang membuat Salomo menyadari kelemahan dan keterbatasan dirinya sekaligus tantangan besar yang segera dihadapinya.  Karena itu, Salomo memohon agar kasih setia TUHAN kepada Daud, juga berlanjut kepada dirinya, sebagai anak Daud dan raja pilihan TUHAN, tidak hanya pada hari ia menjadi raja tetapi sampai ia harus ‘keluar’ (= mengakhiri) masa pemerintahannya.
Ay. 11-3  Berdasarkan jawaban Salomo, Allah memberikan apa yang diminta Salomo, yaitu hikmat dan pengertian, ditambah hal-hal lain, yang bagi Salomo merupakan ‘bonus’ tetapi bagi Allah, itu juga yang diperlukan Salomo untuk melangsungkan pemerintahannya, yaitu kekayaan, harta benda dan kemuliaan.

 Renungan dan Penerapan
            Firman TUHAN yang mengatakan: “Mintalah apa yang hendak Kuberikan kepadamu (ay. 7)” sebenarnya merupakan bentuk lain dari cobaan terhadap ‘kemanusiaan.’  Kemanusia-an kita ‘dicobai’ ketika Allah (seolah) akan memberikan apa saja yang kita minta. Seandainya Salomo meminta kekayaan, harta benda, kemuliaan atau nyawa orang yang membencinya, kemungkinan besar, Allah akan mewujudkannya sesuai dengan firman-Nya sendiri. Akan te-tapi, Salomo berhasil melawan godaan itu karena ia (sebenarnya) sangat dipengaruhi oleh perkataan Daud tentang dirinya, yaitu ia masih sangat muda dan kurang berpengalaman un-tuk menjadi raja Israel.  Dengan kata lain, Salomo berhasil melawan godaan untuk meminta kekayaan, harta dan kemuliaan karena ia harus terlebih dahulu ‘menyelesaikan’ masalah pada dirinya sendiri, yaitu masih terlalu muda dan kurang pengalaman. Dalam hal ini, Salomo mengajarkan kita untuk meminta yang dibutuhkan bukan yang diinginkan.
            Bagaimana menentukan apa yang dibutuhkan dengan yang diinginkan?  Yesus berkata bahwa apa yang keluar dari mulut berasal dari hati (Mat 15:18).  Ketika kita dipercaya untuk mengerjakan suatu tanggung jawab atau dipilih untuk menjabat posisi tertentu, apa yang ada di benak kita akan terungkap lewat permintaan yang kita sampaikan kemudian. Jika benak kita dipenuhi oleh ‘perayaan’ akan tahta dan jabatan maka permintaan kita adalah hal-hal yang diperlukan untuk ‘mengukuhkan’ status kita yang baru, seperti (meminta) fasilitas, tunjangan, bayaran, wewenang, perlakuan khusus, dll.  Sebaliknya, jika benak kita dipenuhi oleh ‘pergumulan’ tentang bagaimana seharusnya kita bekerja supaya dapat ‘keluar masuk se-bagai pemimpin’ maka permintaan kita adalah segala sesuatu yang berguna untuk menyele-saikan masalah dan mengerjakan tanggung jawab itu sampai selesai (purna bakti).  Inilah yang diajarkan Salomo yaitu supaya kita fokus pada tugas dan tanggung jawab supaya kita pun tahu apa yang lebih dibutuhkan daripada yang diinginkan.
            Bacaan ini sangat kuat menggambarkan kebutuhkan Salomo akan petunjuk Allah. Persembahannya itu bukan saja merupakan ungkapan syukur akan pengangkatan dirinya se-bagai raja tetapi ritual meminta petunjuk Allah. Ada banyak orang Kristen memaknai ibadah syukur yang diadakan seseorang (atau keluarga) dalam rangka kenaikan pangkat atau baru menjabat posisi tertentu sebagai ‘perayaan keberhasilan’ padahal, hari itu sebenarnya merupakan langkah awal dari suatu perjalanan selanjutnya. 
Belajar dari Salomo: kenaikan pangkat maupun menjabat posisi tertentu bukanlah akhir dari suatu perjalanan karir maupun pelayanan melainkan awal.  Karena itu, ritual meminta petunjuk Allah harus lebih diutamakan ketimbang perayaan atau jamuan kasih. Salomo pun sadar bahwa untuk sampai mengakhiri masa jabatan ini dengan baik (ditutup dengan keberhasilan), bukanlah hal yang mudah. Segala sesuatu dapat terjadi di tengah jalan: dukungan yang menghilang bahkan berbalik menjadi pengkhianatan, pekerjaan yang bertambah banyak di luar kendali, munculnya masalah-masalah baru, situasi yang menjadi tidak kondusif, dll.  Untuk mengantisipasi apa yang dapat terjadi pada kemudian hari, benarlah permintaan Salomo bahwa kita membutuhkan hikmat dan pengertian. Kita tidak punya jawaban untuk apa yang akan terjadi nanti namun dengan hikmat dan pengertian dari Tuhan, kita akan tahu apa yang tepatnya harus dilakukan kelak.
            ‘Bonus’ yang diberikan Tuhan kepada Salomo pun akan diberikan kepada kita sepan-jang Tuhan melihat bahwa kita juga membutuhkan hal-hal itu untuk menyelesaikan masalah dan mengerjakan banyak hal. Tidak perlu minta ini-itu, Tuhan tahu apa yang kita butuhkan.

2 Tawarikh 6:3-11

Bahan Khotbah Ibadah Keluarga
Rabu, 11 Maret 2020
KEBERHASILAN ADALAH HASIL PERJUANGAN

Oleh: Pdt. Cindy Tumbelaka, MA

Pengantar
Akhirnya, selesailah pembangunan rumah bagi nama TUHAN (6:1-2).  Bacaan ini adalah pidato Salomo, setelah rumah TUHAN atau Bait Allah selesai dibangun tetapi sebelum rumah itu ditahbiskan.

Pemahaman Teks
Ay. 3     Sepertinya, pada waktu mengatakan:  “TUHAN telah memutuskan untuk diam dalam kekelaman. Sekarang aku telah mendirikan ruman kediaman bagi-Mu, tempat Engkau menetap selama-lamanya  (ay. 1-2),” posisi (tubuh) atau gesture Salomo adalah menghadap ke Bait Suci yang baru selesai dibangun. Setelah berkata demikian, barulah ia mengadap jemaah Israel yang sedang berdiri (semula) di belakangnya.
Ay. 4     Tema utama yang diusung Salomo pada pidatonya ini adalah penggenapan janji TUHAN, Allah Israel. Salomo mengakui bahwa Bait Allah ini adalah bukti bahwa Allah sendiri yang mengerjakan sampai selesai apa yang difirmankan = dijanjikan-Nya kepada Daud tentang pendirian rumah untuk nama TUHAN.  Jadi, pembangunan ini diakui Salomo sebagai perbuatan Allah sendiri (bukan dirinya).
Ay. 5-6  Salomo menjelaskan tentang pemillihan Allah. Allah yang memilih tempat di mana rumah bagi nama-Nya harus dibangun dan siapa yang seharusnya menjad raja atas Israel, umat-Nya. Lebih jelasnya, Allah memilih Yerusalem sebagai tempat kediaman bagi nama-Nya dan Daud sebagai raja atas umat-Nya. 
Ay. 7-9  Selanjutnya, Salomo menjelaskan bagaimana bisa, Daud yang dipilih Allah menjadi raja tetapi Salomo-lah yang mendirikan Bait Suci itu, bukan Daud. Salomo menceritakan bahwa Daud bermaksud mendirikan rumah untuk nama TUHAN, Allah Israel.  Walaupun TUHAN melihat maksudnya itu baik namun TUHAN memilih = menentu-kan anak kandung Daud, yaitu Salomo, yang akan mewujudkan maksud baik itu (bukan Daud, 1Taw 17:11-12).
Ay. 10   Salomo memperkenalkan diri sebagai anak kandung Daud, yang dimaksud TUHAN. Dalam hal ini, Salomo menekankan bahwa janji TUHAN kepada Daud, ayahnya, telah ditepati.
Ay. 11   Salomo juga telah menempatkan tabut perjanjian, yang sempat dipindahkan Daud dari kemah kudus ke kemah yang dibuatnya khusus untuk tabut itu di Yerusalem. Secara tidak langsung, ayat ini sedang memperlihatkan andil Daud yang cukup besar dalam membangun Bait Suci yaitu meletakkan tabut perjanjian dalam kemah khusus di Yerusalem, sebagai penanda bahwa rumah bagi nama TUHAN akan dibangun di situ.

Renungan dan Penerapan
            Ketika rumah bagi nama TUHAN ini selesai dibangun, ada pemaknaan teologis yang dilekatkan Salomo pada setiap prosesnya. Mulai dari pemilihan tempat dan siapa yang akan membangun sampai kepada penggenapan janji Allah.
            Dalam melakoni alur kehidupan, kita seringkali memahami setiap hal yang terjadi sebagai yang memang seharusnya terjadi, misalnya: setelah lulus dari jenjang pendidikan yang satu, kita atau anak-cucu kita, berlanjut ke jenjang berikutnya, di lembaga pendidikan yang cocok; Setelah dewasa, kita menemukan jodoh, kawin dan membangun rumah tangga sebagaimana harapan semua orang; Kita bekerja pada bidang yang kita minati, sesuai potensi atau yang dapat memenuhi kebutuhan hidup; Kita bergereja di jemaat yang menurut kita nyaman, terjangkau ataupun sudah sejak lahir kita aktif di situ. Begitu juga dalam pergaulan. Kita seringkali berpikir bahwa kitalah yang memilih teman dan pergaulan. 
            Ketika kita merasa memiliki hak pilih terhadap jalan hidup yang kita lakoni sekarang, dalam bacaan ini, Salomo menyebutkan bahwa segala sesuatu yang terjadi dalam hidup kita adalah berdasarkan pemilihan atau penentuan Allah. Allah-lah yang memilihkan sekolah, jo-doh, tempat tinggal, tempat kerja bahkan jemaat di mana kita bertumbuh dan brebuah. Allah juga menentukan setiap orang yang hadir dalam hidup kita, baik yang menguntungkan atau-pun merugikan. Jika pemilihan Allah membawa kita kepada keadaan yang menyenangkan (jodoh yang sepadan, sekolah yang membuat kita bergelimang prestasi, bidang pekerjaan yang cocok, pergaulan yang bergengsi, jemaat yang harmonis, dll), tentu kita akan senang hati menikmati pemilihan Allah itu. Sebaliknya, jika penetapan Allah atas hidup kita membawa kita kepada keadaan yang memprihatinkan (kebalikan dari keadaan di atas), kita mungkin akan mengeluh, tidak sabar, marah atau ngambek.
            Dalam hidup, ada banyak maksud baik di dalam niat kita tetapi tidak diizinkan Tuhan untuk terwujud. Tuhan-lah yang menentukan, siapa yang akan mengerjakan maksud baik yang kita pikirkan itu: kalau bukan kita, mungkin keturunan kita yang berikut ataupun yang berikutnya, mis: pembangunan ataupun renovasi gedung gereja digagas oleh kita namun baru dikerjakan oleh angkatan setelah kita dan diselesaikan oleh angkatan berikutnya. Angkatan termuda itulah yang meresmikan dan terpatri tanda-tangannya pada prasasti gereja. Ide untuk membuka usaha sebenarnya dirintis dari kita namun baru berkembang di tangan generasi di bawah kita lalu generasi berikutnyalah yang mendapat penghargaan karena usaha itu telah membawa banyak manfaat bagi masyarakat luas.
            Dalam penghayatan akan minggu prapaskah, pemaknaan teologis Salomo kepada setiap proses pembangunan Bait Allah membuat kita memahami bahwa penderitaan itu seringkali datang dari ketidak-mampuan kita mengikhlaskan orang lain berjaya di atas ide ataupun kerja keras kita. Jika kita tidak ikhlas maka kita akan segera merasa tersingkirkan dan terabaikan. Inilah yang seringkali membuat banyak orang tua tidak siap menghadapi pembaruan/ kemajuan hidup yang dikerjakan oleh generasi yang lebih muda. Daud mungkin bernasib lebih baik dari kita karena Salomo masih menyebut namanya pada upacara penahbisan Bait Allah, sedangkan kita, diingat orang pun tidak. Akan tetapi, ketika maksud baik kita diwujudkan oleh generasi penerus, Salomo melihat hal ini sebagai bukti bahwa pekerjaan Tuhan adalah sesuatu yang lintas generasi.  Tuhan mau kita tahu bahwa keberhasilan dari pekerjaan-Nya tidak tergantung pada kita tetapi pada penentuan atau pemilihan-Nya semata.