Thursday, August 1, 2019

Ayub 8:8-19



BELAJAR DARI BENANG DAN SARANG LABA-LABA
Bahan Khotbah Ibadah Keluarga
Rabu, 7 Agustus 2019

Pdt. Cindy Tumbelaka, MA
Pengantar
                Bacaan ini adalah perkataan Bildad, orang Suah, salah seorang dari tiga sahabat Ayub yang datang ketika mendengar tentang segala malapetakan yang menimpanya untuk menyampaikan belasungkawa dan menghibur Ayub (8:1, 2:11). Pada waktu mereka pertama kali bertemu, tidak banyak atau bahkan tidak ada percakapan apapun yang terjadi di antara mereka karena keadaan Ayub yang nyaris tidak dapat dikenali lagi membuat ketiga sahabatnya itu (termasuk Bildad) terpukul (2:12).  Tujuh hari pertama, mereka berempat hanya duduk bersama-sama di tanah tanpa ada percakapan (2:13). Mereka berempati dengan kondisi Ayub sebagaimana yang ada pada bacaan hari Minggu. Setelah itu, ketiga sahabat Ayub mulai menyampaikan kata-kata penghiburan sementara Ayub pun ternyata mengalami ‘naik-turun’ iman terhadap Allah. 
                Pasal 8 adalah giliran Bildad yang berusaha membuat Ayub mengerti apa yang sebenarnya terjadi. Pada Awalnya, Bildad sempat mengecam Ayub yang sepertinya sudah mulai keras mempertanyakan keadilan Allah (8:1). Menurut Bildad, Allah tidak mungkin berlaku tidak adil ataupun tidak benar (8:3). Bildad berusaha membedakan perlakuan Allah kepada anak-anak Ayub yang berdosa terhadap Allah dengan Ayub yang saleh (8:4-5). Menurut Bildad, anak-anak Ayub dihukum Allah karena mereka memang berdosa tetapi jika Ayub yang saleh itu mencari dan memohon belas kasihan Allah maka Allah akan bangkit dan memulihkan (8:6-7). Berdasarkan pengantar ini maka pembahasan selanjutnya dapat dikatakan usaha Bildad menjelaskan hubungan antara dosa anak dan kesalehan orang tua, adakah saling berpengaruh satu sama lain, khususnya ketika Tuhan hendak menyatakan kehendaknya atas keluarga Ayub.


Pemahaman Teks
Ay. 8-10               
Bildad mengambil contoh dari orang-orang zaman dahulu yaitu para nenek moyang yang merupakan acuan/ soko guru/ sumber segala pengajaran generasi berikut.
Ay. 11   
Menurut Bildad, seseorang itu tidak akan bertumbuh dewasa (dalam iman dan pengetahuan) jika tidak di lingkungan keluarganya (seperti pandan harus tumbuh di rawa, mensiang di air).

Ay. 12-13            
Akan tetapi jika sebelum proses pertumbuhannya selesai, orang itu sudah melenceng/ lari dari yang diajarkan maka orang itu akan menjadi orang yang gagal (= gagal sebelum waktunya?). Itulah yang akan terjadi pada orang-orang fasik yaitu orang yang melupakan Allah. Dengan kata lain, bukanlah salah Ayub jika anak-anaknya dibinasakan Tuhan karena sebelum dewasa, mereka sudah jauh melenceng dari jalan Tuhan.

Ay. 14-15            
Pada ay. 14-19, Bildad seperti berusaha memberi gambaran tentang apa yang terjadi dengan anak-anak Ayub. Anak-anak Ayub itu dapat dikatakan seperti orang fasik yang hidupnya mengandalkan benang atau sarang laba-laba. Apa yang diharapakan/ diandalkan mereka banyak dan luas (seperti sarang laba-laba) tetapi sesungguhnya tidak kuat.

Ay. 16-18            
Dalam perumpamaan yang lain, anak-anak Ayub itu digambarkan sebagai orang fasik yang bergaul ke mana-mana, (= tumbuhan yang sulur dan akarnya menjalar dan membelit ke mana-mana) namun sesungguhnya ketika mereka keluar dari pergaulan itu, teman-temannya tidak akan mengenal mereka lagi. 

Ay. 19   
Kemungkinan besar hal ini berkaitan dengan kegemaran anak-anak Ayub mengadakan pesta (1:4-5)

Renungan dan Penerapan
Walaupun penjelasan Bildad tentang mengapa perlakuan Allah kepada anak-anak Ayub berbeda dengan kepada Ayub tidak dapat dikatakan sepenuhnya benar namun dapatlah dimengerti betapa Ayub sebenarnya sangat berduka dan berusaha mencari jawab tentang me-ngapa Allah tidak menyelamatkan anak-anaknya seperti Allah menyelamatkan dirinya.  Sebagai seorang bapa, Ayub sepertinya berusaha mencari tahu adakah ia salah dalam mendidik dan membesarkan anak-anaknya. Sesungguhnya, kegundahan hati Ayub yang tersirat dalam nasi-hat Bildad juga ada dalam setiap hati orang tua yang anak-anaknya mengalami masalah seperti, putus sekolah (sering dihukum guru dan bermasalah di sekolah), kenakalan remaja (sampai berurusan dengan masyarakat), kecanduan narkoba (sampai berurusan dengan hukum), melakukan seks bebas (sampai terpaksa dikawinkan atau menjadi orang tua tunggal), pindah aga-ma, dll. 
Di balik kemarahan orang tua terhadap anaknya pastilah ada rasa penyesalan dan pertanyaan: “mengapa kali ini Tuhan tidak menolong?” Bildad menjelaskan bahwa sebaik-baiknya orang tua mendidik dan membesarkan anak, setiap anak sebagai pribadi yang utuh juga tetap dapat memilih: akankah ia terus dalam jalan yang diajarkan/ diarahkan orang tuanya atau me-milih jalannya sendiri. Jika jalan yang dipilihnya ternyata tidak sesuai harapan orang tua bahkan membawanya pada kebinasaan maka orang tua tidak perlu terlalu menyalahkan diri. Sebagai orang tua, kita tetap harus mendoakan yang terbaik bagi anak-anak (lih. 1:5) namun di atas semua itu, ada Tuhan yang mengadili setiap orang secara individual menurut keadilan dan kebenaran-Nya tanpa dapat diintervensi oleh siapapun, termasuk orang tuanya
Jika kita menyimak kehidupan anak-anak Ayub yang disoroti dalam Alkitab, khususnya dalam hal kegemaran mereka mengadakan pesta untuk makan dan minum bersama (1:4), kita akan mendapat gambaran bahwa kegemaran anak-anak ini terhadap gaya hidup hedonisme (bersenang-senang) adalah karena orang tua memiliki kekayaan yang memungkinkan mereka untuk berpesta setiap hari.
Dengan demikian, sangatlah jelas jika anak-anak ini sangat mengandalkan kekayaan orang tuanya dalam menikmati hidup. Akan tetapi seperti yang dikatakan Bildad bahwa kekayaan orang tua yang menjadi andalan mereka untuk hidup dalam hedonisme tidaklah kuat (banyak/ luas tetapi tidak kuat).  Demikian juga halnya dengan orang-orang yang berhasil mereka datangkan/ kumpulkan/ jamu supaya turut bersukaria dalam kehidupan seperti itu (setiap malam) bukanlah orang-orang yang akan tetap setia menjadi sahabat merekaa.
Sampai saat ini pun masih banyak orang yang menjadikan kekayaan (orang tua) andalan dalam hidup sehingga tidak seperti orang tua yang mampu mewarisi kekayaan kepada anak maupun keturunannya, anak cenderung menghambur-hamburkan kekayaan itu sehingga tidak jarang dari mereka yang jatuh miskin. Begitu juga dengan kawan, banyak orang yang berusaha ‘membeli’ teman dengan hedonisme yang ditawarkan, padahal, kawan yang didapat akan segera berlalu tepat ketika kekayaan kita habis dan hedonisme itu berakhir. 
Dari kisah Ayub, kita belajar bahwa kesalehan orang tua tidak dapat menyelamatkan anak dari pengadilan Tuhan, juga kekayaan orang tua ternyata tidak dapat sepenuhnya menjamin masa depan anak. Akan tetapi bukan berarti kesalehan dan upaya orang tua mensejah-terakan anak itu sia-sia, hanya saja, kita harus sungguh-sungguh mohon ketrelibatan Tuhan dalam mendidik dan membesarkan anak supaya jangan ada yang binasa.