YAKOBUS
4:11-12
Jemaat Tuhan
Yakobus, setelah berbicara tentang dosa lidah, ia
melanjutkan tentang salah satu bentuk kehidupan manusia yang jatuh dalam Dosa
Lidah tersebut, yakni pada ayat 11 dan 12 bacaan kita hari ini.
Teguran Yakobus di bagian ini diterjemahkan LAI:TB dengan
“janganlah kamu saling memfitnah”. Dalam teks Yunani, kata
“memfitnah” memakai istilah katalalew.
Istilah ini secara hurufiah berarti “mengatakan sesuatu yang menentang” (kata = “melawan” dan lalew = “berbicara”). Mayoritas terjemahan
versi Inggris memakai “mengatakan sesuatu yang jahat” atau “mengatakan sesuatu
yang menentang”. Penggunaan kata
ini di Perjanjian Baru menunjukkan bahwa katalalew biasa merujuk pada segala macam
perkataan negatif untuk menentang orang lain, misalnya “menentang pemimpin atau
Allah” (Bil 12:8; 21:5, 7), “mengumpat” (Mzm 101:5), “menghina” (Ay 19:3),
“mengatakan sebuah dusta” (Hos 7:13), “mengatakan sesuatu yang bisa dianggap
kurang ajar” (Mal 3:13) atau “memfitnah/menuduh” (1Pet 2:12; 3:16).
Mengingat arti katalalew sangat luas, kita harus menyelidiki
artinya berdasarkan konteks. Dalam Yakobus 4:11 terjemahan LAI:TB “memfitnah”
hampir dapat dipastikan salah. Kata ini muncul 3 kali di ayat 11. Pada
pemunculan yang terakhir kata ini dihubungkan dengan hukum (LAI:TB “mencela hukum”). Di sinilah letak ketidak-konsistenan
terjemahan LAI:TB, karena dua pemunculan yang pertama diterjemahkan
“memfitnah”, sedangkan yang terakhir dipakai “mencela”. Kita lebih baik
menerjemahkan semua katalalew di ayat ini dengan “mencela”. Arti ini
sesuai untuk frase “mencela hukum” (kita tidak mungkin “memfitnah” hukum).
Selain itu, arti ini juga cocok dengan ungkapan Yakobus yang menghubungkan
orang yang mencela (katalalew) dengan orang yang menghakimi sesamanya (ayat 11
“barangsiapa memfitnah saudaranya atau menghakiminya”).
Jemaat Tuhan
Ayat 11b dan 12 merupakan alasan yang diberikan Yakobus
mengapa orang percaya tidak boleh saling mencela. Ada dua alasan yang saling
berkaitan.
Karena mencela saudara seiman berarti mencela hukum dan
menghakiminya (ayat 11b)
Bagi Yakobus orang yang mencela (katalalew) seorang
saudara sama dengan orang yang menghakimi (krinw) saudaranya itu. Dari
pernyataan ini terlihat bahwa dosa mencela di sini bukan hanya berhubungan
dengan cara dan isi perkataan yang kasar, tetapi juga melibatkan sikap hati
yang menganggap diri lebih baik daripada sesamanya (band. 3:1; 4:6-10). Sikap
hati inilah yang justru dijadikan fokus utama pembahasan oleh Yakobus di ayat
11b-12 (kata “menghakimi” atau “hakim” muncul 6 kali dalam dua ayat ini). Jadi,
kesalahan mereka bukan hanya secara eksternal (mencela), tetapi juga internal
(merasa diri lebih baik).
Alasan pertama mengapa kita tidak boleh mencela dan
menghakimi adalah karena mencela saudara berarti mencela hukum dan
menghakiminya. Apa maksud dari pernyataan ini? Sebelum menyelidiki artinya, ada
baiknya kita mengetahui lebih dahulu apa yang dimaksud dengan hukum di sini.
Hukum di sini kemungkinan besar merujuk pada perintah “kasihilah sesamamu
manusia seperti dirimu sendiri”.
1. Dalam
bagian sebelumnya Yakobus sudah memakai kata “hukum” (nomos) dan kata itu
menunjuk pada hukum kasih kepada sesama (2:8, dikutip dari Im 19:18b).
2. Dalam
konteks Imamat 19:18b, hukum kasih ini juga dihubungkan dengan larangan untuk
berkata-kata yang jahat kepada sesama (Im 19:16).
3. Ungkapan
“sesama manusia” di ayat 12 sebagai pengganti “saudara” di ayat 11 merujuk pada
hukum kasih kepada sesama (“kasihilah sesamamu manusia”).
Walaupun yang dimaksud dengan hukum di sini berasal dari
perintah Taurat, namun kita harus memahami bahwa hukum ini telah diberi makna
baru dalam kekristenan. Hukum ini adalah hukum yang memerdekakan dan sempurna
(1:25; 2:12).
Jemaat Tuhan
Sekarang mari kita melihat arti dari alasan yang
diberikan Yakobus di ayat 11b. Orang yang mencela dan menghakimi sesama
bukanlah orang yang melakukan hukum (ayat 11), karena hukum kasih melarang kita
mengucapkan perkataan kasar yang menentang orang lain. Ketika kita melakukan
pelanggaran ini berarti kita telah mencela hukum itu. Kita bertindak
seolah-olah hukum tersebut tidak memiliki otoritas dalam hidup kita.
Lebih parah lagi, kita bukan hanya sebagai pelanggar
hukum (band. 2:9-10), tetapi hakim atas hukum itu (ayat 11). Sikap menghakimi
menunjukkan bahwa kita menganggap diri lebih baik dari orang lain dan sebagai
tolak ukur kebenaran, padahal tolak ukur yang sebenarnya adalah hukum itu
sendiri. Dengan demikian, ketika kita menghakimi orang lain, kita telah
menjadikan diri kita sebagai hakim, bukan hanya atas orang lain tetapi juga
atas hukum tersebut.
Jemaat Tuhan
Setelah menyatakan bahwa orang yang mencela saudaranya
telah bertindak sebagai hakim atas orang lain maupun hukum kasih, Yakobus
menjelaskan siapa satu-satunya pembuat hukum dan hakim yang sebenarnya. Dalam
struktur kalimat Yunani ayat 12, kata “satu” (heis) diletakkan di
awal kalimat untuk memberi penekanan bahwa pembuat hukum dan hakim hanya ada
satu saja.
Siapakah pembuat hukum dan hakim itu?
Yakobus menjelaskan bahwa Dia adalah yang berkuasa menyelamatkan dan
membinasakan. Ungkapan ini jelas merujuk pada Allah (Mat 10:28 “Dia yang
berkuasa membinasakan baik jiwa maupun tubuh di dalam neraka”). Perjanjian Lama
secara eksplisit menjelaskan bahwa pemberi hukum Taurat adalah Allah (Kel
24:12), walaupun orang Yahudi kadangkala menyebut Musa sebagai pemberi hukum
(misalnya Philo). Allah juga sering disebut sebagai hakim dunia (Kej 18:25; Mzm
7:12; 9:5; 50:6; 75:7; 94:2; Yes 33:22). Hal yang sama juga dinyatakan secara tegas
dalam Perjanjian Baru (Ibr 12:23; 1Pet 1:17; 4:5).
Ungkapan “Dia yang berkuasa
menyelamatkan dan membinasakan” bukan hanya berfungsi untuk menjelaskan
identitas pembuat hukum dan hakim, namun juga mengingatkan penerima surat bahwa
pelanggaran mereka tidak akan luput dari penghakiman Allah. Mereka yang
menghakimi akan mendapat penghakiman (Mat 7:1-2; Luk 6:37; Rom 2:1-3; 14:10).
Jemaat Tuhan
Untuk mempertegas apa yang telah
disampaikan, Yakobus menutup tegurannya dengan “tetapi siapakah engkau, sehingga
engkau mau menghakimi sesamamu manusia?”. Hal ini dengan tegas memberikan
penekanan bahwa kita tidak bisa mencela orang lain apalagi menghakimi mereka
yang bersalah seakan kitalah yang lebih benar. Yang tepat untuk kita lakukan
adalah memberikan nasihat yang benar dan teladan yang baik.
Jemaat Tuhan
Bukankah dalam kehidupan ini kita
lebih sering melihat kesalahan orang lain dan bahkan mencari kesalahan orang
lain dari pada menyelidiki ketidak-sempuraan kita sendiri?
Firman Tuhan hari ini mengajarkan kita
untuk menahan diri dari menyakiti orang lain dengan perkataan atas alasan
penghakiman. Sebaliknya justru Firman Tuhan hari ini mengajak kita untuk lebih
mawas diri dan menyelidi kehidupan kita lebih dulu, yakni apakah kita sudah
lebih baik daripada orang lain. Hal ini penting agar kemudian sikap kita ini tidak membawa kita
menjadi prfibadi yang sok suci dan sombong rohani bahkan menjadi tuhan dan
hakim bagi orang lain.
Jadilah teladan kebenaran dan bukan
mencari kesalahan orang lain. Jadilah Alat Tuhan yang mulia, lewat membawa
orang lain menemukan kebenaran Allah dalam hidup kita, daripada seakan menjadi
tuhan bagi sesama. Kiranya Tuhan memampukan kita melakukannya. Amin.