AYUB 2:9-13
BERPIKIR POSITIF
TENTANG TUHAN
Bahan Khotbah Ibadah Minggu
04 AGUSTUS 2019
PENDAHULUAN
Siapakah Ayub? Tokoh ini tidak dengan terperinci dijelaskan oleh
alkitab. Ia hanya disebutkan berasal dari daerah Us (1:1) dan merupakan orang
terkaya di daerahnya. Ia
mendapatkan 7 orang anak laki-laki dan 3 orang anak perempuan. Selain itu ia
juga mempunyai banyak harta kekayaan, di antaranya: 7000 kambing domba, 3000
unta, 500 pasang lembu, 500 keledai betina dan banyak budak-budak (1:2-3).
Oleh
karena banyaknya harta Ayub, maka ia menjadi orang yang terkaya di daerah
Timur. Ayub digambarkan sebagai orang yang sangat kaya dan tidak ada yang lebih
kaya dari pada Ayub. Jadi besar kemungkinan Ayub juga sangat terkenal di
seluruh daerah Timur. Menarik untuk dicatat bahwa Alkitab menyebut tentang 10 orang anak dan
kekayaan sebagai pemberian Tuhan (1:2,3,10), namun tidak menyebut istrinya
sebagai bagian dari pemberian Tuhan. Istri Ayub hanya muncul pada ayat 9 bacaan kita.
Namun
keterangan yang penting dan dicatat berulang-ulang mengenai tokoh ini adalah
karakter moralnya. Ia adalah seorang yang “saleh dan jujur; ia takut akan Allah
dan menjauhi kejahatan.” Kalimat ini dituliskan sebanyak 3 kali; 1x disebutkan dalam 1:1 oleh penulis kitab ini,
2x diucapkan oleh Tuhan dalam 1:8 dan 2:3.
Jadi karakter Ayub tersebut merupakan suatu penekanan, karakter yang dinilai
sangat baik oleh Tuhan, sehingga ia dibanggakan oleh Allah dihadapan Iblis.
Tidak ada tokoh Alkitab yang lain yang dibangga-banggakan oleh Tuhan di hadapan
iblis, selain dari pada Ayub. Kualitas-kualitas inilah yang digunakan oleh penulis kitab ini
untuk menjelaskan karakter moral Ayub yang sebenarnya. Harta kekayaan Ayub yang
paling utama bukanlah materi yang berada di luar dirinya, tetapi apa yang ada
di dalam dirinya.
TELAAH PERIKOP (exegese)
Bagaimanakah kisah kemalangan Ayub, seorang yang takut Tuhan ini,
dimulai? Diawali dengan pertemuan mahluk sorgawi dengan Tuhan termasuk Iblis di
dalamnya. Tuhan amat membanggakan Ayub dihadapan seisi Sorga, bahkan pula di
hadapan Iblis (lih 1:8; 2:3). Namun Iblis meragukan kondisi itu dengan mencari
alasan bahwa kesetiaan Ayub hanya sebatas kekayaan dan kepemilikannya yang
dianugerahi Tuhan. Singkatnya, Iblis datang menghancurkan harta benda dan anak2
Ayub, atas seijin Tuhan (1:13-19) sehingga Ayub hidup miskin berdua dengan
Istrinya. Apa reaksi Ayub? Pada pasal 1:21-22 kita menemukan siapa Ayub
sebenarnya berdasarkan rekasinya terhadap musibah yang ia alami. Ayub tidak
mengutuk dan menggerutu; Ayub tidak sekali-pun mempertanyakan Tuhan, namun
sebaliknya justru memahami bahwa apa yang ia miliki semuanya BUKAN MILIKNYA,
melainkan adalah milik Tuhan. Maka, menurut Ayub, adalah wajar jika Tuhan
mengambilnya. Peristiwa ini adalah PENCOBAAN PERTAMA dan Iblis GAGAL TOTAL menjatuhkan Ayub dalam dosa. Sebab
dalam ayat 22 pasal 1 ditekankan, bahwa dalam kondisi itu Ayub TIDAK berbuat
dosa.
Setelah gagal pada cobaan pertama mengenai HARTA BENDA dan kepemilikan,
maka saatnya Iblis melanjutkan cobaan kedua pada bacaan kita 2:1-13, tentang
tubuh jasmani dengan Istilah yang dipakai “kulit ganti kulit” (2:4). Ada
beberapa hal penting yang perlu diperhatikan pada bacaan kita hari ini
(sebaiknya dibaca seluruh perikop), yakni:
1.
Perhatikan ayat 5. Iblis meminta agar
TUHAN mengulurkan tangan-Nya dan menjamah tulang dan daging Ayub supaya kena
kutuk. Apakah TUHAN menyetujuinya? Secara sepintas, jawabannya pasti YA. Namun
jika kita memperhatikan ayat 6 bacaan kita sekaligus merujuk 1:12 maka kita
menemukan sesuatu yang menarik. TUHAN tidak sedikitpun bersedia menggunakan
TanganNya untuk menulahi Ayub. Tangan Iblislah yang melakukannya. Peran TUHAN
dalam pergumulan itu hanya sampai pada “MENGIJINKAN” Iblis melakukannya.
Dengan demikian kita menemukan suatu
kebenaran penting pada kisah ini. Pencobaan dan derita Ayub tidaklah datang
dari tangan TUHAN yang penuh kasih itu. Derita Ayub ditimpakan oleh tangan
Iblis yang penuh dengan kebencian dan kepicikan. Dalam alkitab tidak ditemukan
sedikitpun bahwa TUHAN mengutuki dan menghajar orang yang taat dan setia
kepadaNya. Sebaliknya justru, untuk tipe orang seperti itu, tangan Tuhan selalu
datang menjamah untuk memberkati. Kalaupun ada hajaran, itu hanya diberikan
TUHAN dalam rangka mendidik dan mengarahkan lagi ke jalan yang benar orang yang
dikasihiNya. (bd. Wahyu 3:19).
2.
Ayub sangat menderita dengan penyakit yang
ditimpahkan Iblis. Garukan karena gatal lewat tangannya sudah tidak berguna
lagi. Itulah sebabnya dalam ayat 8 disebutkan Ayub menggunakan beling untuk menggaruk-garuk badannya. Silakan
bayangkan betapa ngeri penderitaan Ayub!
Siapapun yang menyaksikan ini pastilah
terenyuh dan tidak tega melihat derita Ayub. Namun, dalam bacaan kita justru
tiba2 muncul satu tokoh yang tega dan tidak merasakan derita itu. Siapa tokoh
itu? Dia tidak lain adalah Istri Ayub
sebagaimana dinyatakan ayat 9 bacaan kita. Perempuan ini bukan saja tidak pedui
terhadap penderitaan Ayub, namun juga menjadi “alat iblis” untuk menggoyahkan pertahanan iman Ayub yang saat itu
sedang berjuang.
Ternyata tidak selamanya orang yang
terdekat dan kelihatannya selalu ada untuk kita dapat mengerti dan mendukung
setiap derita dan pergumulan termasuk perjuangan iman. Terkadang justru
orang-orang seperti inilah yang menjadi alat Iblis. Dalam hal ini, Ayublah yang
mengalami sendiri, yakni ditinggalkan dan dilemahkan oleh orang yang justru
dapat diharapkan mendukung, yakni istrinya.
3.
Perhatikan jawaban Ayub kepada Istrinya
yang sekaligus menjadi jawaban Iman Ayub terhadap semua cobaan dan derita hidup
yang ia alami! Dalam ayat 10 bacaan kita, Ayub dengan tegas menolak menghujat dan meragukan Allah. Ayub
menyadari bahwa ia hanya mungkin hidup karena anugerah dan karunia TUHAN.
Karena itu apapun yang Tuhan lakukan, entah yang baik atau buruk harusnya tetap
diterima dan disyukuri. Bagi Ayub, adalah suatu KEGILAAN jika
manusia hanya mau menerima yang baik dari TUHAN dan menolak yang buruk.
Pernyataan iman ini sangat dasyat dan luar
biasa untuk dimaknai. Ayub menerima apapun dari TUHAN. Ayub belajar untuk
menerima keburukkan hidup oleh karena ia sudah menerima kebaikan terlebih
dahulu. Ayub tidak berpikir bahwa kesalehan dan kesetiaannya harus dibalas
TUHAN dengan KEBAIKAN sebagai hadiah dan haknya. Namun keunggulan Ayub adalah
ketika ia menyadari bahwa di tangan TUHAN-nya ia bukan siapa2 sehingga tidak
layak menggerutu, sebaliknya Ayub belajar menerima apapun dari TUHAN. Sebab,
bagi AYUB, Tuhan berhak melakukan apapun baginya –baik atau buruk- karena itu
adalah HAK Tuhan termasuk terhadap dirinya sekalipun.
4. Bacaan kita saat ini berkisah juga tentang
kehadiran para sahabat Ayub di saat mereka mendengar tentang musibah dan
kemalangan hidup yang dialami Ayub. Alkitab menuliskan
ketiga sahabat Ayub, yakni: Elifas, orang Teman dan Bildad, orang Suah, serta
Zofar, orang Naama datang dari tempatnya masing-masing ketika mendengar kabar
tentang segala malapetaka yang menimpa Ayub (ay. 11). Itu berarti mereka tidak
berasal dari tempat yang sama. Mereka mungkin beda kota, wilayah bahkan negara.
Selain itu dikatakan bahwa mereka bersepakat untuk menghibur Ayub. Itu berarti
bukan suatu kebetulan kalau mereka dapat berkumpul bersama.
Lalu, bagaimana mereka dapat membuat kesepakatan
sementara tempat mereka begitu berjauhan? Alkitab tidak berbicara banyak
mengenai hal ini tetapi seperti kita ketahui, membuat suatu kesepakatan dengan
jarak terpisah jauh, dengan teknologi informasi yang masih begitu primitif,
jelas bukan hal yang mudah; sangat menyita waktu dan tenaga. Tetapi mereka rela bersusah
payah sedemikian rupa demi untuk menghibur sahabat yang mereka kasihi, yakni Ayub.
Mereka datang pada Ayub dengan tujuan yang murni,
yaitu untuk mengucapkan belasungkawa dan menghibur (ay. 11b). Mereka datang
bukan karena Ayub kaya atau karena memiliki motivasi-motivasi lain seperti
mendapatkan kenikmatan atau balas jasa. Tidak! Sebab saat itu Ayub sudah jatuh miskin, hidup melarat
dan kena penyakit mengerikan lagi.
Dalam ayat 12-13 kita
menemukan kenyatan yang luar biasa terhadap apa yang dilakukan para sahabat
Ayub itu. Ketika sahabat Ayub memandang dari kejauhan dan
melihat kondisi Ayub begitu memilukan mereka, maka
lima hal bermakna mereka lakukan, yakni:
- Mereka menangis dengan suara nyaring;
- Mereka mengoyakkan jubah;
- Mereka menaburkan debu di kepala;
- Mereka menemani Ayub dengan duduk bersama-sama
dia selama tujuh hari tujuh malam;
- Mereka puasa
bicara alias tidak mengucapkan sepatah
katapun padanya.
Banyak penafsiran yang mengatakan bahwa mereka
melakukannya karena kebiasaan budaya yang berlaku pada jaman itu. Tapi
jika kita perhatikan lebih lanjut, mereka melakukannya bukan sekedar kebiasaan
budaya. Mereka tidak hanya hadir dan berbagi secara fisik, mereka juga berbagi
perasaan dengan Ayub. Mereka sama-sama meratap dan sama-sama hancur hati.
Perbuatan ketiga sahabat Ayub
ini merupakan sikap dan perbuatan terpuji.
Demi mendukung Ayub dan pergumulan hidupnya, mereka rela berkorban waktu
dan tenaga; dengan motivasi tulus meringankan beban; serta dengan penuh kasih
turut merasakan derita sahabatnya. Memang benar, apabila kita lanjutkan bacaan
ini, kita menemukan pada akhirnya para sahabat Ayub mulai memberikan nasehat
dan tanggapan yang kemudian melemahkan dan menjatuhkan Ayub. Saya kira ini
adalah wajar, jika mereka sendiri tidak mengetahui kondisi sebenarnya Ayub
dalam hal Iman-nya kepada Allah. Namun bukan ini yang akan kita bahas. Khusus
bagian bacaan kita, kepedulian merekalah yang perlu direnungkan (walau dalam
bagian akhir mereka mempertanyakan Ayub).
RELEVANSI DAN APLIKASI
Berdasarkan Firman Tuhan ini, kita dapat memperoleh beberapa pokok pikiran
yang berhubungan dengan kehidupan kita dari kisah Ayub ini, yakni:
1.
Kesengsaraan hidup itu identik dengan
pencobaan hidup. Ketika kita mengalami pencobaan, siapakah yang mesti
bertanggung-jawab? Apakah Tuhan atau Iblis. Pertanyaan ini hanya akan terjawab
jika kita mengetahui tentang dari mana asalnya pencobaan itu. Mengenai
asal-muasal pencobaan itu, Yak. 1:13-14 menyebutkan:
- Allah tidak pernah mencobai manusia
- Manusia dicobai oleh keinginannya sendiri
- Manusia dicobai oleh Iblis (lih. Bacaan kita)
atau biasa disebut oleh Paulus sebagai PENGGODA (1 Tesalonika 3:5).
Hal ini dipertegas lagi oleh bacaan kita
bahwa Tangan TUHAN tidak pernah IA gunakan untuk mengutuk dan menyakiti orang
yang dikasihiNya. Tindakan ini sepenuhnya ada dalam aksi Iblis. Peran TUHAN
pada pencobaan yang kita alami sangatlah sedikit, yakni sebatas mengijinkan
Iblis.
Jadi adalah salah alamat, dan berdosa-lah
kita jika mengklaim dan menghakimi TUHAN terhadap pencobaan dan derita yang
kita alami. Sebab pencobaan datang
kepada Ayub, bukan karena ia durhaka namun justru karena ia setia. Kesetian kita mengundang “iri hati” iblis
untuk menghancurkan iman kita lewat pencobaan. Iblislah yang melakukan itu.
Jika kita menghakimi Allah dan menghujatNya, berarti Iblis benar dan ia menang
karena ternyata kita tidak tahan iman dan berbuat dosa kepada TUHAN. Karena
itu, kepada kita yang setia dan percaya kepadaNya, berhati-hatilah karena Iblis
licik dan siap menjatuhkan kita lewat cobaan hidup.
2.
Apa yang harus kita lakukan saat mengalami
pencobaan oleh Iblis. Belajarlah seperti Ayub! Ia tidak menjadikan TUHAN
sebagai MUSUH-nya, melainkan tetap sedapat mungkin bergantung pada TUHAN. Hal
ini terlihat jelas dari tiap jawaban imannya ketika menghadapi 2 jenis
pencobaan itu.
Mengapa bergantung pada TUHAN begitu penting? Bukankah banyak
orang cendrung meninggalkan TUHAN ketika merasakan bahwa seakan TUHAN tidak
adil dalam hidupnya? Perhatikan bunyi Mzm.37:5 yang menjadi alasan penting kita
harus tetap bergantung pada TUHAN! Ayat ini berbunyi: “Serahkanlah hidupmu kepada TUHAN dan percayalah kepada-Nya, dan Ia
akan bertindak”. Artinya,
hanya dengan bergantung pada TUHAN, saat alami pencobaan Iblis-lah, maka IA
akan bertindak.
Apa tindakan dan peran TUHAN saat kita
mengalami pencobaan? Peran TUHAN tidak hanya pada mengijinkan Iblis mencobai
kita, namun dalam lanjutan bunyi ayat 13 kitab 1Kor pasal 10 disebutkan: “… Sebab Allah setia dan karena itu Ia tidak akan
membiarkan kamu... Ia akan memberikan kepadamu jalan ke luar,
sehingga kamu dapat menanggungnya.“ TUHAN tidak akan berdiam diri disaat kita
mengalami pencobaan dari Iblis. Ia akan memberikan kepada kita jalan keluar dan
kekuatan untuk dapat menanggungnya hingga pencobaan itu selesai. Karena itu
jangan tinggalkan TUHAN ketika hadapi pencobaan, sebaliknya teruslah berada di
pihak TUHAN yang penuh kasih dan kuasa itu.
3.
Peristiwa Istri Ayub mengingatkan kita
bahwa tidak semua orang dapat menjadi pendukung dan penopang saat kita butuh
topangan dan dampingan di tengah cobaan dan pergumulan hidup. Karena itu,
kitapun diajar untuk selektif memilih orang yang tepat ketika sedang mengalami
cobaan hidup. Hindari setiap saran yang justru akan menjerumuskan kita. Carilah
pribadi2 yang tepat yang akan TUHAN kirim untuk mendampingi kita saat mengalami
pergumulan itu. Karena itu tetaplah setia! Hadapilah pergumulan dan cobaan
hidup ini dengan bijak dan teguh iman seperti Ayub. Percayalah TUHAN tidak akan
membiarkan kita dalam pencobaan.
4.
Sesuatu yang tak dapat
dipungkiri bahwa di belahan dunia manapun ada begitu banyak orang yang
mengalami kemalangan hidup dan penderitaan diri. Di manapun termasuk di sekitar
kita sekalipun ada banyak orang yang mengalami kesendirian dan kesepian. Mereka
bagaikan Ayub yang tidak mengerti mengapa semua dialami. Mereka bagaikan Ayub
yang menderita sendiri dan membutuhkan topangan dan pendampingan. Kita
dipanggil untuk menjadi seperti para
sahabat Ayub tersebut. Panggilan kita adalah meringkankan penderitaan dan
pergumulan sesama kita.
Bagaimana caranya? Lihatlah
apa yang dilakukan oleh tiga sahabat Ayub:
a. Mereka bersusah payah menjangkau tempat
Ayub dengan mengorbankan waktu, tenaga dan jarak tempuh yang cukup jauh. Untuk
bisa meringankan penderitaan orang lain, kita mesti bersedia mengorbankan
sesuatu. Mungkin yang dikorbankan adalah sibuknya kita di tempat kerja; waktu
untuk keluarga; keluar sedikit dana extra yang tak terprogram; sediakan ekstra
tenaga dan korbankan jam istirahat atau waktu santai kita dll. Tanpa
pengorbanan, kita tidak akan mampu secara maksimal untuk meringankan
penderitaan orang lain.
b. Seperti para sahabat Ayub, milikilah
motivasi yang tulus ketika menolong orang lain. Jangan demi pujian atau
sanjungan; jangan pula supaya diingat atau dikenang; dan juga janganlah demi
suatu penghargaan. Perbuatan baik yang kita lakukan bagi orang lain, biarlah
murni hanya untuk menolong. Kalaupun itu diguncingkan dan dihargai orang,
biarlah itu menjadi kemuliaan Allah.
c. Perhatikan 5 hal penting yang dilakukan
oleh sahabat Ayub pada penjelasan di atas. Mereka bukan hanya bersimpati dengan derita Ayub alias sekedar merasa ibah dan
kasihan. Namun mereka bertindak lebih jauh, yakni berempati dengan derita Ayub alias berusaha turut merasakan apa
yang dirasakan oleh Ayub. Empati berarti turut berbela rasa atau dalam bahasa
sederhananya adalah bersedia memakai
sepatu orang lain. Jika sepatu itu sempit maka kita dapat merasakan nyeri
dan sakitnya; jika sepatu itu pas ukurannya maka kita dapat merasakan pula
nyamannya.
Hanya dengan turut merasakan
penderitaan orang lain, maka kita dapat tahu apa sesungguhnya pertolongan yang
dibutuhkan mereka. Hanya dengan turut merasakan derita mereka, maka kita akan
mampu “mengambil” sedikit pergumulan itu, sehingga orang yang menderita itu
merasakan sedikit kelegaan.
Karena itu, mari-lah menjadi alat Tuhan untuk
menyalurkan Kasih-Nya yang menyembuhkan kepada setiap orang yang mengalami
kesakitan hidup karena derita dan pergumulan yang dialaminya. Kiranya Roh Kudus
membantu kita untuk lebih banyak peduli dan menjadi berkat bagi orang lain yang
sedang menderita, sebagai mana sahabat Ayub. Kiranya pula kita tidakmenjadi
sandungan di balik derita orang lain, sebagaimana yang tega dilakukan oleh
istri Ayub. Amin.
Catatan:
Uraian
bahan khotbah ini terlalu panjang. Silakan diolah menjadi khotbah lengkap dengan
membuatnya lebih ringkas dan mudah dimengerti.