Bahan Bacaan Alkitab Hari Minggu
09 September 2018
PENGANTAR
Kita sering mendengar suatu pernyataan: “Fitnah lebih
kejam dari pembunuhan”. Pernyataan ini terkesan berlebihan, sebab
bagaimana mungkin memfitnah lebih fatal daripada menghlangkan nyawa? Dalam Kamus
Besar Bahasa Indonesia (KBBI), dijelaskan bahwa Fitnah adalah “perkataan bohong atau tanpa berdasarkan
kebenaran yg disebarkan dengan maksud menjelekkan orang (spt menodai nama baik,
merugikan kehormatan orang): — adalah perbuatan yg tidak terpuji;”
Jika
memperhatikan definisi di atas, maka fitnah setara dengan juga membunuh
karakter seseorang dan menghancurkan nama baik seseorang di
depan khalayak ramai. Fatal? Tentu saja. Bahkan dengan mengfitnah, orang lain
yang menjadi korban bisa jadi mengalami pembunuhan dan atau berakhir pada
kematian ketika karena fitnah itu ia dihukum oleh massa secara brutal.
Hari
ini, kita membaca kisah tentang Stefanus yang di Fitnah. Kisah ini bermula pada pasal 6:1-7 ketika tujuh orang
dipilih sebagai Diaken untuk melayani orang miskin, satu dari tujuh orang itu
adalah Stefanus. Nama ini dalam bahasa Yunani: Στέφανος (Stephanos) berarti “Mahkota”. Ia kemudian dipenuhi
oleh kuasa dan karunia untuk mengadakan banyak tanda dan mujizat sambil
memberitakan Injil (6:8), namun karena pemberitaannya itu, Stefanus di tangkap.
TELAAH PERIKOP
Bagaimana awal kisah dari peristiwa ini yang berakhir pada
pembataian masal terhadap Stefanus? Berikut ini beberapa pokok penting yang
perlu di telaah dari kisah Stefanus.
1.
Tidak
ada yang dapat menandingi kuasa Roh Kudus (ay.8-10)
Dokter Lukas sebagai penulis kitab ini memulai
dengan pernyataan yang menarik, yakni Stefanus penuh dengan: Karunia dan
Kuasa. Istilah Karunia berasal dari bah. Yunani χάριτος (kharistos) yang berarti pemberian
cuma-Cuma atau karunia. Dalam teologi Kristen istilah karunia
dipahami sebagai pemberian Allah bagi orang yang bercaya yang berhubungan
dengan kuasa Roh Kudus, sehingga istilah ini sering disebut dengan karunia Roh
Kudus (bd. 1Kor.12:1-11). Jika demikian, kita memahami bahwa kuasa yang
dimiliki oleh Stefanus untuk membuat tanda-tanda mujizat berasal dari Allah
melalui karunia Roh Kudus.
Sudah pasti tidak ada yang
dapat menandingi
kuasa Roh Kudus yang ada pada diri Stefanus. Hal inilah yang terjadi ketika
orang-orang Jemaat Libertini yang anggota jemaatnya berasal dari Kirene dan
Aleksandria bersoal jawab dengan Stefanus (ay.9). Mereka tidak sanggup
menandingi hikmat dan kemampuan debat yang dimiliki Stefanus. Apakah karena
Stefanus luar biasa hebat? Tentu tidak! Ayat 10 bacaan kita memberikan
konfirmasi penting. Bahwa sesungguhnya para pendebat itu bukan menghadapi
Stefanus tetapi menghadapi Hikmat dan Roh Kudus yang ada pada Stefanus.
2.
Akibat
Sulit Menerima Kekalahan (ay.11,12)
Sayang sekali Alkitab
tidak memberikan informasi tentang pokok debat yang yang menjadi tema
soal-jawab di antara mereka. Namun jika kasus ini kemudian diajukan kepada
Mahkama Agama, maka dapat diduga bahwa pokok pembicaraan mereka berhubungan
dengan keyakinan agama Yahudi. Bahkan jika merujuk isi pembelaan Stefanus di
pasal 7:1-53, maka kita smakin diyakinkan bahwa isu yang diangkat oleh mereka
adalah isu agama.
Kekalahan
yang dialami oleh mereka yang bersoal jawab dengan Stefanus ternyata tidak
berakhir di ruang diskusi. Rupanya kelompok orang2 Kirene dan Aleksandria ini “tidak
bisa menerima kekalahan” sehingga melanjutkan hal ini ke tingkat yang
lebih formal, yakni Mahkama Agama. Bagaimana mereka melakukannya?
Untuk diketahui, Mahkamah Agama , adalah sistem
pemerintahan tertinggi dari bangsa Yahudi pada zaman Yunani-Yahudi. Mahkamah Agama merupakan Badan legislatif agung di Israel.
Juga sering disebut "Sanhedrin", dari kata Yunani: συνέδριον (Sunedrion),
yang dalam aksara Ibrani: סַנְהֶדְרִין (Sanhendrin) atau Majelis Sanhendrin. Mereka
juga sering disebut dengan "Senat" (γερουσία, baca=gerousia) atau Majelis tua-tua bangsa Israel (Kisah 5:21; 22:5). Mereka terdiri dari 71 orang di bawah pimpinan Imam Agung (Berdasar pada Keluaran 24:1,9; Bilangan 11:16), yang anggotanya berasal dari
tiga golongan yakni: 1. Para
Penatua (wakil rakyat yang
paling terpandang dan tidak berasal dari keturunan imamat); 2. Para Imam Agung (para bekas Imam Agung yang tidak menjabat lagi dan para
anggota dari empat keluarga yang biasanya mencalonkan dirinya menjadi Imam
Agung; bdk.: Kisah 4:5-6); dan 3. Para ahli Kitab Suci (kebanyakan dari golongan orang-orang Farisi).
Mengapa
kasus Stefanus dibawah kepada Mahkamah Agama? Sebab yang dituduhkan kepada
Stefanus memang menyangkut masalah agama. Orang-orang yang kalah itu
mengucapkan tuduhan yang sifatnya fitnah dan hasutan kepada banyak orang bahwa “Stefanus
telah menghujat Musa dan Allah”. Bahkan pada ayat 13 kita menemukan
upaya mereka memprovokasi dengan memutar balikkan perkataan Stefanus (ay.14)
bahwa Stefanus menghina bait suci dan hukum Taurat. Tuduhan ini sangat
serius. Sehingga Mahkamah Agama perlu untuk bersidang.
Kalah
debat ini berakhir pada fitnah keji terhadap Stefanus. Mereka sulit menerima
kekalahan, tak mampu menanggung malu pada kenyataan terhina di depan umum. Akibatnya,
demi “membalikkan keadaan” dan memulihkan nama baik, fitnah dan upaya “kotor”
mereka lakukan.
RELEVANSI DAN APLIKASI
Berdasarkan
uraian di atas tentunya ada banyak hal yang dapat direlevansikan atau
diaplikasikan Firman Tuhan ini dalam kehidupan sehari-hari. Beberapa diantaranya
mengenai:
1. Mengapa sehingga Stefanus penuh dengan Karunia dan
Kuasa untuk mengadakan banyak tanda dan mujizat? Hal ini disebabkan karena para
Rasul ketika memilih 7 (tujuh) orang Diaken ini (termasuk Stefanus), harus
memenuhi syarat yaitu: terkenal baik, penuh Roh dan Hikmat (ay.3). Seorang
pelayan dipilih oleh karena memenuhi kualifikasi sesuai dengan standart
alkitabiah. Stefanus telah dikenal banyak orang sebagai pribadi yang baik. Ia tidak
dipilih karena status sosial di tengah masyarakat (kedudukan, harta dan
jabatan), melainkan track recordnya tak bercela menurut banyak orang.
Sangat disayangkan jika kemudian trend ini bergeser
pada proses melibatkan seseorang di gereja modern. Acapkali yang dipilih adalah
orang tertentu yang punya posisi di masyarakat, cukup terkenal tapi belum tentu
dikenal karena kehidupannya yang baik. Bahkan ada juga mereka “dipaksa” menjadi
pelayan “karena aji mumpung”, yakni mumpung dia mau, mumpung gak ada
lagi orang, mumpung dia teman dekat, mumpung kesempatan supaya dia rajin dll. Spiritualitas
Stefanus teruji mumpuni. Demikian seharusnya para pelayan Tuhan.
2. Beda pendapat pasti akan terjadi dalam interaksi
pelayanan dan persekutuan. Sebab dalam persekutuan dan pelayanan yang
melibatkan banyak orang, sudah pasti akan banyak pula pendapat beragam. Diperlukan
kedewasaan untuk menyikapi beda pendapat dan perselisihan itu. Dalam pelayanan
dan kehidupan persekutuan tidak ada istilah kompetisi (bersaing
kehebatan), justru yang harus dikedepankan adalah bersinergi satu dengan
yang lain untuk saling memberi apresiasi (menghargai) sebagai sesama
pelayan atau orang percaya. Jika tidak, maka dapat ditebak! Yang ada adalah
penolakan, sakit hati, yang berujung pada saling menjatuhkan.
Belajar dari kisah Stefanus dan para pendebatnya, kita
diingatkan untuk bisa menerima kelebihan orang lain, bukan sebagai kekalahan
diri melainkan kesempatan untuk belajar dan memperbaiki diri supaya dapat
seperti orang itu. Hati perlu membuka ruang pada pengampunan untuk menepis
pergesekan, tidak mudah terpancing amarah dan kemudian membabi buta, dan atau
sakit hati sehingga menjadi kepahitan dalam diri dan kemudian melihat yang lain
sebagai musuh yang layak untuk dihancurkan.
Kita juga perlu berhati-hati bahwa ada orang atau kelompok tertentu yang cendrung untuk mencari alasan atas nama agama demi menjatuhkan dan menyudutkan kita. Agama dipolitisasi sedemikian rupa, fitnah menjadi alat ampuh untuk membunuh karakter seseorang. Bahkan "penistaan agama" menjadi trend masa kini dan senjata pamungkas untuk memperoleh keinginan dan pembenaran diri. Amin.
Kita juga perlu berhati-hati bahwa ada orang atau kelompok tertentu yang cendrung untuk mencari alasan atas nama agama demi menjatuhkan dan menyudutkan kita. Agama dipolitisasi sedemikian rupa, fitnah menjadi alat ampuh untuk membunuh karakter seseorang. Bahkan "penistaan agama" menjadi trend masa kini dan senjata pamungkas untuk memperoleh keinginan dan pembenaran diri. Amin.