MENGUMPULKAN
HARTA DI SORGA
Bahan Khotbah Ibadah Minggu
12 Mei 2019
P E N D A H U L U
A N
Bagian yang kita
baca dan renungkan ini merupakan ucapan Yesus di atas bukit yang biasa dikenal
dengan Khotbah di Bukit. Injil
Matius mendokumentasikan isi Khotbah ini ke dalam 3 pasal yakni pasal 5-7 dengan
berbagai tema khotbah. Salah satunya mengenai “harta” dan bagaimana
mengumpulkannya.
Harta adalah topik
menarik untuk dibahas oleh siapapun sebab harta adalah hal yang paling dicari
dan diingini oleh siapapun. Namun, ketika membaca teks ini, kita mendapat kesan
bahwa memiliki harta dan atau menjadi kaya di bumi dilarang oleh Tuhan Yesus. Menjadi kaya adalah hal tabu bagi orang Kristen. Benarkah demikian? Perikop ini perlu digali
secara dalam untuk mendapatkan pemahaman yang tepat.
EXEGESE TEKS (Uraian Perikop)
Benarkah Tuhan Yesus melarang untuk mengumpulkan atau menumpuk harta di bumi? Mari
perhatikan dengan saksama bacaan kita saat ini. Beberapa hal penting perlu
dijelaskan.
1. Harta apa yang dimaksud
Kesan pertama ketika membaca teks ini adalah bahwa
Yesus sedang berbicara tentang kekayaan atau harta benda sebagai fokus utama. Pemahaman
ini tidak sepenuhnya keliru sebab memang Tuhan Yesus berbicara tentang
mengumpulkan harta. Namun jika kita membaca perikop sebelumnya, yang juga
adalah rangkaian khotbah di bukit, maka menjadi jelas bahwa bagian ini tidak
terpisahkan dengan perikop hal berpuasa.
Bagian ini menjadi
terpisah karena “dipisahkan” oleh Lembaga ALkitab untuk kepentingan pemilahan
topik.
Perhatikanlah
bahwa ketika berbicara tentang puasa,
Tuhan Yesus menyinggung soal “mendapat upah” dari berpuasa (ay.16). Upah atau μισθός (misthos) dalam
bahasa Yunani berarti sesuatu
yang diperoleh sebagai bayaran dari kerja yang dilakukan. Menariknya tentang “upah”
ini terletak pada pemahaman orang Yahudi terutama golongan Farisi bahwa “kekayaan atau harta benda merupakan upah
karena melakukan hukum Taurat”[1].
Sehingga menurut kebanyakan orang, melakukan suatu kebaikan dan kebenaran
menurut hukum agama adalah memperoleh harta kekayaan yang bertumpuk. Dengan kata
lain, fokus mereka tentang harta adalah yang bersifat duniawi bukan yang
bersifat rohani.
Sebagai pebanding, sialakan perhatian topik Hal
Berdoa pada ayat 5 dan 6. Bahwa setiap orang yang berdoa akan mendapat upah
(ay.5), namun yang berdoa dengan benar maka memperoleh: “Bapamu… akan membalasnya kepadamu” (ay.6). Istilah membalasnya
(give back) dari bahasa Yunani ἀποδώσει (apodosei) yang berarti “membayar dengan nilai yang sama atau
setimpal”. Apa yang dibayar setimpal itu? Tentunya sesuatu yang diberi
kepada Allah. Apa itu? Jawabnya Doa. Apa itu doa? Dari kata προσεύχῃ (proseuchomai) yang berarti membawa kehadapan Allah. Apakah yang dibawah kehadapan Allah ketika
berdoa? Tentunya membawa diri kita menjumpai Allah. Maka mereka yang memberi diri untuk menjumpai Allah akan dibalas secara setimpal oleh
Allah. Apakah itu? Allah akan membawa dirinya menjumpai kita (alias membalas secara setimpal). Dengan demikian
kita menyimpulkan bahwa upah yang dimaksud bukan hanya hal bendawi melainkan (dalam konteks Khotbah di bukit) sesuatu
yang sangat rohani dan spiritual. Harta yang dimaksud adalah harta rohani dan
bukan harta bendawi. Itulah yang menjadi fokus Yesus pada bacaan kita ketika ia
berbicara tentang cara menyimpan harta.
2.
Apakah dilarang mengumpulkan harta kekayaan? (ay.19-21)
Pertanyaan ini muncul karena kesan yang diperoleh ketika membaca ayat 19
dan 20 ini adalah “Tuhan Yesus melarang menumpuk harta kekayaan atau menjadi
kaya:. Benarkah demikian? Kesan semacam ini jelas keliru. Alkitab tidak pernah melarang
kepemilikan harta. Perintah ke-10 yang menyebut “Jangan mengingini harta milik
sesamamu” bertujuan untuk melindungi harta pribadi masing-masing orang.
Nasihat untuk belajar kepada semut yang menyiapkan perbekalan di saat susah
(Ams 6:6-8; 30:25) menyiratkan bahwa kerja keras, tabungan, dan asuransi pada
dirinya sendiri tidaklah salah. Allah tidak anti terhadap kekayaan.
Dengan kata lain, teks ini tidak berbicara tentang larangan menjadi kaya atau
menyimpan harta kekayaan.
Tiga ayat
pertama pada perikop ini justru berbicara tentang ketamakan dan bukan tentang larangan menjadi kaya. Ada satu kata yang LALAI diterjemahkan oleh LAI
yang justru sangat penting artinya, yakni:
(LAI Terj. Baru) Janganlah kamu mengumpulkan harta di bumi
(LAI Terj. Baru) Janganlah kamu mengumpulkan harta di bumi
(Mat 6:19 BGT) Μὴ θησαυρίζετε ὑμῖν θησαυροὺς ἐπὶ τῆς γῆς,
(Terj perkata) Me (janganlah) thesaurizete (kamu
mengumpulkan)
Humin (bagimu sendiri) thesaurous
(harta) epi (di)
tes ges (bumi)
Kata yang hilang di
terjemahan LAI adalah ὑμῖν (humin) yang berarti bagi dirimu sendiri. Sehingga secara
sederhana, maka larangan pada ayat 19 adalah: “Dilarang mengumpulkan harta
hanya untuk kepentingan diri sendiri”. Jika diperlebar lagi maknanya
maka kita menemukan hal positif yakni, kumpulkan harta dengan tujuan bukan
hanya bagi diri sendiri melainkan juga untuk orang lain dan terutama untuk Kerajaan
Sorga (upah rohani, harta rohani).
Mengapa larangan itu menjadi penting? Sebab jika kekayaan itu dikumpulkan
hanya untuk diri sendiri, otomatis fokus diri ada pada harta dan bukan pada
sesama termasuk bukan pada Tuhan dan kerajaan Sorga. Dampaknya adalah hati kita
hanya tertuju pada harta benda dan bukan pada Allah sebagai sumber dari harta
dan kekayaan tersebut. Tidak heran jika dengan tegas, Tuhan Yesus berkata: “di
mana hartamu berada, di situ juga hatimu berada” (ayat 21).
3.
Jangan salah fokus (ay.22-23)
Tuhan Yesus menggunakan metafora “mata” ketika berbicara tentang harta. Ia berkata:”mata adalah
pelita tubuh”. Mata memiliki fungsi
untuk melihat atau memandang. Metafora ini menunjuk pada bagaimana melihat
harta itu. Jika maata adalah pelita tubuh itu padam, otomatis fokusnya hanya
pada harta duniawi demi kepentingan diri sendiri dan akibatnya adalah kesia-siaan atau
kegelapan.
Tidak salah menjadi kaya atau memperoleh banyak harta. Tapi harusnya
jangan salah fokus. Mata kita termasuk hati tidak terfokus pada harta duniawi
sebab ngengat akan merusaknya. Justru Tuhan Yesus mengajak untuk fokus pada
harta sorgawi, yakni kehidupan kekal yang dijanjikan. Jika harta duniawi
menjadi fokus, maka semua cara termasuk kejahatan dan ketidak-adilan akan dilakukan
demi karta kekayaan. Jika fokusnya adalah kepada Allah dan KerajaanNya, yakni
harta sorgawi, maka tindakan kebenaran, keadilan, ketulusan bahkan kepedulian menjadi
fokus “mata” kita. karenanya kita perlu memberi tanda awas agar tidak salah fokus.
4.
Jebakan harta (ay.24)
Bagian terakhir dari bacaan kita akhirnya menjadi jelas, tentang apa fokus
pengajaran Yesus mengenai harta. Harta yang dimaksud adalah harta rohani, yakni
Allah sendiri. Lawan dari harta rohani adalah harta bendawi yg jadi fokus utama
sehingga berubah menjadi dewa atau ilah untuk disembah. Mengapa disembah? Karena
terfokus padanya dan tergantung padanya. Pilihannya ada dua dan hanya satu yang
bisa dipilih yakni Allah atau mamon.
Allah adalah pemilik tunggal
kehidupan kita. Ia yang menciptakan kita. Ia yang menebus kita dari dosa-dosa
kita. Seluruh hidup kita – tenaga, fokus, hati, dan waktu – harus ditujukan
pada Allah saja dan bukan pada harta. Apa yang kita pikirkan setiap hari
adalah bagaimana menyenangkan hati tuan kita dsan bukan
bagaimana menjadi berharta banyak. Nilai hidup kita ditentukan oleh seberapa besar pemgabdian kita pada Allah dan
bukan kepada harta. Jika harta
menajdi fokus kita, hati-hati kita telah memasuk wilayah “JEBAKAN HARTA” yaitu menjadi
penyembah MAMON dan bukan Allah.
APLIKASI DAN RELEFANSI
[1] Tafsiran Alkitab Masa Kini 3 Matius – Wahyu
(Jakarta: Yayasan Komunikasi Bina Kasih, 2003), hlm. 76