TIDAK
TERSESAT ATUPUN MENYESATKAN
Bahan Khotbah Ibadah Minggu
10 MARET 2019
P E N D A H U L U
A N
Awalnya
agak membingungkan mengapa GPIB mengambil 4 perikop sekaligus (Mat.18:1-18)
sebagai bahan bacaan untuk dikhotbahkan pada hari Minggu ini. Namun apabila
kita membaca seluruh perikop tersebut kita menemukan korelasi (hubungan) dari
keempat perikop tersebut tentang kerajaan Sorga. Perikop pertama: Siapa yang terbesar dalam Kerajaan Sorga (ay.1-5)
berbicara tentang bagaimana masuk ke dalam Kerajaan Sorga dan menjadi terbesar
di dalamnya. Perikop kedua: Siapa yang
menyesatkan orang (ay.6-11) berbicara tentang penegasan bahwa seorang
penyesat tidak mendapat bagian dalam Kerajaan Sorga.
Perikop ketiga: Perumpamaan tentang domba yang hilang (ay.12-14) berbicara tentang kepedulian Allah untuk membawa pulang mereka yang tersesat agar dapat terhimpun dalam Kerajaan Sorga. Terakhir, perikop keempat: Tentang menasehati sesama saudara (ay.15-18) berbicara tentang panggilan orang percaya untuk menjadi kawan sekerja Allah agar mereka yang berdosa dan tersesat dapat dirangkul kembali untuk diselamatkan.
EXEGESE TEKS (Uraian Perikop)
Berikut ini akan diuraian 4 perikop tersebut
sebagai suatu kesatuan yang tidak terpisahkan dalam rangka menjelaskan tentang
peluang memperoleh kesempatan masuk Kerajaan Sorga bagi mereka yang tersesat
dan yang menyesatkan
A.
Siapa yang terbesar dalam
Kerajaan Sorga (ay.1-5)
Perikop ini dimulai dengan sebuah pertanyaan yang
disampaikan para murid kepada Yesus: “siapakah yang terbesar dalam kerajaan
Sorga?” Pertanyaan ini dijawab oleh Tuhan Yesus dengan cara memangil
dan seorang anak kecil dan ditempatkan di tengah mereka. Yesus menggunakan
“alat peraga” yakni anak kecil untuk menjawab pertanyaan mereka. Istilah yang
dipakai untuk “anak” pada bacaan kita menggunakan istilah παιδίον (paidion) yakni anak kecil beruisa sekitar 2-5 tahun. Tuhan Yesus tidak menggunakan
istilah νηπιος
(nêpios)
atau βρεφος (brepos) untuk bayi yang baru lahir atau yang
belum berusia 2 tahun. Tuhan Yesus juga tidak menggunakan istilah παις (pais) yang berarti anak
muda atau remaja. Dengan demikian figur percontohan dari mereka yang
terkategori sebagai “berhak masuk ke dalam kerajaan Sorga” adalah anak kecil
yang sudah mandiri (bisa beraktifitas sendiri, main sendiri, makan sendiri),
dan memiliki kemauan sendiri tetapi masih “polos” belum banyak mengerti tentang
kehidupan.
Jika dihubungkan dengan kalimat “jika kamu tidak bertobat seperti anak
kecil ini” (ay.3) maka penjelasan Yesus dapat mudah untuk dimengerti. Seorang
anak kecil bukan tidak pernah berbuat salah, namun jika berbuat salah lebih
mudah diarahkan tanpa perlawanan atau argumentasi apapun. Berbeda dengan orang
dewasa yang jika salah sekalipun akan berusaha membenarkan diri dan mencari
peluang untuk tetap melakukan kesalahan yang dipandang benar. Menjadi seperti
anak kecil yang bertobat berarti dengan mudah mengakui kesalahan dan kemudian
tidak melakukan kembali. Karena ketaatan anak kecil lebih mudah diharapkan
ketimbang mereka yang sudah dewasa.
Itulah sebabnya Tuhan Yesus menegaskan bahwa merendahkan diri seperti
anak kecil (ay.4) akan mmbuat seorang terkategori bukan saja berhak memperoleh
Kerajaan Sorga melainkan juga menjadi yang terbesar. Mengapa? Karena anak kecil
cendrung dalam kepolosannya tidak memperdulikan kedudukan dan harga diri. Jika
dapat bermain bersama dan terpenuhi kebutuhan, cukuplah sudah. Dengan kata lain, justru mereka yang mencari kedudukan tinggi tidak akan
memperoleh posisi itu. Sebab Kerajaan Sorga adalah soal kerendahan hati.
B. Siapa yang menyesatkan orang
(ay.6-11)
Tuhan Yesus tidak bermaksud bahawa yang
beroleh Kerajaan Sorga adalah anak-anak kecil, tapi yang ia maksudkan adalah
tindak tanduk yang polos, sederhana, tidak memegahkan diri seperti anak-anak
kecil adalah kategori warga Kerajaan Sorga. Akan tetapi, pada perikop kedua
ini, anak-anak kecil kembali dimunculkan Yesus secara khusus ketika berbicara
tentang penyesatan. Apa maksudnya?
Anak-anak kecil rentan terhadap membedakan
mana yang baik dan mana yang jahat. Mereka dengan mudah dituntun ke arah
manapun benar atau salah). Maka jika ada yang menyesatkan mereka, anak-anak
kecil akan mudah dissatkan. Dengan tegas Yesus berkata bahwa mereka yang
menyesatkan anak-anak kecil ini yang percaya kepada kepadaNya, sebaiknya diikat
lehernya dengan batu dan ditenggelamkan ke dalam laut (ay.6). Istilah “anak-anak
kecil” juga menunjuk orang yang baru saja percaya, yakni mereka yang
belum kokoh imannya dan mudah diombang-abingkan. Barangsiapa menyesatkan
orang-orang yang lemah imannya seperti ini maka hukuman akan dibrikan
kepadaNya.
Bagi Yesus, tidak dapat dielakkan bahwa
penyesatan pasti ada dalam dunia, tetapi mereka yang melakukannya pasti binasa
(ay.7). Penyesat tidak memiliki tempat dalam Kerajaan Sorga. Karena itu Tuhan
Yesus sangat tegas terhadap penyesatan sehingga ay.8,9 bacaan kita
memperlihatkan kejamnya perlakuan terhadap penyesat. Bagi Yesus jika tangan
atau kaki atau mata menyesatkan, adalah wajib untuk memotong dan mencukil
bagian itu. Karena lebih baik masuk Kerajaan sorga tanpa mata, kaki dan tangan
daripada dicampakkan kedalam api neraka. Ketegasan ini menunjuk bahwa bagi
Tuhan Yesus penyesat tidak boleh dipandang remeh. Anggota keluarga, anggota
persekutuan sedekat apapun hubungannya tetap harus dipisahkan, jika ia adalah
penyesat.
C. Perumpamaan
tentang domba yang hilang (ay.12-14)
Jika pada perikop tentang penyesatan terlihat bahwa
Tuhan Yesus tidak berkompromi terhadap mereka, maka berbeda dengan perumpamaan
tentang domba yang hilang. Bagi Tuhan Yesus mereka yang tersesat (bukan
penyesat) tidak boleh dikucilkan dan atau ditinggalkan. Tuhan Yesus
menggambarkan kepeduliaan Allah bagaikan seorang gembala yang mencari domba
yang hilang.
Sorga tetap berduka jika ada yang tersesat. Tidak
berhenti disitu, Allah yang peduli akan mencari yang hilang dan tersesat itu
untuk di bawah pulang. Dalam tradisi Israel, adalah tanggung-jawab gembala
untuk mencari domba yang hilang hingga menemukannya. Ini bukan persoalan
untung-rugi, ini tentang relasi yang begitu kuat dan dekat seorang gembala
kepada dombanya. Itulah sebabnya resiko meningalkan 99 ekor berani ia ambil
demi mencari seeokor yang hilang itu (ay.12) dan bahkan sukacita ketika
akhirnya yang hilang itu ditemukan akan lebih besar dibanding melihat yang 99
lainnya (ay.13). Sekali lagi kisah ini tidak ada hubungan dengan hukum ekonomi
untung-rugi tetapi mengedepankan kepedulian.
Perumpamaan ini sekaligus menekankan kepada
pendengar kisah ini bahwa TUHAN Allah adalah pribadi yang penuh kasih dan
peduli. Sebagai Gembala Agung, Dia tetap berprinsip bahwa “Yang hilang akan Kucari dan yang tersesat
akan Kubawa pulang, yang luka akan Kubalut dan yang sakit akan Kukuatkan…” (Yeh.34:16). Hal kerajaan Sorga adalah bukan
hanya soal siapa yang akan berhak memperolehnya, tetapi juga tentang Kasih dan
kepeduliaan Allah.
D. Tentang
menasehati sesama saudara (ay.15-18)
Perikop
keempat ini masih berhubungan erat dengan perikop ketiga tentang kepeduliaan
Allah bagi yang tersesat. Menurut Yesus bahwa kepeduliaan Allah bagi mereka
yang tersesat seharusnya juga menjadi kepedulian bersama sesama orang beriman.
Jika mendapati ada yang berbuat dosa (tersesat) maka mereka justru jangan
dijauhi dari persekutuan, sebaliknya perlu untuk dirangkul. Prinsip yang
diajarkan oleh Tuhan Yesus ini terpampang jelas dalam Taurat Israel yakni pada
Imamat 19:17, yang berbunyi: "Janganlah
membenci saudaramu di dalam hatimu, tetapi engkau harus berterus terang menegor
orang sesamamu". Untuk melakukannya,
perlu langkah bijaksana dan tahapan penting, yakni:
1.
Pembicaraan
pribadi (ay.15)
Penting untuk mendekati secara personal (pribadi).
Tujuannya agar yang berdosa itu tidak dipermalukan di depan umum.
Perkara-perkara yang bisa diselesaikan di ruang privat (pribadi) tidak perlu
diumbar di ruang terbuka. Tahap pertama ini disebut dengan pendekatan personal,
percakapan pengembalaan khusus. Dengan percakapan dari hati ke hati, kiranya
yang bersangkutan dapat menyadari kesalahannya dan bertobat.
2.
Pembicaraan
melibatkan saksi (ay.16)
Apabila gagal, yakni yang bersangkutan tidak mengakui
kesalahannya maka perlu dihadirkan saksi. Tujuan utama adalah agar tidak
menjadi fitnah dan penghakiman sepihak. Di sisi yang lain, saksi diperlukan
untuk menguatkan “tuduhan” atau juga “nasehat” bagi yang berdosa tersebut.
Dengan hadirnya orang lain, kiranya yang bersangkutan dapat menyadari
kesalahannya dan bertobat.
3.
Pembicaraan
di depan jemaat
Apabila tahap
ke-2 masih saja tidak berhasil, masuk kepada tahap yang ke-3. Prosedur ini
dirumuskan untuk menunjukkan bagaimana pihak yang dirugikan harus
menanggapinya. Tahap ke-3 seringkali melahirkan langkah yang drastis yaitu
'pengucilan'. Dari pengucilan ini barangkali dimaksudkan untuk membuat kejutan
bagi yang berdosa supaya mengadakan rekonsiliasi. Proses yang sama ditempuh
oleh jemaat di Israel pada masa lalu berdasarkan Ulangan 19:15.
Pernyatan "Sampaikanlah
soalnya kepada jemaat" (ayat
17)
dilakukan jika pihak yang
bersalah tetap tidak mau mengakui kesalahannya (dan dosanya cukup parah
sehingga mempengaruhi jemaat). Gereja/ Sidang Jemaat harus ikut campur
menangani masalah tersebut. Ketidak-sediaan untuk mematuhi nasehat gereja
(jemaat) menjadikan orang yang bersalah tadi harus dianggap sebagai orang yang
tidak seiman ("tidak mengenal Allah, pemungut cukai") Tentu saja,
tindakan semacam ini harus termasuk usaha untuk menjangkaunya dengan Injil.
Tujuan akhir dari
tiga tahap ini adalah untuk memberikan kesempatan bagi yang tersesat (berbuat
dosa) agar menyadari dosanya, mengakuinya dan kemudian bertobat. Dengan kata
lain, hal Kerajaan Sorba bukan soal siapa yang boleh masuk ke dalamnya,
melainkan kasih pada sesama karena kasih Allah merangkul semua. Kerajaan Sorga
adalah soal kepedulian, kasih dan perhatian.
APLIKASI DAN RELEFANSI
Berdasarkan
uraian terhadap empat perikop di atas yang berkorelasi dengan Kerajaan Sorga,
maka ada beberapa pokok kebenaran firman Tuhan ini untuk diaplikasikan, yakni:
Pertama, Hal yang
terpenting soal Kerajaan Sorga adalah bukan soal siapa yang masuk kedalamny
atau yang terbesar jika ada di dalamnya. Itulah sebabnya, pertanyaan para murid
mengenai siapa yang terbesar tidak langsung dijawab oleh Tuhan Yesus. Bagi
Yesus yang terpenting adalah bukan siapa tetapi bagaimana masuk ke dalam Kerajaan
Sorga. Yakni ketulusan hidup, kepolosan tanpa kelicikan, dan kerendahan hati
tanpa mementingkan diri sendiri sebagaimana sifat yang ditunjukkan oleh anak
kecil pada umumnya, demikianlah seharusnya sikap hidup orang percaya yang
mengingini kehidupan kekal di Kerajaan Sorga.
Kedua, tanggung-jawab
orang beriman adalah menjadi alat Tuhan untuk mengiring orang menjalani hidup
yang benar dan bukan menyesatkan. Apapun alasannya, bagi Allag tidak ada tempat
bagi seorang penyesat dalam Kerajaan KudusNya itu.
Ketiga, adalah suatu
penegasan khusus bahwa hal Kerajaan Sorga adalah soal kepedulian Allah. Itulah
sebabnya kasih Allah yang merangkul dan peduli itu tidak memperhitungkan untung
dan rugi. Demi keselamatan orang percaya maka segala sesuatu Ia korbankan termasuk
mengutus anakNya ke dalam dunia mencari dan menyelamatkan yang hilang. Kabar
baik bagi semua orang adalah Tuhan tidak pernah berhenti mencari mereka yang
tersesat. Tidak ada alasan bagi Tuhan untuk mengabaikan mereka. Persoalan
penting bagi kita saat ini, apakah kita ”yang
tersesat” itu mau dan bersedia untuk ditemukan? Apakah mau bertobat?
Keempat, kita yang telah
mengecap keselamatan dan telah mengerti kebenaran memiliki panggilan mulia
untuk menjadi perpanjangan “tangang
Allah” yakni merangkul mereka yang tersesat. Untuk melakukannya perlu
dikerjalan dengan cara bijak seperti tiga tahapan yang diuraikan di atas.
Jangan menjadi hakim bagi sesamamu, sebaliknya rangkullah mereka bukan untuk
dihukum dan dikucilkan melainkan agar mereka dapat lagi mendengar dan melihat
kebenaran Allah. Kiranya kita mampu untuk melakukannya. Amin.