KOLOSE 2:6-15
Pendahuluan
Kolose adalah sebuah kota kecil di
Lembah Likus yang indah, sekitar 100 mil (160 Km) sebelah timur efesus, dekat
denizli, Turki moderen, berdekatan dengan Laodikia yang lebih makmur. Rasul Paulus bersama dengan Timotius mengalamatkan
suratnya kepada jemaat yang disebut sebagai “saudara-saudara yang kudus dan
yang percaya dalam Kristus di Kolose”. Rupanya, ia sedang berada di penjara
Roma, bersama dengan Epafras ia membangun jemaat ini yang pada mulanya adalah
orang-orang kafir (1:21; 2:12; 3:7).
Paulus dan Epafras mendengar masalah
yang ada di jemaat itu yang disebabkan oleh mereka yang dikatakannya “yang
memperdaya” jemaat dengan kata-kata indah (2:4) “mereka yang menawan kamu
dengan filsafat kosong dan palsu menurut ajaran turun-temurun dan roh-roh dunia
(2:8). Kata-kata atau filsafat kosong dan palsu atau jelasnya pengajaran sesat
yang dibawa oleh kelompok tertentu rupanya mulai mempengaruhi penghayatan iman
jemaat kepada Kristus. Rupanya diantara mereka sudah ada yang mulai tergoncang
imannya dan mulai bergeser dari pengharapan Injil yaitu Yesus Kristus.
Penjelasan dan
Tafsiran Teks
Sulit memang untuk mengindentifikasi
kelompok penyesat yang mengancam kehidupan jemaat Kolose, tetapi ajaran dan
praktek mereka di sebut sunat (2:11,13) sebagai bagian dari ketentuan hukum
Taurat (2:14). Rupanya jemaat Kolose dipaksa untuk mengikuti ketentuan Hukum
Taurat berupa sunat sebagai salah satu syarat untuk beroleh keselamatan. Paulus
menentang hal ini dan menjelaskan kepada jemaat Kolose bahwa keselamatan mereka
ditentukan bukan oleh Sunat atau ketaatan pada Hukum Taurat, melainkan oleh
anugerah keselamatan dalam penebusan Yesus Kristus.
Dalam Perjanjian Lama sunat adalah suatu tanda dan
menjadi identitas bagi umat pilihan Allah. Kisah tentang
asal mula tanda itu termuat dalam Kejadian 17:10,11. Ketika Allah membuat
perjanjian dengan Abraham, sunat ditetapkan sebagai tanda perjanjian itu untuk
selamanya. Sekarang, sunat hanyalah tanda dalam daging, sesuatu yang dilakukan
pada tubuh manusia. Namun, apabila orang ingin mengadakan hubungan yang khusus
dengan Allah, diperlukan sesuatu yang lebih daripada sekedar tanda pada
tubuhnya. Ia harus memiliki hati, pikiran, dan karakter tertentu. Di sinilah
sebagian orang Yahudi membuat kekeliruan. Mereka memandang sunat dalam
dirinya sendiri sebagai sesuatu yang cukup untuk menjadikan mereka
khusus bagi Allah. Jauh sebelum itu, guru-guru besar dan para nabi agung telah
melihat bahwa sunat daging pada dirinya sendiri tidaklah cukup dan oleh karena
itu dibutuhkan sunat rohani.
Dalam kitab Imamat si pemberi hukum berkata tentang hati yang disunat, maksudnya
umat Israel harus merendahkan hati untuk menerima hukuman Allah (Im.26:41).
Seruan penulis Kitab Ulangan adalah, “Sebab itu sunatlah
hatimu dan janganlah lagi kamu tegar tengkuk” (Ul 10:16). Ia berkata bahwa
Tuhan akan menyunat hati mereka supaya mereka mengasihi-Nya (Ul 30:6). Yeremia
berbicara tentang telinga yang tidak disunat, yaitu telinga yang tidak mau
mendengar firman Allah (Yer 6:10). Penulis Kitab Keluaran menulis
tentang lidah yang tidak.
Hal senada dan tegas juga disampaikan Paulus dalam
bacaan kita. Bahwa menurut Paulus, sunat lahiriah tidaklah menjamin keselamatan
seseorang. Sunat Kristus yakni penebusanlah yang lebih utama. (ay.11). Yang
dimaksud Paulus tentang Sunat Kristus adalah mengenai penanggalan tubuh yang
berdosa. Sunat biasa hanya sebagian tubuh, sedangkan sunat Kristus adalah
menangalkan seluruh tubuh yang berdosa menjadi ciptaan baru di dalam penebusan
yang dilkakukan Kristus yakni mengampuni segala dosa (ay.13).
Penebusan yang dilakukan oleh Tuhan Yesus itu bagaikan
menghapuskan surat hutang (ay.14). Ungkapan “surat hutang” berasal
dari dunia perniagaan. Surat hutang itu ditandatangani oleh pihak yang
berhutang, sehingga surat tersebut mempunyai nilai hukum. Paulus memakai
ungkapan ini untuk berfungsi sebagai metafor untuk menyatakan bahwa
kita berhutang kepada Allah, yang olehnya kita diganjar dengan maut (Rm 6:23).
Namun tak seorangpun di dunia ini yang dapat melunasi hutang itu. Yesuslah yang
melunaskan hutang itu dengan mati di kayu salib.
Menarik untuk diperhatikan dalam ayat 14 dan 15 bahwa
sekonyong-konyong Paulus mulai memakai istilah “kita” dalam
tulisannya, yang sebelumnya menyebut dan menyapa dengan kamu. Para pembaca
surat ini adalah orang-orang bukan Yahudi, sedang Paulus adalah seorang Yahudi.
Paulus tidak mengecilkan perbedaan antara seorang yang disunat dan yang tidak
disunat. Tetapi pada dasarnya keduanya sama. Yahudi dan kafir, kedua-duanya
harus hidup dari pengampunan dosa. Kedua-duanya berdosa di hadapan Allah. Maka
Yahudi dan kafir kedua-duanya mendapat dari Allah keampunan di dalam Kristus.
Sebab itu sekonyong-konyong Paulus berpindah dari kata “kamu” kepada “kita” di
dalam ayat 13 dan 14. Ia menggolongkan dirinya sendiri di dalam lingkungan itu.
Dengan kata lain, Paulus bersedia menyebut dirinya sama dengan kelompok tak
bersunat. Ia sangat tidak mempersoalkan tentang arti sunat itu sendiri.
Relevansi dan
Aplikasi
Berdasarkan Uraian di atas, silakan membuat relevansi
dan aplikasinya dengan penekanan pada:
1.
Keselamatan datang
sebagai anugerah
Dengan tegas Paulus
mengingatkan kita bahwa akibat dosa kita bagaikan orang yang perlu ditebus
hutangnya agar terbebas dari ikatan perjanjian dosa. Sebagai pribadi yang
terikat perjanjian itu, kita tidak bisa menebus diri kita sendiri. Di sinilah
peran Yesus yang mengambil alih surat hutang tersebut dan menebus kita dengan
membayar harga, yakni nyawaNya sendiri. Kita diselamatkan oleh karena anugerah
Tuhan itu.
Sayangnya, ketika
bicara tentang keselamatan sebagai anugerah, maka seringkali nilai dan maknanya
kurang dihargai. Keselamatan adalah anugerah. Gratis tapi
harganya mahal, yakni kematian Kristus bagi kita. Gratis tidak berarti murah
apalagi murahan. Harganya sangat mahal yakni semahal nyawa anak Allah, Tuhan
Yesus Kristus. Karena itu, menghargai keselamatan
adalah kesediaan kita memberi nilai terhadap anugerah yang mahal itu, lewat
menjaga hidup kita agar tidak mencoreng dan mengotori nilai sakral dari
keselamatan itu.
2.
Sunat Hati lebih
penting dari sunat lahiriah.
Sunat
hati adalah bentuk pertobatan yang mendasar, yaitu membuang dari hati sikap
yang keras kepala terhadap firman Tuhan dan sikap yang terbuka kepada dosa.
Bersunat hati berarti memblokir hati dari ajakan berbuat dosa, dan
mengarahkannya kepada petunjuk firman. Sunat hati berarti pertobatan dari
dalam. Orang bisa saja bersunat lahiriah, tetapi hati dan pikirannya tertawan
dosa. Orang yang bersunat hati menjadikan hati dan pikirannya milik Kristus. Sunat
hati adalah metafora lahir baru, yaitu pertobatan yang dimulai dari anugerah
keselamatan oleh Yesus. Mereka yang sudah disunat hatinya mampu menolak godaan
dunia untuk tetap hidup dalam dosa, sebaliknya dengar-dengaran firman Tuhan
untuk hidup kudus.
Dengan
kata lain, seorang yang mengaku diselamatkan dan percaya kepda Kristus, adalah
pribadi yang bersedia mengekang diri dan hatinya dari berbgai perbuatan
kejahatan. Bukankah menjadi kenyataan tak terpungkiri bahwa banyak yang
menyebut diri Kristen, namun pola laku hidup tidak sesuai dengan Kristus? Itu
berarti belum mampu menyunat hatinya. Secara lahiriah,
mungkin kita menunjukkan berbagai indikasi sebagai pengikut Kristus. Pergi ke
gereja, membaca Alkitab, rajin berbuat baik. Namun, jika hati kita masih
menikmati dosa, diliputi ketakutan, kebimbangan, egoisme, kepentingan diri
sendiri, kita harus meminta Roh Kudus menyelidiki hati kita, adakah kita sudah
bersunat hati seperti yang Tuhan inginkan?
3.
Jadilah berkat bagi
orang lain yang “berbeda” melalui kesaksian hidup kita.
Paulus dalam ayat 13
dan 14 mengidentifikasi dirinya dengan kaum tak bersunat alias orang2 golongan
non Yahudi. Pada zaman itu tindakan Paulus tidaklah lazim. Sebab biasanya,
orang Kristen Yahudi merasa lebih unggul dengan non Yahudi. Namun ketika Paulus
menyapa dengan sebutan “kita” dan bukan “kamu”, maka hal itu memberi gambaran
jelas bahwa Paulus menerima mereka sebagai bagian yang sama dengan dirinya.
Bukankah seharusnya
demikian orang yang sudah percaya? Pengikut Kristus harus mampu merendahkan
hati di hadapan Kristus dan bersedia menerima perbedaan sebagai anugerah Allah.
Mampu menganggap orang lain sebagai saudara dan menjadikan diri kita sebagai
pribadi yang bersaksi agar menjadi berkat bagi mereka yang berbeda dengan kita.
Kita dapat menghancurkan musuh bukan dengan cara membenci musuh kita; namun
dengan cara mengubahnya menjadi sahabat.
Karena itu, marilah membangun hidup kita agar
berpadanan dengan Kristus. Biarlah kita tetap hidup di dalam Dia, dan dibangun
Dia. Sehinga kita mampu berakar dan bertumbuh karena Kristus, sehingga berbuah
bagi kemuliaan namaNya. Amin.