Kisah Para Rasul 4:32-37
Pengantar
Pemahaman Teks
4:32 Ayat ini menjelaskan dasar filosofis dari persekutuan jemaat
yaitu sehati dan sejiwa ...
mengesampingkan individualitas karena mengusung semangat kebersamaan.
4:33 Pimpinan dari persekutuan ini adalah rasul-rasul yang tugas
utamanya bukan mengatur persekutuan tetapi bersaksi tentang kebangkitan Tuhan
Yesus. Sekalipun demikian, persekutuan
ini bukannya menjadi kacau (karena para pemimpinnya hanya sibuk melayani firman
bukan mengatur) tetapi malah hidup dalam kelimpahan (4:34: tidak
ada seorang pun yang berkekurangan di antara mereka). Hal ini didukung oleh ‘kesadaran’ jemaat
yang:
4:34-35 rela menjual kepunyaan mereka lalu hasilnya dipersembahkan kepada
Tuhan baru dibagi-bagikan kepada setiap
orang sesuai dengan keperluannya.
4:36-37 Ada juga seorang Lewi, yang bukan berasal dari antara mereka tetapi
dari pulau Siprus bernama Yusuf (yang kemudian hari disebut Barnabas oleh
rasul-rasul) ikut berpartisipasi dengan menjual ladang, miliknya demi menopang
kehidupan bersama.
Renungan dan Penerapan
Cara hidup jemaat mula-mula dinilai sebagai cara hidup yang ideal dalam
suatu persekutuan, yaitu ketika semua orang percaya hidup bersama, sehati
sejiwa, saling berbagi kepunyaan dan saling memperhatikan satu sama lain. Akan tetapi, cara hidup seperti ini tentu
tidak lagi dapat diterapkan sepenuhnya dalam kehidupan bergereja di masa kini
karena (sebagai salah satu contohnya): berdasarkan alasan masing-masing, tidak
seorang pun dari kita yang rela menjadikan harta miliknya menjadi kepunyaan
bersama atau dipakai (tanpa imbalan) oleh setiap orang di persekutuan gereja
(bnd. 4:32). Kalaupun ada di antara kita
yang menyerahkan tanah atau rumah pribadi untuk dijadikan tempat ibadah
(gereja), hal ini tidak diikuti oleh yang lain (bnd. 4:34: ‘semua orang’ ...).
Perbedaan ini tentu disebabkan oleh keadaaan dan situasi yang sangat
jauh berbeda antara jemaat mula-mula dengan jemaat masa kini. Lagipula, Kisah Para Rasul pun tidak mencatat
informasi mengenai: sampai berapa lama jemaat mula-mula hidup dengan cara seperti
ini karena pada kenyataannya, kalau bukan karena situasi dan kondisi tertentu,
tidaklah mungkin seseorang/ sekeluarga dapat hidup bersama-sama
(=beramai-ramai) dengan orang/ keluarga lain selamanya.
Walaupun keadaan dan situasi yang sangat jauh berbeda antara jemaat mula-mula dengan jemaat masa kini, gagasan untuk membentuk suatu persekutuan yang ‘sehati sejiwa’ itu harus diwujud-nyatakan. Sekalipun di dalam gereja, kita semua memiliki kerinduan untuk dapat ‘sehati sejiwa’ namun pada kenyataannya, mempersatukan orang-orang yang berbeda merupakan hal yang tidak mudah. Pemahaman setiap orang tentang ‘sehati sejiwa’ pun seringkali tidak sama. Yang disebut ‘sehati sejiwa’ itu terkadang adalah orang-orang yang sependapat sedangkan yang berbeda langsung dilihat sebagai ‘orang lain’. Akhirnya, bukannya menjadi persekutuan dengan banyak anggota malah menjadi persekutuan dengan banyak kelompok. Hadirnya kelompok-kelompok dalam persekutuan gereja seringkali tidak bisa dihindarkan (kelompok berdasarkan daerah asal, berdasarkan persamaan minat, kelompok arisan, dll). Lalu bagaimana kita mengartikan ‘sehati sejiwa’? Mari belajar dari perikop ini:
Orang bijak menyadari bahwa tidak ada sahabat yang setia maupun musuh yang abadi, yang ada hanyalah kepentingan bersama. Maksudnya: yang tadinya sahabat, satu kali bisa menjadi musuh; yang semula bermusuhan bisa menjadi sahabat tergantung dari apa kepentingannya. Dalam perikop ini, semua orang yang telah menjadi percaya memiliki kepentingan bersama yaitu menjadi saksi akan kebangkitan Kristus (4:33) dan hidup bersatu dalam kasih sebagai tanda bahwa mereka adalah murid Yesus (Yoh 17). Selama mereka memiliki kepentingan yang sama, mereka akan selalu berusaha untuk mewujudkan kepentingan itu. Topik percakapan pertama: jika kita hendak mewujudkan suatu persekutuan yang ‘sehati sejiwa’, kepentingan bersama apa yang seharusnya menjadi dasar persekutuan kita?
Demi mewujudkan kepentingan bersama itu, jemaat mula-mula rela menjual
harta milik/ kepunyaannya. Topik pertanyaan kedua: apa yang membuat kita sering kali tidak
dengan rela menjadikan harta/ kepunyaan kita dipakai bersama demi pelayanan
gereja.
Penutup