JEHOVAH NISSI
=============
Ada yang menarik dari kisah peperangan antara Israel dan Amalek dalam perjalanan padang gurun ketika mereka berada di Rafidin (Kel. 17:8-16).
Yosua mengambil posisi memimpin pasukan di garis depan menghadapi Amalek. Tepatlah jika pada peperangan itu ia disebut panglima perang dengan pertaruhan yang tak sedikit yakni nyawanya (ay.10).
Di mana Musa? Pada ayat 8 perannya sebagai leader mengatur strategi dan "pemberi intruksi" kepada Yosua. Apa hanya itu? Musa menugaskan dirinya sendiri yakni "hanya" mengangkat tongkat Allah di atas sebuah bukit (ay.9).
Ahhh... Peran Musa terkesan sepele dan cari aman di atas bukit. Tapi sesunguhnya peran "sepele" ini justru sangat menentukan. Jika "tongkat Allah" diangkat Musa, Yosua dan Israel menang dan jika ia menurunkan tongkat itu, terjadi sebaliknya (ay.11). Sepele, namun sangat berarti bukan?
Kisah ini semakin menarik dengan munculnya dua tokoh dengan inisial 2H, yaitu Harun dan Hur. Apa peran mereka? Peran mereka "sangat enteng" dibanding keringat dan darah yang ada pada pasukan di medan tempur.
Mereka hanya bertugas mencari batu untuk tempat duduk Musa. Hemmm.. tugas yang amat ringan bukan? Karena Musa mulai lelah, mereka "hanya" membantu menopang tangan Musa di sisi kiri dan kanan (ay.12). Apalah arti tugas itu dibanding mengayunkan pedang seperti Yosua dan pasukannya?
Tapi tahukah saudara, andai mereka tidak sediakan tempat duduk untuk Musa dan membantu mengangkat "Tongkat Allah" itu, kisah kemenangan itu tidak akan tercatat (ay.14)?
Ternyata 4 tokoh ini memberi andil dengan bentuk kontribusi berbeda bagi kemenangan Israel atas Amalek.
Tak peduli di lini mana engkau ditempatkan; tak soal sebesar apa ruang lingkup tanggung-jawab mu; dan tak jadi masalah se-strategis apa posisimu dalam tiap peran. Prinsip utama adalah tetap bergerak, tetap berfungsi dalam tiap peran. Terkecil apapun, sangat berarti peranmu bagi suatu kemenangan atau keberhasilan.
Selanjutnya, perhatikan ayat 15 dan 16. Musa dan yang lain tidak berlomba memuji peran masing-masing dan ataupun menunjuk diri sebagai yang paling penting posisinya saat perang usai. Musa justru mendirikan mezbah. Ia menamakan mezbah itu TUHANlah panji-panjiku (JEHOVAH NISSI יְהוָה נִסִּי).
Dalam peperangan, panji-panji adalah simbol pasukan serta lambang kehormatan dan kebanggaan. Selama panji-panji masih tegak berdiri, pasukan itu masih ada dalam kehormatan berjuang mencapai kemenangan. Di mana panji-panji berada di situlah pasukan berkumpul. Jika panji-panji bergerak maju, pasukanpun bergerak dengan semangat menerjang musuh. Dengan kata lain, panji-panji adalah penentu.
Mezbah itu adalah suatu pengakuan. Pengakuan dalam kerendahan dan kesadaran bahwa kemenangan atas Amalek adalah karena TUHAN, Allah Israel. JEHOVAH NISSI adalah penentu.
Sahabat...
Berperanlah sesuai posisi, kondisi, kemampuan dan keahlian diri. Bukan soal besar kecil andilmu yang menentukan suatu kemenangan bersama. Tetapi bersediakah engkau bergerak pada peran masing-masing dengan fungsi yang tak sama, itulah yang menentukan.
Hanya ingatlah pada semboyan Musa yakni "Jehovah Nissi" itu. Sehebat apapun kita berperan dan bergerak bersama, TUHANlah penentuNya. TUHANlah panji-panjiku.
Refleksi Kel.17:8-16
Sesuai bacaan Sabda Bina Umat (SBU GPIB)
25 April 2017 (bacaan malam).
Bagaikan perjalanan kita membutuhkan tuntunan yang tepat mencapai tujuan. Tahukah saudara bahwa, Firman Tuhan adalah tuntunan perjalanan itu? Blog ini berisi beberapa renungan berdasarkan Firman Tuhan. Salam Kasih, Pendeta. I NYOMAN DJEPUN, M.Th
Tuesday, April 25, 2017
Tuesday, February 28, 2017
BAIK ATAU BURUK
AYUB 2:8-13
Bahan Renungan Ibadah Keluarga
01 Maret 2017
Oleh: Pdt. Cindy Tumbelaka
Dalam
Alkitab, Ayub dihadirkan sebagai orang yang sifatnya saleh dan jujur, takut
a-kan Allah dan menjauhi kejahatan (1:1).
Dengan kata lain, kehidupan keagamaan dan keiman-an Ayub baik
(1:5). Sebagai seorang kepala keluarga,
Ayub memiliki 7 (tujuh) anak laki-laki dan 3 (tiga) anak perempuan (1:2). Dengan demikian, Ayub dapat dikatakan sebagai
laki-laki yang berbahagia dan patut berbangga hati di hadapan orang (Mzm
127:3-5). Ayub juga dica-tat sebagai
orang yang terkaya dari semua orang di wilayah itu (1:3). Kesimpulannya, Ayub menjalani hidup yang
sempurna sebagai manusia karena diberkati Allah.
Di
mata Allah, Allah pun mengakui bahwa tiada seorangpun
di bumi seperti dia, yang demikian saleh dan jujur, yang takut akan Allah dan
menjauhi kejahatan. Ia tetap tekun dalam kesalehannya, meskipun mengalami
kecelakaan tanpa alasan (ay. 3). Hal ini dikatakan Allah setelah Allah
membiarkan harta kekayaan Ayub dirampas orang, budak-budaknya mati dibunuh
(1:15), peternakannya habis terbakar (1:16), ternak dan penjaga-penjaganya
habis dibunuh (1:17), anak-anak Ayub pun mati tertimpa rumah yang roboh ditiup
angin ribut (1:18-19). Walaupun sudah
sedemikian habis, iblis masih mendesak Allah untuk menimpakan penderitaan
badani pada tubuh Ayub (2:4-5) maka jadilah Ayub terkena barah yang busuk di
seluruh tubuhnya (2:6-7).
Pemahaman
Teks
2:8 Barah yang busuk itu membuat seluruh
badan Ayub menjadi sangat gatal sehingga ia menggaruknya dengan sekeping
beling. ‘Sekeping beling’ memberi
gambaran betapa parahnya kerugian materi yang diderita Ayub. Segala kekayaan yang dimiliki hancur
berkeping-keping sehingga menyisakan pecahan-pecahan kaca/ beling. Demikian juga dengan ‘abu’ yang menggambarkan
keadaan yang sudah habis sama sekali hanya menyisakan abu. Dalam Alkitab, ‘abu’ dipakai sebagai tanda
merendahkan diri di hadapan Allah (Ayb 42:6).[1]
2:9 Ternyata, sekalipun Ayub adalah seorang
yang saleh dan takut akan Tuhan, sifatnya ini tidak dijiwai juga oleh
isterinya. Isteri Ayub sepertinya tidak
mau menerima kenyataan yang dihadapi yaitu kehancuran dan penderitaan.
2:10 Terhadap usul isterinya supaya Ayub tidak
lagi bertekun dalam kesalehan dan mengutuki Allah, Ayub memandang usul ini
‘gila’. Alkitab memberi catatan penting
terhadap sikap iman Ayub ini, yaitu dalam
kesemuanya itu Ayub tidak berbuat dosa dengan bibirnya.
2:11 Malapetaka yang menimpa Ayub mengundang
simpati dari teman-teman, khususnya Elifas, Bildad dan Zofar. Mereka datang dari daerah masing-masing untuk
mengucapkan belasungkawa kepadanya dan
menghibur dia.
2:12 Yang membuat Elifas, Bildad dan Zofar
menangis/ berduka adalah tampilan Ayub yang dipenuhi barah busuk seluruh tubuh
sehingga tidak dapat dikenali dengan mudah.
2:13-14 Tindakan Elifas, Bildad dan Zofar yang
menaburkan debu di kepala merupakan tanda bahwa mereka turut berduka secara
mendalam. Mereka tidak dapat lagi
mengucapkan kata-kata penghiburan selain duduk bersama Ayub di tanah selama 7
(tujuh) hari 7 (tujuh) malam.
Renungan dan
Penerapan
Pada
pasal 1 dan 2 saja kita dapat melihat bagaimana dengan iman Ayub siap meng-hadapi
kenyataan pahit bahwa ia kehilangan segalanya, termasuk 10 (sepuluh) anak yang
sa-ngat dikasihinya. Kesiapan Ayub
tampak pada ucapan: "Dengan
telanjang aku keluar dari kan-dungan ibuku, dengan telanjang juga aku akan
kembali ke dalamnya. TUHAN yang memberi, TUHAN yang mengambil, terpujilah nama
TUHAN!" (1:21). Juga ketika
Ayub berkata kepada isterinya:
“… Apakah kita mau menerima yang baik dari Allah, tetapi tidak mau menerima
yang buruk?" (ay. 10). Ayub ‘siap menerima yang buruk’ dari Allah
sebagaimana ia siap menerima yang baik. Lalu apa yang sebenarnya membuat Ayub
berduka?
‘Siap menerima keadaan’ bukan
berarti ‘dengan senang hati’. Berdasarkan
iman, ide-alnya kita harus ‘siap’ menerima apapun pemberian Allah. Akan tetapi sebagai manusia, rasa kehilangan
dan rindu, khususnya ketika ditinggalkan orang-orang yang sangat dikasihi,
tentu ti-dak bisa diabaikan begitu saja.
Jadi, berduka karena merasa rindu atau kehilangan itu wajar selama kita
dapat mengendalikan diri dari berbuat dosa (ay. 20 dan 1:22 = tidak menuduh Allah berbuat yang kurang
patut). Jadi, bukan karena kenyataan
buruk inilah Ayub berduka melainkan lebih karena kebingungannya mengenai:
mengapa hal-hal buruk dapat terjadi atas orang baik/ benar.
Ayub tidak pernah tahu bahwa
dirinya dijadikan ‘taruhan’ antara Allah dengan iblis; yang ia tahu hanyalah
dirinya yang sudah berusaha hidup sebaik mungkin di mata Allah dan manusia
tetapi malah tertimpa malapetaka. Dalam
hidup beriman, kita pun akan mengalami hal-hal buruk yang tidak hanya membuat
kita merugi tetapi bingung: kesalahan/ dosa apa yang telah kita perbuat? Dalam keadaan bingung maupun panik menghadapi
kenyataan, kita sering-kali melakukan tindakan gegabah, seperti menuduh Allah berbuat yang kurang patut
(1:22), mengambil keputusan yang salah, melanggar peraturan/ hukum,
melampiaskan marah/ kece-wa/ frustasi melalui tindakan anarkis, dll. Dari Ayub, kita belajar bahwa pengakuan iman
ten-tang TUHAN yang memberi, TUHAN yang mengambil (1:21) maupun kita juga harus mau me-nerima yang buruk dari Allah
sebagaimana kita menerima yang baik (ay. 10) adalah yang me-mampukan
kita menghadapi kenyataan dalam keadaan bingung.
Hal kedua yang tidak kalah
memberatkan Ayub dalam menghadapi kenyataan buruk adalah hilangnya dukungan
dari pasangan hidup, yaitu isteri, ketika isteri ternyata ‘tidak sei-man’
dengannya (= agamanya sama namun pengakuan, pemahaman dan tindakan imannya
berbeda). Sikap isteri Ayub ini
benar-benar menjadi peringatan bagi kita untuk juga memper-hatikan kesiapan
keluarga ketika kita hendak melayani Tuhan dengan lebih serius. Kita yang beriman dan taat kepada Tuhan harus
juga memperhatikan pertumbuhan iman orang-orang di sekitar karena iman mereka
ternyata sangat penting dan cukup berpengaruh pada saat kita menghadapi
kenyataan buruk. Kenyataan akan terasa
jauh lebih buruk jika kita mengadapinya sendiri tanpa topangan iman dari
orang-orang terdekat, khususnya pasangan hidup.
Bukan dari isteri, Ayub mendapat
dukungan melainkan dari sahabat-sahabatnya.
Apa yang dilakukan sahabat-sahabat Ayub ini mengilhami kita ketika
hendak mendampingi orang yang sedang berduka. Cara kita menghibur ataupun menguatkan orang
berduka tidak selalu dengan membicarakan apa yang terjadi maupun memberi
nasihat tentang apa yang harus dilakukan, sekalipun nasihat itu tepat. Hanya dengan duduk bersama dalam diam di
tempat di mana orang itu ‘terlalu lemah untuk beranjak’, itu cukup menguatkan. Sekalipun nasihat yang kita sampaikan itu
baik dan benar namun dalam keadaan seperti ini, orang belum tentu siap menerima
malah dapat berprasangka buruk. Tunggu
saja sampai orang yang berduka itu siap untuk bicara. Sambil menunggu, silahkan berdoa di dalam
hati kepada Tuhan, mohon hikmat dan kekuatan untuk menjadi pendamping yang baik
juga untuk menghadapi kenyataan buruk ini bersama. Amin
[1] Ensiklopedi
Alkitab Masa Kini jilid 1: A-L, Jakarta :
Yayasan Komunikasi Bina Kasih/ OMF, 1994, hlm. 8
Saturday, February 11, 2017
AKU HANYA MENJALANKAN KEWAJIBAN AGAMAKU
AKU HANYA MENJALANKAN KEWAJIBAN AGAMAKU
Upaya Memposisikan Diri Sebagai Seorang
Imam dan Orang Lewi
Dalam Perumpamaan Orang Samaria Yang
Baik Hati Yang Diceritakan Yesus
Menurut Injil Lukas 10:25-37
Pdt. I Nyoman
Djepun
P E N D A H U L U A N
Membaca
perumpamaan Tuhan Yesus pada injil Lukas 10:25-37 tentang “Orang Samaria Yang
Baik Hati”, umumnya banyak orang menganggap bahwa tindakan seorang Imam dan
orang Lewi yang hanya meninggalkan orang yang hampir mati itu, merupakan
tindakan tidak terpuji, tidak berperi-kemanusiaan; dan bahkan dianggap tidak
seharusnya dilakukan oleh seorang agamawan. Alasan utama pendapat ini adalah
karena imam dan orang lewi tersebut tidak memberikan pertolongan, sebagai
orang-orang yang memperoleh kesempatan pertama untuk menolong. Di sisi lain,
tindakan “orang Samaria yang baik hati ini” justru kontras dengan sikap
para rohaniawan tersebut.
Uraian berikut ini mencoba untuk melihat kisah perumpamaan ini dengan “sudut pandang yang
baru” dengan cara menempatkan diri sebagai imam dan orang Lewi dalam cerita
tersebut. Dengan menempatkan diri sebagai mereka, kiranya dapat diketahui
alasan dan latar belakang dari tindakan keduanya yang seakan memberi kesan gagal
menjadi sesama manusia bagi seorang korban perampokan di jalan Yerusalem ke
Yerikho.
JALAN
PENGHUBUNG KOTA YERUSALEM KE YERIKHO
Jalan dari Yerusalem menuju ke Yerikho hanya 27 kilometer
(17 mil) panjangnya, dan di sekitar jalan ini terbentang jalan yang menurun
sekitar 1.000 meter.[1] Wilayah ini sebenarnya
tidak berpenduduk, tidak ada tanaman, dan ditandai dengan adanya batu-batu
karang kapur dan jurang di kedua sisi jalan. Pada zaman Alkitab, jalan tersebut
diberi nama "jalan berdarah," kemungkinan besar karena dianggap tidak
aman. Rute ini sering dilewati oleh para peziarah dan para kafilah. Dari waktu
ke waktu mereka dirampok oleh bandit-bandit yang bersembunyi di belakang
batubatu kapur.[2]
Dengan demikian,
dapat dipastikan bahwa jalan yang dilalui oleh orang yang dirampok pada
perumpamaan “Orang Samaria Yang Baik Hati” itu merupakan jalan yang
rawan, sulit dilalui serta tidak aman bagi para penggunanya. Tidak heran jika perampokan
terjadi di situ. Kemungkinan besar kisah yang diangkat oleh Yesus, dalam
perumpamaan ini, adalah peristiwa yang pernah terjadi walaupun tokoh-tokoh
fiktif menghiasi kisah tersebut.
YERUSALEM DAN YERIKHO
Terdapat dua tempat
yang disebutkan oleh Yesus dalam perumpamaan ini, yakni Yerusalem dan Yerikho.
Kedua tempat ini memang berbeda, namun memiliki konektivitas yang dalam dengan
kisah ini secara khusus dengan dua tokoh pertama, yakni Iman dan Orang Lewi.
Kota Yerusalem adalah salah satu kota termasyur
di dunia yang sudah berdiri sejak milenium 3sM. Kota ini terletak menjulang
tinggi di punggung bukit pegunungan Yehuda, dan terletak kr 50km dari Laut
Tengah dan kr 30km sebelah barat ujung utara Laut Mati. [3] Di kota inilah bangunan suci
orang Israel yakni Bait Allah (biasa disebut Bait Suci)[4] berdiri megah yang menjadi pusat
peribadahan dan penyembahan umat kepada Allah.
Kota Yerikho dalam PL biasa dianggap sama
dengan bukit Tel es-Sultan yang terletak kr 16km sebelah
Baratlaut muara sungai Yordan sekarang di Laut Mati, kr 2km Baratlaut dari desa
er-Rikha (kota Yerikho Modern), dan 27km Timurlaut dari kota Yerusalem. Kota
ini berbentuk jambu biji dengan ukuran panjang kr 400m utara-selatan dan lebar
ujung utaranya kr 200m dengan tinggi kr 20 meter. Berbeda dengan Perjanjian
Lama, kota Yerikho menurut Perjanjian Baru, khususnya pada zaman Herodes
terletak di bukit Tulul Abu el-‘Alayiq, 2 km sebelah Barat desa er-Rikha
modern. Dengan demikian, letak kota Yerikho dalam PB dan dalam kisah ini berada
di sebelah selatan kota Yerikho dalam Perjanjian Lama.[5] Kota ini kemudian terkenal
memiliki jumlah penduduk yang sangat tinggi. Kota ini juga merupakan tempat
tinggal para imam.
Mengapakah orang-orang
ini berjalan melalui jalur Yerusalem-Yerikho ini? Tampaknya sebagian besar imam
dan orang Lewi yang bertugas di Bait Suci tidak tinggal di Yerusalem tetapi
ditempat lain[6].
Yerikho merupakan salah satu tempat tersebut. Diduga ada kurang lebih 12 ribu
imam dan orang Lewi tinggal disana[7] (jumlah total imam Bait
Allah adalah sekitar 7200 orang dengan jumlah orang Lewi yang lebih banyak
lagi) [8]. Berdasarkan fakta ini
maka adalah wajar jika Imam dan orang Lewi melakukan perjalanan melalui jalur
tersebut.
SIAPAKAH
IMAM DAN ORANG LEWI ITU?
Imam adalah
orang-orang yang bertugas menjalankan ritual keagamaan di Bait Suci. Para imam
ini dibagi menjadi 24 kelompok yang setiap kelompok bertugas selama 1 minggu
per waktu sebanyak 2 kali dalam satu tahun. Meskipun begitu dalam hari-hari
raya besar mereka semua diminta untuk bertugas.[9] Sedangkan Orang Lewi
juga merupakan petugas dalam Bait Suci. Tugas mereka ialah bernyanyi dan
memainkan musik untuk ibadah-ibadah yang berlangsung, membantu pekerjaan para
imam dan menjadi penjaga[10]. Mengingat bahwa
kehidupan bangsa Yahudi berpusat kepada Bait Suci maka tentulah orang-orang
yang bertugas dan melayani disana memiliki status sosial dan kebanggaan
tersendiri.
MENGAPA
MEREKA MENGABAIKAN ORANG YANG DIRAMPOK ITU?
Dalam
ayat 31-32 dikatakan dalam teks ada seorang imam dan lewi yang melewati daerah
tersebut dan menemukan orang yang sedang tergeletak di jalan tersebut yang baru
saja di rampok dan dipukuli sampai setengah mati. Namun, imam tersebut hanya
melewatinya saja dan tidak menolongnya. Membayangkan situasi yang ”setengah
mati” tersebut dengan perspektif melihat dari kejauhan, tentulah imam tersebut
tidak bisa membedakan apakah sudah mati atau masih kritis “setengah mati”
sebagaimana tertulis dalam ayat 30.
Ia
tidak menolong kemungkinan disebabkan karena ia teringat akan ketentuan bahwa
barangsiapa yang menyentuh orang mati maka ia menjadi najis selam tujuh hari
(Bil 19:11). Imam ini ragu-ragu apakah ia masih hidup atau sudah mati, oleh
karena itu ia tidak mau menolongnya. Selain ia menjadi najis dan tidak dapat
melakukan kegiatan di Bait Allah, maka agar dapat menjadi tahir kembali,
seorang imam harus melakukan ritual yang rumit dan juga membutuhkan biaya yang
mahal untuk melakukan pentahiran tersebut (Bil 19:1-10). Sehingga kemungkinan
dengan alasan tersebut imam ini tidak menolong orang ini dan lebih mementingkan
kehidupan pribadinya daripada menolong sesama.[11]
Kemudian
di ayat 32 juga dikatakan bahwa orang Lewi juga melihat orang yang tergeletak
tersebut, namun dia juga tidak menolongnya. Alasan yang sama seperti dengan
Imam kemungkinan menjadi penyebabnya. Selain itu, biasanya para bandit
mempunyai strategi untuk menarik mangsanya. Bisa saja orang yang sedang
terbaring itu adalah salah seorang anggota mereka sendiri yang bertindak
sebagai korban. Kalau orang Lewi itu berhenti disitu maka dengan tiba-tiba para
perampok juga akan menyergap dia dan merampok harta bendanya. Orang Lewi
terkenal dengan semboyan “pertama-tama adalah keamanan diri”, jadi ia tidak mau
mengambil resiko dengan menolong orang tersebut.[12] Selain takut jika korban
itu adalah stategi yang digunakan oleh perampok, kemungkinan orang Lewi juga
takut menjadi najis mengingat ia mempunyai tugas di dalam Bait Allah seperti
yang telah dijelaskan di atas.
SALAHKAH
AKU JIKA INGIN MENJALANKAN KEWAJIBAN AGAMAKU?
Dari
uraian di atas, maka di saat kita menempatkan diri sebagai orang lewi dan imam
dalam perumpamaan Yesus mengenaii Orang Samaria Yang Baik Hati tersebut,
terdapat beberapa penekanan penting untuk dapat dijadikan alasan mengapa
tindakan mereka berdua dapat dianggap “tindakan tak keliru” saat
mengabaikan orang yang hampir mati tersebut, yakni:
1. Siapakah
orang yang sedang “setengah mati” akibat dianiaya oleh para penyamun tersebut?
Sepertinya, Yesus tidak fokus pada tokoh yang terkena musibah tersebut. Hal ini
terlihat dari tidak diuraikannya oleh Yesus latar belakang korban (status
sosial, kebangsaan dll). Alkitab menyebut hanya 1 kepastian yakni ia telah
dianiaya dan saat itu sedang sekarat atau hampir mati. Istilah “setengah mati”
bisa berarti hampir mati, yakni kondisi yang terlihat seakan ia sudah mati (tak
bergerak, penuh luka dan darah). Di mata imam dan orang Lewi orang setengah
mati ini seperti sudah mati dan menjadi mayat. Walau ternyata kenyataannya, ia
belum mati. Tetapi apakah mereka berdua tahu bahwa sang korban belum mati? Atau
mereka hanya tahu bahwa dijalan itu jenasah orangg mati?
2. Merujuk
pada Imamat 21:1 yang menyebutkan: “TUHAN
berfirman kepada Musa: "Berbicaralah kepada para imam, anak-anak Harun,
dan katakan kepada mereka: Seorang imam janganlah menajiskan diri dengan orang
mati di antara orang-orang sebangsanya,” menunjukkan bahwa tindakan seorang Imam pada
perumpamaan tersebut, didasarkan atas ketaatannya pada perintah TUHAN sendiri. Demi
menjaga kekudusan dirinya sebagai pelayan di Rumah TUHAN, maka ia memilih
menghindari “sesuatu” yang terlihat seperti jenasah tersebut. Dengan kata lain,
bahwa ia sendiri terikat pada ketentuan agamanya sendiri, yang melarang dirinya
sebagai imam untuk menyetuh orang mati. Menyentuh orang mati membuatnya menjadi
najis. Dan dampak dari kenajisan tersebut adalah tertutupnya kesempatan bagi
mereka sebagai pekerja Bait Allah untuk melayani Allah.
3. Selanjutnya,
apabila memperhatikan Taurat dalam kitab bilangan 19:11, kita mendapat
penjelasan bahwa lamanya seseorang menjadi najis karena menyentuh mayat adalah
7 (tujuh) hari, maka cukup beralasan bahwa sangat beresiko bagi kedua pelayan
Bait Allah itu apabila menolong orang yang “setengah mati” tersebut yang
terlihat menurut mereka adalah jenasah orang mati. Adalah sangat mungkin dengan
kurun waktu yang lama itu (satu minggu) mereka tidak dapat menjalankan tugas
sebagai imam dan sebagai orang lewi dalam penugasan khusus tersebut.
Dari
3 (tiga) poin penting ini, maka kita menemukan dalam persepktif kewajiban dan
ketentuan agama dan secara khusus sebagai pelaksana kegiatan keagamaan, imam
dan orang lewi justru tidak gagal, melainkan karena ketaatan pada kaidah
agamanya-lah hal itu mereka lakukan. Pengabaian terhadap orang yang dirampok
tersebut tidak dapat disalahkan kepada mereka apabila berada dalam usaha
menjalankan kewajiban agama.
ADAKAH
YANG TERLEWATKAN (refleksi penutup)
Uraian
di atas tidak bermaksud membenarkan imam dan orang lewi atas tindakan mereka.
Tetapi mencoba berada diposisi mereka dan menemukan perspektif yang benar dari
sudut pandang kedua orang tersebut. Tetapi, apakah tindakan mereka benar secara
kemanusiaan? Perumpamaan Yesus tidak berkonteks pada kewajiban melaksanakan
panggilan keagamaan Yahudi. Perumpamaan Yesus justru berada pada latar
pertanyaan: “siapakah sesamaku manusia?” Hal ini berarti, Yesus sedang
menjawab bagaimana seharusnya BERSIKAP SEBAGAI SESAMA MANUSIA.
Inilah
kegagalan orang lewi dan imam tersebut dalam perumpamaan Yesus. Benar
bahwa mereka menjalankan kewajiban agama dengan baik, tetapi mereka gagal berprilaku
sebagai sesama manusia bagi orang yang hampir mati itu. Yesus tidak bicara soal
kewajiban aturan keagamaan, tapi Yesus mengoreksi kegagalan prilaku kemanusiaan
seorang yang beragama dan pengajar keagamaan yakni si penanya yang adalah ahli
Taurat. Mengasih Allah dengan menjalankan kewajiban agama secara liturgis
adalah baik. Tetapi lebih mulia dan lebih berkualitas hidup keagamaannya
apabila ia mengasihi Allah dengan cara mengasihi sesamanya manusia sebagai
ciptaan Allah.
DAFTAR PUSTAKA
Alkitab, Jakarta: Lembaga Alkitab Indonesia (LAI), 2006
Barclay, W., Pemahaman Alkitab Setiap Hari Injil Lukas, Jakarta:BPK Gunung Mulia, 2011
Ensiklopedi Alkitab Masa Kini Jilid II, Jakarta: Yayaysan Komunikasi Bina Kasih, 2007
e-Sword, Albert
Barnes' Notes on the Bible, Lukas 10:30
Tafsiran Alkitab Masa Kini 3 Matius – Wahyu, Jakarta: Yayasan Komunikasi Bina Kasih, 2003
Wahono, S. W. , Di
Sini Kutemukan : Petunjuk Mempelajari dan Mengajarkan Alkitab, Jakarta:
Gunung Mulia, 2011
ONLINE SOURCE
http://www.sarapanpagi.org/25-orang-samaria-yang-murah-hati-vt1699.html
https://id.wikipedia.org/wiki/Bait_Allah_(Yerusalem)
[1] Tafsiran Alkitab Masa Kini 3 Matius – Wahyu, (Jakarta:
Yayasan Komunikasi Bina Kasih, 2003), hlm. 219.
[2] Cerita-cerita
mengenai perampok-perampok di jalan raya sepanjang jalan ke Yerikho telah
dicatat sejak dahulu sampai sekarang. Misalnya, lihat komentar Jerome tentang
Yeremia 3:2. Lihat: http://www.sarapanpagi.org/25-orang-samaria-yang-murah-hati-vt1699.html
(diakses pada tanggal 19 Desember 2015.
[3] Ensiklopedi Alkitab Masa Kini Jilid II, (Jakarta:
Yayaysan Komunikasi Bina Kasih, 2007), hlm. 571
[4] Menurut
sejarahnya, Ada dua Bait Suci
yang berdiri berturut-turut di Bukit Bait Suci di
Yerusalem:
·
Bait Suci Salomo yang
dibangun sekitar abad ke-10 SM untuk menggantikan Kemah Suci.
Bangunan ini dihancurkan oleh bangsa Babel di bawah Nebukadnezar pada
tahun 586 SM.
·
Bait Suci Kedua dibangun
setelah bangsa Yehuda kembali dari pembuangan di Babel, sekitar tahun 536 SM (selesai pada 12 Maret 515 SM[1]).
- Bait Suci Herodes adalah
perluasan dari Bait Suci Kedua termasuk renovasi
atas seluruh Bukit Bait Suci. (Bangunan ini tidak
disebut "Bait Suci Ketiga".) Herodes Agung memulai
proyek perluasannya sekitar tahun 19 SM.
Bangunan ini dihancurkan oleh pasukan-pasukan Romawi di
bawah Kaisar Titus pada tahun 70 M. Namun
sebagian sejarahwan menduga bahwa orang-orang Yahudi sendiri telah
membakar Bait Suci Kedua agar tidak dicemari.
Lihat: https://id.wikipedia.org/wiki/Bait_Allah_(Yerusalem)
diakses pada tanggal 19 Desember 2015
[5] I b i d, hlm. 567
[6] E. Ferguson, Backgrounds of Early
Christianity, (Michigan : Eerdmans Publishing Co., 2003), hlm. 565
[7] e-Sword, Albert Barnes' Notes on
the Bible, Lukas 10:30
[8] S. W. Wahono, Di Sini
Kutemukan : Petunjuk Mempelajari dan Mengajarkan Alkitab, (Jakarta:
Gunung Mulia, 2011), hlm. 324
[9] E. Ferguson, ibid.,
h.565
[10] S. W. Wahono,, ibid., h.324
[11] Barclay, W., Pemahaman Alkitab Setiap Hari Injil Lukas, (Jakarta:BPK Gunung Mulia, 2011), hlm. 199-201
[12] Ibid., h. 199-201
AKU SUNGGUH SANGAT MENDERITA
AKU SUNGGUH SANGAT MENDERITA
Upaya Memahami Derita Orang Sakit Selama
38 Tahun
Yang Disembuhkan Yesus Pada Hari Sabat di
Kolam Bethesda
Menurut Injil Yohanes 5:1-18
Pdt. I Nyoman
Djepun
P E N D A H U L U A N
Sebagian
besar orang ketika membaca kisah Yohanes 5:1-18 ini hanya terfokus pada suatu
perbuatan supranatural, mujizat ajaib yang diperbuat Yesus yakni menyembuhkan
seorang yang sakit selama 38 tahun (hampir 40 tahun) tersebut. Beberapa orang
bahkan hanya terfokus pada pertentangan menyembuhkan pada hari Sabat.
Makalah
ini mencoba untuk melihat kisah ini dari sudut pandang penderitaan orang sakit
itu selama hampir 40 tahun tersebut dan menemukan alasan mengapa Yesus lebih
memilih pribadinya dibanding begitu banyaknya orang sakit di kolam Bethesda
tersebut.
KOLAM
BETHESDA
Tidak banyak penjelasan mengenai tempat ini. Beberapa ahli menyebutnya dengan kolam Siloam, namun ada juga yang menyebutkan dengan nama lain, yakni “Mata Air Gadis”, ada pula yang menyebut dengan istilah kolam Domba[1]. Kolam Betesda (bahasa Inggris: Pool of Bethesda) adalah sebuah kolam air yang sekarang berada di "Muslim Quarter" di Yerusalem, di jalanan yang menuju Beth Zeta Valley. Pasal kelima Injil Yohanes menggambarkan kolam ini, dekat Pintu Gerbang Domba (Sheep Gate), dan dikelilingi oleh lima serambi (covered colonnade). Nama "Betesda" dikatakan berasal dari bahasa Ibrani dan/atau bahasa Aram: "Bet hesda" (בית חסד/חסדא), yang artinya "rumah kemurahan" atau "rumah anugerah" ("bet" artinya "rumah"). Dalam bahasa Ibrani maupun Aram kata ini dapat juga berarti "malu, dipermalukan". Makna ganda ini dianggap cocok karena lokasi ini dipandang sebagai "tempat dipermalukan", karena kehadiran orang-orang sakit dan cacat, dan "tempat kemurahan" karena terjadi mujizat kesembuhan.[2] Dengan demikian, menyebut Bethesda sebagai rumah belaskasihan identik dengan kondisi saat itu yakni tempat para orang-orang sakit berharap memperoleh pertolongan dan kemurahan dari Tuhan.
Kolam ini sangat luas dan dalam, berbentuk persegi dengan
panjang 350 kaki (lebih dari 100m), lebar 200 kaki (lebih dari 60m), dan dalam
25 kaki (lebih dari 7 m).[3] Hal menarik yang tidak bisa
dijelaskan adalah “bergoncangnya” air kolam yang dengan sengaja dilakukan oleh
malaikat Tuhan (ay.4). Namun beberapa penafsir menyebutkan bahwa goncangan air
tersebut sifatnya “sejenak” yang kemungkinan disebabkan karena ada air yang
memancar dari dasarnya.[4] Tetapi lebih banyak orang
percaya bahwa hal itu disebabkan goncangan dari Malaikat Tuhan yang segaja
turun untuk melakukannya. Apapun alasannya, orang banyak percaya bahwa ada
kesembuhan di dalam air kolam Bethesda tersebut.
Kendatipun peluang
kesembuhan ada pada air kolam itu, namun untuk memperoleh dan merasakan khasiat
goncangan air tersebut tidaklah mudah. Pada ayat 4 dijelaskan bahwa hanya
mereka yang pertama kali masuklah yang akan beroleh kesembuhan. Dengan
demikian, dapat dibayangkan kondisi kacau balau, ramai hiruk pikuk, saling
dorong dan berlomba saat berebutan masuk dalam kolam bilamana air itu
tergoncang.
SIAPAKAH SI SAKIT
ITU?
Alkitab tidak
menyebutkan siapakan orang yang sakit itu. Jenis penyakitnya-pun tidak dijelaskan
dengan detail. Banyak orang menduga bahwa ia menderita lumpuh. Kesimpulan ini
didasarkan runjukan pada Yesus padanya: “Bangunlah, angkatlah tilammu dan
berjalanlah” (bd. ay.8), yang seakan memberi indikasi bahwa ia
menderita lumpuh. Sekali lagi hal inipun tidak dapat dipastikan.
Hal yang mengejutkan
adalah lamanya waktu ia menderita di tempat itu. Pada ayat 5 disebutkan bahwa
ia berada dalam kondisi sakit selama 38 tahun. Alasan Yesus menyembuhkannya
disebutkan pada ayat 6 “bahwa ia telah lama dalam keadaan itu
dan menurut pengakuannya sendiri bahwa, selama 38 tahun tersebut, “tidak
ada orang yang menurunkan aku ke dalam kolam itu...”. Dua alasan ini
dapat menjadi gambaran tentang seberapa menderitanya orang tersebut karena
sakitnya itu. Beberapa kemungkinan dapat terjadi selama 38 tahun menderita
sakit itu dan berada serta hidup disekitar kolam Bethesda tersebut, yakni:
1.
38 Tahun Adalah Waktu
Yang Lama
Silakan bayangkan menderita sakit
dan tak kunjung sembuh selama 38 tahun! Ia bisa saja mengalami kekecewaan yang
amat dalam.[5] Lamanya berada pada titi
terpuruk akan membuat tiap orang kehilangan kesabaran dan juga harapan.
2.
Tilam Tidak Bisa
Hanya Diartikan Sebagai Tikar Untuk Ukuran 38 Tahun
Selama 38 tahun ia berada di
tilam itu. Tilam tersebut kini bukan hanya menjadi alas untuk berbaring. Di
tilam itu ia mengalami penderita dan melanjutkan kehidupan. Di tilam itu juga
ia beraktifitas: tidur, duduk, makan, minum dsb. Ini memberi arti bahwa tilam
itu bukan sekedar selembar tikar, tapi tilam bagi si sakit ini bagaikan “rumah”
tempat ia hidup dan menjalani derita sakitnya. Selama 38 tahun ia hidup “di
rumah” itu. Tilam adalah tempat ia tinggal.
Dengan kata lain, orang ini bukan
hanya sakit menahun yang cukup lama menderita kelumpuhan fiskinya. Namun lebih
dari itu ia mengalami kondisi homeless dimana tak ada tempat layak untuk
bernaung dalam derita yang dialami.
3.
Ia Sangat Mungkin
Menderita Secara Psikis (bukan hanya fisik)
Si lumpuh (orang yang sakit ini)
bukan tidak berusaha memperoleh kesembuhan. Ia telah sekuat tenaga untuk
menjadi yang pertama berada di dalam kolam. Namun selalu gagal karena ada saja
orang yang mendahuluinya. Kegagalan demi kegagalan membuat seseorang mengalami
trauma dan tekanan batin hingga siksaan psikis yang tidak mudah untuk ditanggung.
Dalam kondisi seperti ini, seseorang akan mengalami 3 sisksaan psikis, yakni kebimbangan,
ketakutan, dan kesepian[6]. Tetapi kemampuan menghadapi tekanan hidup
sangat berbeda pada setiap orang. Mungkin saja ia juga menderita psikis, tapi
mungkin juga tidak, tergantung daya tahan psikologinya menghadapi kenyataan
hidup.
4.
Ia Terasing Secara
Spiritual Keagamaan
Selama menderita 38 tahun, tidak
dapat disangsikan bahwa ia tidak pernah melaksanakan kewajiban keagamaannya,
ataupun berada dalam komunitas kerohanian yang menopang bertumbuhnya kualitas
spiritual agar mampu menghadapi penderitaan dengan kekuatan rohani. Ia tidak
terlayani di tempat beribadatan, karena kondisi khususnya. Ia tidak mendapat
pengajaran sesuai kitab suci demi pengutaan keimanannya. Ia sangat terasing
secara spiritual.
Dalam agama Yahudi, terdapat
begitu banyak kewajiban keagamaan yang harus dipenuhi. Baik berupa ibadah
rutin, penyelenggaraan hari-hari raya, maupun upacara-upacara secara individual
ataupun kelompok, serta kewajiban membayar korban bakaran[7] dan jenis persembahan lainnya.
Hal utama dari ajaran Taurat adalah bahwa manusia dapat mendekati Allah melalui
pemberian persembahan korban. Bagaimana mungkin ia melakukannya? Ia terasing
secara spiritual keagamaan. Ia bukan hanya sakit secara psikis, ia juga butuh
kesembuhan rohaniah.
5.
Ia Terabaikan Secara
Sosial Kemasyarakatan
Ini terlihat pada kalimat yang
diucapkannya: “Tuhan, tidak ada orang yang menurunkan aku ke dalam kolam
itu...” Jika hal ini dialaminya, maka dapat dipastikan bahwa orang ini
hidup sendiri. Ia tidak memiliki kerabat, teman atau saudara yang menolong.
Kalaupun memiliki keluarga, ia telah dilupakan! 38 tahun mungkin menjadi sebab
mengapa ia tidak lagi dipedulikan oleh sanak saudaranya.
Mari membayangkan
hidup sendiri selama 38 tahun. Orang ini bukan hanya mengalami derita fisik,
homeless, tetapi juga loneliness atau kesepian[8]. Ia terasing sebagai mahkluk
sosial. Tidak ada yang peduli, itulah yang ingin ia katakan kepada Yesus.
Masing-masing orang sibuk dengan sakitnya, membuat 38 tahun ia hanya melihat
sikap hidup egosentris dalam lingkungan ini. Si sakit ini terperangkap pada
isolasi yang menghalanginya menjalani kehiduoan sosial akibat sakit menahun
yang ia alami.
DERITA TOTAL VS KEPRIHATINAN
TOTAL (sebuah refleksi penutup)
Apapun pemikiran kita
tentang kisah di atas, satu hal yang tidak dapat dilewatkan dalam pikiran saat
membaca cerita ini adalah penderitaan amat sangat dan cukup lama telah dialami
oleh orang sakit tersebut. Itu kiranya yang menjadi alasan kuat, mengapa Yesus
memilih mendekati orang itu di antara begitu banyaknya manusia yang sakit
disekitar kolam Bethesda tersebut. Keprihatinan Yesus terhadap deritanya, telah
menghadirkan kesembuhan total. Ia sakit secara fisik, ia juga sakit secara
psikis. Bukan itu saja, ia menderita sebagai mahkluk spiritual dan mahkluk
sosial. Kehadiran Yesus dengan cara mendekatinya secara pribadi memberikan
harapan baru. Yesus mendekati pribadi yang tak pernah didekati siapapun selama
38 tahun itu.
Ketika penderita
total berjumpa dengan keprihatinan total milik Hati Yesus yang penuh cinta
kasih, terjadilah kesembuhan total. Ia bukan hanya dipulihkan secara fisik dan
psikis. Pada ayat 9 dst, orang ini mulai menjalani kehidupan sosial dan
berkomunikasi dengan masyarakat sekitar. Bukan itu saja, pemulihan spiritual ia
alami, ketika ia disembuhkan langsung menuju ke Bait Allah (ay.14) dan bercakap
dengan Yesus sambil menerima wejangan rohani tentang hidup dalam pertobatan
total kepada Allah (ay.14). Orang yang sakit itu adalah pribadi yang amat
menderita tetapi sekarang ia adalah pribadi yang sangat bersukacita.
Derita total telah pulih karena keprihatian total dari Sang Maha Peduli.
DAFTAR PUSTAKA
Alkitab, Jakarta: Lembaga Alkitab Indonesia (LAI), 2006
Alkitab Edisi Studi, (Jakarta: Lembaga Alkitab Indonesia, 2011
Alkitab Penuntun Hidup Berkelimpahan, (Malang: Penerbit Gandum Mas, 1994), hlm.
1709
Ensiklopedi Alkitab Masa Kini Jilid II, Jakarta: Yayaysan Komunikasi Bina Kasih, 2007
Tafsiran Alkitab Masa Kini 3 Matius – Wahyu, Jakarta: Yayasan Komunikasi Bina Kasih, 2003
Denis Green, Pembimbing Pada Pengenalan
Perjanjian Lama, (Malang, Penerbit Gandum Mas, 2012
ONLINE SOURCE
https://id.wikipedia.org/wiki/Betesda
http://laisanurin.blogspot.co.id/2011/05/manusia-dan-penderitaan.html
http://www.scholidays.com/berita-167-kolam-bethesda.html
[1] Tafsiran Alkitab Masa Kini 3 Matius – Wahyu, (Jakarta:
Yayasan Komunikasi Bina Kasih, 2003), hlm. 282. Tetapi yang pasti kolam ini
berada di Yerusalem.
[2] Sampai abad ke-19 tidak ada bukti di
luar Injil Yohanes bahwa kolam ini ada; karenanya sejumlah pakar berpendapat
bahwa Injil ini ditulis jauh kemudian, oleh orang yang tidak mengetahui jelas
tentang kota Yerusalem, dan "kolam" itu harus ditafsirkan sebagai
"metafora" bukannya fakta sejarah. Dalam abad ke-19, arkeolog menemukan bekas-bekas kolam
yang cocok dengan penggambaran Injil Yohanes. Lihat: https://id.wikipedia.org/wiki/Betesda
di akses pada tanggal 20 Desember 2015.
[3] http://www.scholidays.com/berita-167-kolam-bethesda.html di akses pada tanggal 20 Desember 2015.
[4] Lihat cacatatan “pinggir” perikop ini pada Alkitab Edisi Studi,
(Jakarta: Lembaga Alkitab Indonesia, 2011), hlm. 1734
[5] Lihat penjelasan perikop ini pada: Alkitab Penuntun Hidup
Berkelimpahan, (Malang: Penerbit Gandum Mas, 1994), hlm. 1709
[6] http://laisanurin.blogspot.co.id/2011/05/manusia-dan-penderitaan.html di akses pada tanggal 20 Desember 2015.
[7] Paling tidak ada 4 jenis korban yang wajib untuk dipersembahkan kepada
Allah, yakni: Korban Bakaran, Korban Sajian, Korban Keselamatan/pendamaian, dan
Korban Penghapus Dosa dan Penebus Salah. Lihat lebih jelas jenis-jenis korban
ini pada: Denis Green, Pembimbing Pada Pengenalan Perjanjian Lama, (Malang,
Penerbit Gandum Mas, 2012), hlm. 58-59.
[8] Kesepian, merupakan perasaan sepi yang amat sangat
tidak diinginkan oleh setiap manusia. Pada hakikatnya manusia itu adalah
makhluk yang bersosial ,hidup bersama dan tidak hidup seorang diri.Faktor ini
dapat mengakibatkan depresi kejiwaan yang berat dan merupakan siksaan paling
mendalam yang menimpa rohani manusia.
KEPEMIMPINAN RASUL SIMON PETRUS
KEPEMIMPINAN
RASUL SIMON PETRUS
“Upaya Mengenal Petrus dan
Kepemimpinannya berdasarkan
Kisah Tentangnya dalam
Alkitab”
Pdt. I Nyoman Djepun
MENGENAL
SIMON PETRUS
Rasul
Petrus[1]
adalah seorang nelayan yang lahir di Betsaida (Yoh.1:44) dan juga memiliki
rumah di Kapernaum di daerah Galilea (Mrk 1:21). Ayahnya bernama Yunus yang
biasa disebut Yohanes (Mat.16:17; Yoh.1:42). Menurut catatan Alkitab, Petrus
adalah pria berkeluarga (Mrk.1:30). Dan menariknya, bahwa dalam kegiatan
penginjilan yang dilakukan oleh Petrus, ia selalu membawa istrinya. Hal ini
terungkap dari pernyataan Paulus yang menyebut bahwa Kefas[2]
dalam perjalanannya membawa seorang istri Kristen (1Kor.9:5).
Para penulis Perjanjian Baru menggunakan empat nama yang
berbeda ketika mengacu kepada Petrus. Pertama adalah nama Ibrani “Simeon” (Kis.
15:14), yang kira-kira berarti “mendengar”. Yang kedua adalah “Simon”, bentuk
Yunani untuk “Simeon”. Yang ketiga adalah “Kefas”, bahasa Aram untuk “batu
karang”; para penulis Perjanjian Baru lebih sering menggunakan nama ini
dibandingkan ketiga nama yang lain.[3]
Injil Yohanes memberitakan kegiatan Kristus pada
prapelayanan-Nya di Galilea, termasuk pertama kalinya Petrus diperkenalkan oleh
Andreas kepada Yesus (Yohanes 1:41). Perkenalan ini membuat lebih dimengerti
tanggapan Petrus atas panggilan berikutnya di pantai Galilea (Markus 1:16 dab).
Lalu menyusul penetapan 12 murid (Markus 3:16 dab). Petrus adalah murid Yesus
yg pertama dipanggil; ia selalu disebut yg pertama dalam urutan murid-murid; ia
juga seorang dari ketiga murid yg merupakan kelompok akrabdengan Guru mereka
(Markus 5:37; 9:2; 14:33; bnd 13:3). Tindak pelayanannya yg didorong gelora
hatinya, sering dilukiskan dalam Alkitab (bnd Matius 14:28; Markus 14:29; Lukas
5:8; Yohanes 21:7), dan dia bertindak sebagai jurubicara dari ke-12 murid itu
(Matius 15:15; 18:21; Markus 1:36 dab; 8:29; 9: 5; 10:28; 11:21; 14:29 dab; Lukas
5:5; 12:41).[4]
Akhir
hidup Petrus menurut catatan St. Jerome, ia dihukum mati di Roma dengan cara
disalib, namun Petrus meminta agar ia disalibkan dengan posisi terbalik karena
ia memandang dirinya tidak layak untuk disalibkan dalam posisi yang sama dengan
Tuhannya.[5]
MODAL
AWAL PETRUS SEBAGAI PEMIMPIN
Bagaimanakah
awal Petrus menjadi seorang pemimpin? Paling tidak kita menemukan dalam kisah
Alkitab, 3 hal pokok yang menjadi yang menjadi kunci utama[6]
pembentukan Petrus sebagai seorang Pemimpin, yakni:
1. Petrus Belajar Melayani
Pada suatu ketika, Yesus berkata kepada
mereka: "Mari, ikutlah Aku, dan kamu akan Kujadikan penjala manusia."
Lalu [Petrus dan Andreas] segera meninggalkan jalanya dan mengikuti Dia."
(Matius 4:19-20). Tanpa pikir panjang Petrus bersedia meninggalkan pekerjaannya
dan mengikuti Yesus untuk melayani-Nya. Bersama Yesus, Petrus menyaksikan
banyak mukjizat yang luar biasa. Petrus tidak hanya berkesempatan menyaksikan
pelayanan Yesus, dia bersama murid-muridnya yang lain juga ditunjuk Yesus untuk
melayani setiap kota dan tempat yang hendak Yesus kunjungi (Lukas 10:1).
Perjalanan bersama Yesus mengubah
kepribadian Petrus secara total. Dia beserta murid-murid Yesus yang lainnya
belajar melayani saat diberi kuasa untuk menyembuhkan banyak orang sakit dan
menaklukan setan-setan (Lukas 10). Kisah Para Rasul 1-2 menonjolkan kualitas
Petrus sebagai pemimpin yang melayani. Petrus dipakai Allah secara luar biasa
sehingga dia berani melayani di depan banyak orang. Menariknya lagi, saat
menjadi seorang pemimpin, Petrus tidak hanya melayani kaumnya sendiri, dia juga
merasa bebas untuk melayani orang-orang bukan Yahudi sesuai dengan visi Allah
(Kisah 10).
Petrus mempunyai konsep "kepemimpinan
yang melayani". Menurut Eka Damaputra dalam bukunya "Kepemimpinan
dalam Perspektif Alkitab", seseorang yang telah teruji sebagai pelayan
yang baik adalah orang yang telah terbukti mampu menguasai dan mengendalikan
diri sendiri. Hanya orang yang mampu mengendalikan dirinya sendiri yang layak
diberikan kepercayaan untuk mengendalikan, memimpin, dan menguasai orang lain.
2. Petrus Belajar Taat
Alkitab mengatakan bahwa murid-murid
Yesus, khususnya Petrus, adalah orang-orang yang bersedia untuk belajar (Matius
5:1-2). Petrus, yang dulunya tidak sabaran dan sesumbar, belajar mendengarkan
serta menaati Yesus. Eka Damaputra menyebutkan bahwa kepemimpinan diinspirasi
oleh rasa takut dan taat akan Tuhan. Inspirasi ini dimiliki Petrus. Petrus
adalah orang yang berorientasi kepada Allah dan sungguh-sungguh menaati-Nya.
Ketaatannya tampak jelas dalam Lukas 5:5-7.
Simon menjawab: "Guru, telah
sepanjang malam kami bekerja keras dan kami tidak menangkap apa-apa, tetapi
karena Engkau menyuruhnya, aku akan menebarkan jala juga." Dan setelah
mereka melakukannya, mereka menangkap sejumlah besar ikan, sehingga jala mereka
mulai koyak. Lalu mereka memberi isyarat kepada teman-temannya di perahu yang
lain supaya mereka datang membantunya. Dan mereka itu datang, lalu mereka
bersama-sama mengisi kedua perahu itu dengan ikan hingga hampir tenggelam.
Tanggapan Petrus terhadap perintah Allah
sungguh mengagumkan. Dia tidak membantah arahan Yesus. Dia tidak mengatakan,
"Yesus, ini akan sia-sia saja." Walaupun Petrus tidak mengerti apa
maksud dari perintah Yesus, dia tidak mempertanyakan atau meragukan perintah
itu, dia hanya menaati-Nya karena dia percaya kepadanya.
Petrus bertindak dengan tepat. Dia
membuktikan diri sebagai pengikut Yesus yang baik. Menurut Eka Damaputra, sifat
ketaatan seperti ini dibutuhkan oleh setiap pemimpin. "Barangsiapa setia
dalam perkara-perkara kecil," kata Yesus, "ia setia juga dalam
perkara-perkara besar." (Lukas 16:10)
3. Petrus Berserah kepada Allah
Russel Betz mengatakan bahwa Petrus adalah
orang yang mengerti arti "berserah kepada Allah". Pertama-tama,
dia siap menyerahkan segalanya untuk mengikuti Yesus. Dalam Matius 19:27,
Petrus mengatakan kepada Yesus bahwa dia telah meninggalkan segala sesuatu dan
mengikut Yesus. Kedua, Petrus menyerahkan kegagalan masa lalunya kepada
Allah. Salah satu senjata setan untuk menjatuhkan manusia adalah menyalahkan
manusia atas kesalahan-kesalahannya di masa lalu. Tidak sedikit korban yang
menjadi budak masa lalu, lalu putus asa. Petrus sendiri menorehkan noda hitam
ketika menyangkal Yesus sebanyak tiga kali karena ketakutannya. Akan tetapi,
alih-alih tenggelam dalam penyesalan seperti Saul dan Yudas, Petrus menyesal,
menyerahkan masa lalunya, dan bangkit untuk menjalin hubungan yang lebih baik
dengan Allah.
Dia juga berserah kepada panggilan Yesus untuk menggembalakan
domba-domba-Nya. Dia membiarkan Allah memproses segala kekurangan dan
kelebihannya untuk kemuliaan-Nya. Dia mengikuti mandat Allah untuk melayani
orang banyak (1 Petrus 5:2) serta mengajar mereka untuk menjadi teladan bagi
banyak orang (5:2-3).
KEPEMIMPINAN PETRUS SEBAGAI PEMIMPIN
Terdapat
kesan yang cukup kuat bahwa sepeninggalan Tuhan Yesus, maka Petrus menjadi
pemimpin dari kelompok murid Yesus ini. Hal ini paling tidak terlihat pada
Yohanes 21:3, ketika Petrus memutuskan untuk kembali menjadi nelayan, dan
merekapun ikut bersamanya sambil berkata: “Kami pergi juga dengan engkau”.
Petrus merupakan pemimpin tidak resmi dari para rasul. Sebab seringkali ia
menjadi juru bicara. Setelah berpisah dengan Yesus, para murid, terkesan,
berharap bahwa Petruslah yang akan mengarahkan mereka. Catatan Lukas mengenai
gereja mula-mula, sangat jelas mengesankan tentang kepemimpinan Rasul Petrus.[7]
Sebagai pemimpin, terdapat beberapa hal
yang dilakukan Petrus dalam melaksanakan kepemimpinannya, yakni:
1.
Memperlihatkan
Masalah Untuk Menemukan Solusinya (Kisah Rasul 1:15-26)
Saat
para rasul sedang menantikan Roh Kudus yang dijanjikan Yesus, mereka tiba di
kota dan menumpang di sebuah rumah serta berkumpul di ruang atas. Beberapa hari
kemudian Petrus melihat bahwa kematian Yudas memberi dampak pada jumlah mereka
sebagai saksi tentang siapa Yesus. Yudas dianggap sebagai salah satu anggota
dari tim pelayanan tersebut. Bagi Petrus, kematian Yudas akan mempengaruhi
kegiatan pelayanan (bd. ay.17). Petrus bukan saja memperlihatkan kepada
kelompok itu tentang masalah yang tidak mereka sadari, namun juga mengutarakan
bagaimana memecahkan masalah tersebut. Ia meberikan solusi kongkrit pada 120
orang yang mendengarkan informasi itu (ay.15).
Solusi
yang ditawarkan Petrus adalah harus ada yang menggantikan Yudas. Tetapi solusi
ini belum cukup jika tidak melalui tata cara yang tepat melakukannya. Itulah
sebabnya pada ayat 21-22, Petrus menyebut syarat pengganti Yudas, yakni orang
itu harus selalu bersama-sama dengan mereka dan melihat serta menyaksikan
dengan secara langsung tentang Yesus yang dimulai dari pembaptisan Yohanes
sampai kebangkitanNya. Usulan Petrus ini disambut baik oleh mereka dan kemudian
melaksanakannya (ay.23-26).
Salah
satu fungsi pemimpin adalah menyusun cara dan memberikan arahan tindakan untuk
masa depan.[8] Petrus dengan penuh
keyakinan memaparkan masalah yang dihadapi sekaligus memberikan arahan tegas
dan tepat sasaran tentang bagaimana menyelesaikan permasalahan mereka
sepeninggalan Yudas sebagai bagian dari Tim Pelayanan itu.
2.
Menjadi
Inisiator dan Inspirator (Kisah Rasul 2:14-40)
Apa
yang diperbuat oleh para murid sebelum Roh Kudus dicurahkan? Mereka berkumpul
di sebuah ruang atas dan tidak keluar menunjukkan diri di tengah masyarakat.
Kemungkinan besar hal ini disebabkan karena mereka mengalami ketakutan jika
dikenali sebagai murid Yesus. Kekuatan dinamis dari karya Roh Kudus kemudian
menggerakkan mereka untuk berani tampil di depan banyak orang pada saat hari
raya Pentakosta.
Saat
banyak orang itu sedang terheran-heran dengan berbagai bahasa yang mereka
dengar keluar dari mulut para Rasul, maka Petrus berinisiatif mewakili kelompok
duabelas itu dan mulai berbicara, bersaksi dan mengajar tentang Yesus (ay.14).
Ia dengan sengaja berdiri untuk menjelaskan olok-olokan orang banyak bahwa mereka
sedang mabuk, dengan menimpali bahwa tidak benar kami sedang mabuk (bd. ay.15).
Tindakan merupakan inisiatif yang berani Rasul Petrus mengingat kondisi mereka
sedang “dicari” sebagai murid Yesus.
Setelah
menjawab tudingan itu, Petrus kemudian dengan lugas berkhotbah dan bercerita
tentang Yesus yang mereka salibkan itu. Kisah yang dituturkan Petrus mendorong
banyak orang, menginspirasi mereka. Mengapa menginspirasi mereka? Hal ini
terlihat dari reaksi spontan orang banyak, yang terharu ini, melalui pertanyaan:
“apakah yang harus kami perbuat, saudara-saudara?” (ay.37). Petrus berinisiatif
untuk memberdayakan kuasa Roh Kudus lewat tampil kedepan untuk mengajar dan
dengan itu banyak orang terpukau sehingga menyerahkan diri untuk bertobat.
Jumlah mereka berubah drastis. Dari jumla 120org menjadi 3000org.
Orang
tidak akan mengikuti pemimpin yang tidak antusias. Orang hanya mengikuti
seseorang yang memiliki gairah akan visi yang dimiliki tersebut.[9]
Kendatipun dokter Lukas sebagai penulis kitab ini tidak menyebutkan dengan cara
apa Petrus berkhotbah, tetapi kita dapat dengan mudah membayangkan bagaimana
berapi-apinya isi pidato tersebut. Gairah yang penuh antusias itu memang benar
tidak dapat hanya dari Petrus sendiri melainkan melalui kuasa Roh Kudus. Tetapi
peran Petrus pun tidak dapat diabaikan. Ia berinisiatif untuk berbicara lebih
dulu dan menginspirasi banyak orang. Petrus adalah seorang inisiator dan
inspirator.
3.
Melihat
dan Menangkap Peluang di Tengah Resiko (Kisah Rasul 3:11-4:22)
Serambi
Salomo adalah tempat dimana Petrus mampu melihat peluang menjalankan misinya
bagi pemberitaan tentang Yesus. Saat orang banyak terheran-heran dengan mujizat
yang Petrus lakukan, yakni menyembuhkan orang lumpuh, ia melihatnya sebagai
peluang untuk memberitakan tentang Yesus (3:12 dyb). Kenyataan ini bukan tanpa
resiko. Petrus dan Yohanes pun ditangkap oleh pemuka Bait Allah (4:3). Usaha
yang beresiko itu menghasilkan sesuatu yang besar, yakni banyak dari mereka
yang percaya karena pemberitaan dan pengajaran tersebut (4:4).
Dalam
Sidang pun, Petrus dan Yohanes bersedia mengambil resiko dengan tidak berhenti
untuk bersaksi (Kisah.4:13).[10]
Pemimpin harus berani mengambil resiko di tengah tantangan untuk menyatakan
kebenaran. Petrus dan Yohanes mampu melakukannya. Dalam hal sebagai pemimpin,
Petrus dapat melihat dan menangkap peluang menjalankan misinya kendatipun
dengan resiko dipenjarakan.
KEPEMIMPINAN PETRUS MENGHADAPI KONFLIK (Menjadi Agen
Perubahan)
Organisasi
manapun yang melibatkan banyak orang, pasti akan mengalami berbagai perbedaan
pendapat, di saat menghadapi suatu masalah ketika mencari jalan keluarnya. Jika
salah mengambil keputusan, atau salah mengolah konflik itu, maka perpecahan
pastilah terjadi. Dalam situasi yang tidak kondusif dikarenakan berbagai
perbedaan yang mengarah pada perpecahan, dibutuhkan figur seorang pemimpin yang
tegas, dihormati dan mampu memberikan solusi yang tepat tetapi juga benar.
Salah
satu pemimpin yang mampu menyelesaikan berbagai perbedaan dan meredam
perpecahan adalah Rasul Petrus. Hal ini dengan sangat jelas diceritakan oleh
dokter Lukas dalam kitab Kisah Rasul 15:1-21 tentang Sidang di Yerusalem dalam
rangka menghadapi perbedaan pendapat di jemaat Antiokhia. Di jemaat ini terjadi
perbedaan pendapat di antara mereka ketika beberapa orang menyusup dan
mempengaruhi jemaat bahwa warga jemaat non-Yahudi harus disunat agar beroleh
keselamatan (ay.1). Diduga bahwa mereka inipun seperti yang disebutkan dalam
ayat 5, berasal dari golongan Farisi yang terkenal itu. Sengaja mereka datang
dari Yudea ke Antiokhia, untuk mengubah pikiran jemaat di tempat itu, mengenai
sesuatu pokok ajaran keselamatan. Pokok ini adalah tentang sunat.
Dari
ayat 15-24b, ternyatalah bahwa saudara-saudara ini tidak diberi pesan dan tidak
pula diutus dengan resmi oleh induk jemaat di Yerusalem. Mereka telah datang
atas inisiatif mereka sendiri, dan ajaran mereka sangat ekstrim. Hal ini
menimbulkan konflik dalam tubuh Kristus. Warga jemaat non-Yahudi mengalami
keresahan akibat pernyataan ajaran ini. Sudah pasti timbullah pertentangan dan
perselisihan. Sebagai pemimpin umat, Paulus dan Barnabas mempertahankan ajaran
yang benar dan membantah pendapat mereka. Akhirnya konflikpun terjadi.
Bagaimanakah kemudian Paulus dan Barnabas mengolah konflik itu?
Pertama, Walaupun Paulus menentang
dengan keras pandangan keliru ini, namun ia tidak memaksakan pendapatnya kepada
jemaat Antiokhia. Ia justru menyetujui usulan jemaat Antiokhia untuk
menyelesaikan masalah ini dengan melibatkan pimpinan gereja lainnya yakni para
rasul dan penatua jemaat di Yerusalem (ay.2); Kedua, Paulus tidak
membiarkan konflik dan ketidaknyamanan itu menguasainya dalam pelayanan. Justru
walau masalah belum selesai, ia tetap memberitakan Firman Tuhan kepada banyak
orang ketika perjalanan ke Yerusalem. (ay.3). Ketiga, Paulus tetap fokus
dalam pelayanan itu dan tidak berusaha mempengarui orang lain untuk mendapat
dukungan jemaat Fenisia dan Samaria ketika ia melayani (ay.3) dan Keempat, Hal
yang sama juga dilakukan Paulus ketika tiba di Yerusalem di depan para pemimpin
gereja waktu itu. Dia tidak mencari dukungan, namun justru lebih mengutamakan
kesaksian iman dalam pelayanannya (ay.4).
Akhirnya
dalam ayat 5 disebutkan bahwa Paulus dan Barnabas telah tiba di Yerusalem.
Selanjutnya digelarlah Sidang di Yerusalem untuk menyelesaikan konflik yang
terjadi mengenai perbedaan pendapat dalam hal ajaran keselamatan yang wajib
dipenuhi oleh jemaat non-Yahudi lewat sunat dan Taurat itu. Nampaknya topik ini
menjadi issue perdebatan yang semakin runcing. Hal ini terlihat dalam ayat 6,7
dan 12 dalam bacaan kita. Karena itu sebagai pemimpin para rasul, Petrus
mengambil alih pembicaraan dan menyatakan pendapatnya. Perhatikanlah bagaimana
cara Petrus menghadapi perbedaan pendapat tersebut dalam ayat 7-11 bacaan kita.
Pertama, Petrus tidak segera berbicara
untuk mengambil keputusan dan menyatakan pendapatnya Ia menghormati pendapat
dan hikmat yang ada pada masing2 pemimpin dan umat waktu itu. Itulah sebabnya
ay.7 disebutkan mereka mendapatkan kesempatan untuk berbicara.
Kedua, Petrus tidak berdiri sebagai
pribadi biasa waktu itu, namun di mengandalkan wibawa rasuli yang dianugerahkan
Allah baginya, dengan menyebut pemilihan dan penugasan yang Allah berikan
kepadanya (ay.7b). Artinya saat mengambil keputusan untuk menyatakan
pendapatnya, Petrus tidak sedang berbicara untuk dirinya sendiri dan kemenangan
egonya, melainkan untuk Tuhan dan kebenaran ajaran FirmanNya.
Petrus
tampil berdiri dengan penuh wibawa atas otoritas Allah yang diberikan kepadanya
(ay.7). Namun wibawa ini dengan sendirinya kehilangan pengaruh apabila Petrus
gagal menjadi pribadi yang berintegritas, yakni apa yang ia ucapkan selaras
dengan apa yang ia lakukan. Pemimpin yang berintegritas mampu
menunjukkan satunya kata dengan perbuatannya, sehingga ia menjadi teladan dan
sumber inspirasi organisasi.[11]
Pemimpin yang berintegritas mampu untuk menjabarkan tanpa kompromi nilai-nilai
dasar tertentu yang ia anut sehingga hasilnya dapat dilihat oleh mereka yang
dipimpinnya.[12] Inilah yang dilakukan
Petrus. Ditentukannya Ia oleh Tuhan sebagai pembawa berita bagi kaum tak
bersunat, diwujudkan dengan pola laku dan perbuatan yang nyata dan tak
terbantahkan (band. Ayat 7 dst). Sehingga, apa yang dikatakan dan diarahkan
oleh Petrus tidak pula dibantah oleh siapapun yang mendengar perkataan itu.
Ketiga, Pernyataan yang dibuat Petrus
tidak serta-merta tanpa pertimbangan. Namun semuanya tersusun rapi sesuai
pengalaman iman dan pelayanannya (ay.8-11). Bagi Petrus, ketika ia melayani
orang non-Yahudi, Roh Kudus diakruniakan juga bagi mereka yang menerima
Kristus. Hal ini adalah pengalaman pelayanan Petrus dalam Kisah Para Rasul 10:1
dst ketika ia diperintahkan TUHAN untuk melayani Kornelius dan seisi rumahnya.
Kornelius adalah orang non-Yahudi yakni
warga Romawi dan pemimpin pasuka Italia (10:1) Itu berarti menurutnya, Allah
menghendaki keselamatan untuk bangsa lain juga tanpa harus lewat sunat dan
taurat. Sehingga lahirlah ajaran bahwa keselamatan datang kepada semua bangsa
hanya melalui Yesus Kristus (ay.11) dan bukan oleh hal lain termasuk sunat dan
ketetapan Taurat.
Penyataan
Petrus ini kemudian menjadi keputusan bulat Sidang Yerusalem yang diterima oleh
seluruh peserta sidang dan bahkan didukung oleh Rasul Yakobus lewat legitimasi
Firman Tuhan yang merujuk Amos 9:11-12 sebagai landasan keselamatan hadir bagi
bangsa-bangsa lain non-Yahudi. Petrus menjadi Agen Perubahan dalam
kehidupan komunitas Kristen Yahudi. Bersama Yakobus, Paulus dan Barnabas,
mereka mengubah pola pikir Yudaisme kepada Kristosentris dalam hal memahami
keselamatan. Para Rasul yang dulunya hanya berpikir tentang Israel sebagai
satu-satunya bangsa yang dipilih untuk diselamatkan, kini memahami bahwa
keselamatan milik semua orang termasuk kaum tak bersunat.
Petrus
menjadi pemimpin yang mampu membawa perubahan. Ia adalah “change agent” bagi mereka yang dipimpinnya dan membawa
komunitasnya memiliki perspektif yang baru tentang konsep yang menjadi akar
konfik. Hasil akhir adalah, konflik berhasil diredam, perbedaan menemukan jalan
baru yakni menapaki bersama kepentingan komunitas itu bagi Tuhan dan sesama
manusia.
KEPEMIMPINAN YANG MENGHAMBA VERSI PETRUS (Servant Leadership)
Pelajaran
penting tentang menjadi Pemimpin adalah bersedia menjadi pelayan atau dengan
prinsip Pemimpin yang melayani. Kepemimpinan yang melayani (Servant Leadership) merupakan suatu tipe atau model
kepemimpinan yang dikembangkan untuk mengatasi krisis kepemimpinan yang dialami
oleh suatu masyarakat atau bangsa. Para pemimpin-pelayan (Servant Leader) mempunyai kecenderungan lebih
mengutamakan kebutuhan, kepentingan dan aspirasi orang-orang yang dipimpinnya
di atas dirinya. Orientasinya adalah untuk melayani, cara pandangnya holistik
dan beroperasi dengan standar moral spiritual.[13]
Petrus
adalah seorang pemimpin yang melayani. Hal ini terlihat dalam suratnya kepada
orang Kristen Pendatang yang terdapat dalam 1 Petrus 5:1-3. Uraian pada bagian
ini memberikan gambaran tentang siapakah Petrus dalam hal menjadi seorang
pemimpin. Ia adalah seorang pemimpin-pelayan yang mampu memberi teladan
dan mengajarkan orang lain untuk memimpin dengan cara melayani. Berikut ini
beberapa hal yang di ajarkan Petrus dalam bacaan tersebut:
1.
Pemimpin
Tidak Berada “di atas” (ay.1)
Hal
yang menarik adalah ketika para penatua di jemaat-jemaat itu disapa Paulus
sebagai “teman”. Paulus menempatkan dirinya sebagai teman penatua.
Ia berbicara kepada mereka bukan dari atas,
melainkan dari samping, yaitu suatu tempat yang baik untuk melaksanakan
kepemimpinan. Ia memperlakukan mereka sebagai orang-orang yang sederajat dengan
dirinya. Juga ia menulis sebagai saksi penderitaan Kristus, yaitu orang yang
hatinya telah dimurnikan oleh kegagalannya sendiri, dihancurkan dan ditaklukkan
oleh kasih Golgota. Pekerjaan seorang gembala tidak dapat dilakukan secara
efektif tanpa hati seorang gembala.
Dengan menggunakan sapaan seperti ini, Petrus menempatkan
diri “turun” dan bukan naik. Ia menjadi seorang yang berhati gembala yakni
merangkul dan mengayomi. Pemimpin yang melayani dalah pemimpin yang tidak
merasa diri sebagai atasan yang harus tinggi disanjung, melainkan turun
merangkul.
2.
Pemimpin
Itu Mengabdi (ay.2)
Pemimpin-pelayan
yakni mereka yang mengerkjakan kepemimpinan dengan orientasi kerja dalam matrik
melayani, akan melakukan segala hal dengan motivasi tulus tanpa berpikir
memperoleh keuntungan pribadi. Ini disebut Petrus dengan mengabdikan diri.
Petrus tidak melupakan kuasa keserakahan di
dalam diri rekannya, Yudas, dan ia ingin agar teman-teman penatua sama sekali
tidak tamak. Seorang pemimpin hendaknya tidak terpengaruh oleh pertimbangan
keuangan atau keuntungan yang lain di dalam pelayanan atau
keputusan-keputusannya. Jika orang mengetahui bahwa ia benar-benar tidak suka
mengejar keuntungan, maka, perkataannya akan lebih berwibawa.
3.
Bukan
Memberi Perintah tapi Teladan (ay.3)
Selanjutnya,
Petrus menyebut soal perlawanan antara menghamba dengan memerintah. Bagi Petrus
seorang pemimpin yang adalah gembala, yakni memimipin dengan cara melayani,
tidak terpuji cara ia melaksanakan tugasnya jika melakukannya atas dasar kuasa
otiriter sebagai pemimpin dengan cara memaksa orang yang dipimpin. Kalimat "Janganlah kamu berbuat seolah-olah kamu mau
memerintah atas mereka yang dipercayakan kepadamu,...." (ay.3) memberikan penegasan bahwa seorang pemimpin
yang ambisius dapat dengan mudah merosot menjadi seorang tiran yang picik dengan
sikap mau memerintah. "Bahkan satu kuasa kecil dapat dengan mudah mengubah
orang menjadi sombong". Tidak ada satu sikap yang lebih tidak cocok bagi
orang yang mengaku menjadi hamba Anak Allah yang merendahkan diri-Nya. Dengan
kata lain, memerintah dengan mengandalkan kuasa adalah suatu perbuatan yang
tidak layak disandang oleh seorang pemimpin-pelayan.
Jika demikian, bagaimanakah seharusnya? Pada ayat yang sama,
Petrus melanjutkan kalimatnya: "Hendaklah kamu menjadi teladan bagi
kawanan domba itu" (ay.3). Ini memberikan penegasan bahwa lawan dari memerintah
adalah memberi teladan. Pemimpin-pelayan adalah pribadi yang berada di
depan, seperti gembala, untuk memberi teladan. Perbuatan baik dan benar
harusnya tidak bisa diperintahkan untuk dilakukan, itu hanya mungkin jika
ditunjukkan dengan perbuatan untuk diteladani.
P E N U T U P
Bagaimanapun tidak mudah menjadi seorang pemimpin apalagi
pemimpin dalam gereja Tuhan. Sikap dan perbuatan adalah modal kuat untuk
mengejah wantakan kasih Kristus sebagai sumber anugerah kepemimpinan itu. Hati
yang penuh kasih, kemampuan mengolah konflik batin adalah mutlak diperlukan
untuk menyebut seorang pemimpin adalah cerdas secara emosional.
Pada akhirnya kekuatan spiritual yang mumpuni yang ditandai
dengan hidup yang intim dengan seorang Pemimpin/Gembala AGUNG mutlak
dibutuhkan. Hanya mereka yang memiliki keuatan spiritual yang prima-lah yang
mampu secara baik menjadi leader yang tidak hanya bijak, bukan saja mumpuni
memberi solusi, namun mampu membawa organisasi yang dipimpinnya mengalami
perubahan ke arah yang lebih baik.
------ __ -----
KEPUSTAKAAN
BUKU:
Alkitab, Jakarta: LAI,
2006
Boa, Kenneth
dkk, Kepemimpinan Ilahi dalam Rupa Insani, Jakarta: Yayasan
Komunikasi Bina Kasih, 2013
Ensiklopedi Alkitab Masa Kini Jilid II.
Jakarta: Yayasan Komunikasi Bina Kasih-YKBK, 2007
Packer, J. I. Ensiklopedia
Fakta Alkitab II. Malang: Gandum Mas, 2001
Sloane, Paul, The
Innovative Leader, Jakarta: Buana Ilmu Populer, 2007
W. I. M. Poli, Kepemimpinan
Stratejik – Pelajaran dari Yunani Kuno hingga Bangladesh, Makassar,
Identitas Universitas Hasanuddin, 2011
Wiyono, F.X.G.
Isbagyo, The Innovative Leader, Jakarta: Buana Ilmu Populer, 2007
ONLINE SOURCE:
http://cintaimabar.blogspot.co.id/p/kepemimpinan-yang-melayani-servant.html
[1] Nama asli Petrus ialah nama
Ibrani 'Simeon' (seyogianya demikian dlm Kisah 15:14; 2 Petrus 1:1, tapi dalam
LAI-TB semuanya menjadi 'Simon'); barangkali, seperti banyak orang Yahudi
dipakainya juga nama 'Simon', hal yg biasa dalam PB sebagai nama Yunani yg
bunyinya sama. Lih: Ensiklopedi Alkitab Masa Kini Jilid II.
(Jakarta: Yayasan Komunikasi Bina Kasih-YKBK, 2007), hlm. 255. Simeon atau
Simon berarti “mendengar”. Lih. Ibid, hlm 405.
[2] Nama Kefas adalah nama yang
diberikan oleh Yesus pada saat mengangkatnya sebagai murid. Dalam bahasa Aram
berarti Batu Karang atau Petrus (Yoh.1:41).
[3] J. I.
Packer. Ensiklopedia Fakta Alkitab II. (Malang:Gandum
Mas, 2001) hlm. 1105
[4] Ensiklopedi Alkitab
Masa Kini Jilid II. (Jakarta: Yayasan Komunikasi Bina Kasih-YKBK, 2007),
hlm. 256-257
[5] http://www.sarapanpagi.org/petrus-vt4233.html
--- diakses pada tanggal 28 Desember 2015.
[6]
http://lead.sabda.org/kunci_kepemimpinan_petrus di akses pada tanggal 30 Des
2015. Petrus belajar melayani, taat
dan menyerahkan hidupnya dalam pimpinan Allah. Maxwell mencatat bahwa dia
adalah pemain yang paling berkembang dan pemimpin yang berubah 180 derajat.
Allah mengubah hidup Petrus dan memakainya sebagai salah satu pemimpin yang berhasil
mengubah dunia.
[7] Kenneth Boa, dkk, Kepemimpinan
Ilahi dalam Rupa Insani, (Jakarta: Yayasan Komunikasi Bina Kasih,
2013), hlm. 512.
[8] Kemampuan untuk memberikan arahan
tindakan kemasa depan ini digambarkan sebagai misi, tujuan inti, atau visi.
Lih. Paul Sloane, The Innovative Leader, (Jakarta: Buana Ilmu
Populer, 2007), hlm. 1
[9] Ibid, hlm. 37-38
[10] Hal yang perlu dicatat adalah
bahwa orang-orang yang mengamati kisah Petrus dan Yohanes melihat keberanian
mereka. Sebagai pemimpin gereja mula-mula, mereka berani bersaksi, menyatakan
tentang Yesus, bahkan menghadapi perlawanan yang keras. Lih. Paul Sloane, The
Innovative Leader, (Jakarta: Buana Ilmu Populer, 2007), hlm. 349.
[11] W. I. M. Poli, Kepemimpinan
Stratejik – Pelajaran dari Yunani Kuno hingga Bangladesh, (Makassar,
Identitas Universitas Hasanuddin, 2011), hlm. 23
[12] Kenyataan tak bisa dipungkiri
bahwa Petrus pernah gagal menjadi contoh dan teladan dari perkataannya itu. Hal
ini terlihat dalam Galatia 2:11-14 ketika Petrus dan Paulus pernah berkonflik
secara terbuka. Awalnya, Petrus membuka diri dengan kaum tak bersunat dan
bahkan makan bersama mereka sehidangan dengan para orang percaya non Yahudi.
Namun, ketika kelompok Yahudi datang, yaitu golongan Yakobus, Petrus kemudian berubah
sikap dan meninggalkan kelompok tak bersunat itu supaya ia tidak dihakimi
oleh kaum bersunat. Inilah yang mengecewakan Paulus. Ia mempertanyakan Petrus
dan pendirian imannya sehubungan dengan keselamatan untuk kaum yang tak
bersunat pula. Petrus menjadi “munafik” dan mengamankan
diri sendir. Itu adalah kekejian menurut Paulus.
[13] Kepemimpinan
yang melayani memiliki kelebihan karena hubungan antara pemimpin (leader) dengan pengikut (followers) berorientasi pada sifat melayani
dengan standar moral spiritual. Selanjutnya ciri-ciri tentang Pemimpin Yang
Melayani dapat dilihat pada: http://cintaimabar.blogspot.co.id/p/kepemimpinan-yang-melayani-servant.html
yang di akses 30 Des 2015.
Subscribe to:
Posts (Atom)
YOHANES 17:20-23
YOHANES 17:20-23 Ibadah Keluarga 09 Oktober 2024 PENDAHULUAN Bacaan Alkitab ini merupakan bagian dari doa Tuhan Yesus sebelum menjalani ...
-
Bahan Bacaan Alkitab Ibadah Rumah Tangga Rabu, 15 Agustus 2018 A. LATAR BELAKANG NATS Surat ini ditujukan kepada orang Kristen Y...
-
A. Pengertian dan Tujuan Puasa atau Doa-Puasa Dalam Alkitab berpuasa menunjukkan disiplin berpantangan makanan dengan maksud ro...
-
AMSAL 23:17-18 JANGAN IRI HATI PADA ORANG BERDOSA Bahan Bacaan Alkitab Ibadah Rumah Tangga Rabu, 08 Agustus 2018 PENGANTAR ...