Monday, September 1, 2014

BAHAN RENUNGAN IBADAH KELUARGA RABU 3 SEPTEMBER 2014



KOLOSE 2:6-15

Pendahuluan
Kolose adalah sebuah kota kecil di Lembah Likus yang indah, sekitar 100 mil (160 Km) sebelah timur efesus, dekat denizli, Turki moderen, berdekatan dengan Laodikia yang lebih makmur. Rasul Paulus bersama dengan Timotius mengalamatkan suratnya kepada jemaat yang disebut sebagai “saudara-saudara yang kudus dan yang percaya dalam Kristus di Kolose”. Rupanya, ia sedang berada di penjara Roma, bersama dengan Epafras ia membangun jemaat ini yang pada mulanya adalah orang-orang kafir (1:21; 2:12; 3:7).

Paulus dan Epafras mendengar masalah yang ada di jemaat itu yang disebabkan oleh mereka yang dikatakannya “yang memperdaya” jemaat dengan kata-kata indah (2:4) “mereka yang menawan kamu dengan filsafat kosong dan palsu menurut ajaran turun-temurun dan roh-roh dunia (2:8). Kata-kata atau filsafat kosong dan palsu atau jelasnya pengajaran sesat yang dibawa oleh kelompok tertentu rupanya mulai mempengaruhi penghayatan iman jemaat kepada Kristus. Rupanya diantara mereka sudah ada yang mulai tergoncang imannya dan mulai bergeser dari pengharapan Injil yaitu Yesus Kristus.

Penjelasan dan Tafsiran Teks
Sulit memang untuk mengindentifikasi kelompok penyesat yang mengancam kehidupan jemaat Kolose, tetapi ajaran dan praktek mereka di sebut sunat (2:11,13) sebagai bagian dari ketentuan hukum Taurat (2:14). Rupanya jemaat Kolose dipaksa untuk mengikuti ketentuan Hukum Taurat berupa sunat sebagai salah satu syarat untuk beroleh keselamatan. Paulus menentang hal ini dan menjelaskan kepada jemaat Kolose bahwa keselamatan mereka ditentukan bukan oleh Sunat atau ketaatan pada Hukum Taurat, melainkan oleh anugerah keselamatan dalam penebusan Yesus Kristus.

Dalam Perjanjian Lama sunat adalah suatu tanda dan menjadi identitas bagi umat pilihan Allah. Kisah tentang asal mula tanda itu termuat dalam Kejadian 17:10,11. Ketika Allah membuat perjanjian dengan Abraham, sunat ditetapkan sebagai tanda perjanjian itu untuk selamanya. Sekarang, sunat hanyalah tanda dalam daging, sesuatu yang dilakukan pada tubuh manusia. Namun, apabila orang ingin mengadakan hubungan yang khusus dengan Allah, diperlukan sesuatu yang lebih daripada sekedar tanda pada tubuhnya. Ia harus memiliki hati, pikiran, dan karakter tertentu. Di sinilah sebagian orang Yahudi membuat kekeliruan. Mereka memandang sunat dalam dirinya sendiri sebagai sesuatu yang cukup untuk menjadikan mereka khusus bagi Allah. Jauh sebelum itu, guru-guru besar dan para nabi agung telah melihat bahwa sunat daging pada dirinya sendiri tidaklah cukup dan oleh karena itu dibutuhkan sunat rohani.

Dalam kitab Imamat si pemberi hukum berkata tentang hati yang disunat, maksudnya umat Israel harus merendahkan hati untuk menerima hukuman Allah (Im.26:41). Seruan penulis Kitab Ulangan adalah, “Sebab itu sunatlah hatimu dan janganlah lagi kamu tegar tengkuk” (Ul 10:16). Ia berkata bahwa Tuhan akan menyunat hati mereka supaya mereka mengasihi-Nya (Ul 30:6). Yeremia berbicara tentang telinga yang tidak disunat, yaitu telinga yang tidak mau mendengar firman Allah (Yer 6:10). Penulis Kitab Keluaran menulis tentang lidah yang tidak.

Hal senada dan tegas juga disampaikan Paulus dalam bacaan kita. Bahwa menurut Paulus, sunat lahiriah tidaklah menjamin keselamatan seseorang. Sunat Kristus yakni penebusanlah yang lebih utama. (ay.11). Yang dimaksud Paulus tentang Sunat Kristus adalah mengenai penanggalan tubuh yang berdosa. Sunat biasa hanya sebagian tubuh, sedangkan sunat Kristus adalah menangalkan seluruh tubuh yang berdosa menjadi ciptaan baru di dalam penebusan yang dilkakukan Kristus yakni mengampuni segala dosa (ay.13).

Penebusan yang dilakukan oleh Tuhan Yesus itu bagaikan menghapuskan surat hutang (ay.14).  Ungkapan “surat hutang” berasal dari dunia perniagaan. Surat hutang itu ditandatangani oleh pihak yang berhutang, sehingga surat tersebut mempunyai nilai hukum. Paulus memakai ungkapan ini untuk berfungsi sebagai metafor untuk menyatakan bahwa kita berhutang kepada Allah, yang olehnya kita diganjar dengan maut (Rm 6:23). Namun tak seorangpun di dunia ini yang dapat melunasi hutang itu. Yesuslah yang melunaskan hutang itu dengan mati di kayu salib.

Menarik untuk diperhatikan dalam ayat 14 dan 15 bahwa sekonyong-konyong Paulus mulai memakai istilah “kita” dalam tulisannya, yang sebelumnya menyebut dan menyapa dengan kamu. Para pembaca surat ini adalah orang-orang bukan Yahudi, sedang Paulus adalah seorang Yahudi. Paulus tidak mengecilkan perbedaan antara seorang yang disunat dan yang tidak disunat. Tetapi pada dasarnya keduanya sama. Yahudi dan kafir, kedua-duanya harus hidup dari pengampunan dosa. Kedua-duanya berdosa di hadapan Allah. Maka Yahudi dan kafir kedua-duanya mendapat dari Allah keampunan di dalam Kristus. Sebab itu sekonyong-konyong Paulus berpindah dari kata “kamu” kepada “kita” di dalam ayat 13 dan 14. Ia menggolongkan dirinya sendiri di dalam lingkungan itu. Dengan kata lain, Paulus bersedia menyebut dirinya sama dengan kelompok tak bersunat. Ia sangat tidak mempersoalkan tentang arti sunat itu sendiri.

Relevansi dan Aplikasi
Berdasarkan Uraian di atas, silakan membuat relevansi dan aplikasinya dengan penekanan pada:

1.         Keselamatan datang sebagai anugerah
Dengan tegas Paulus mengingatkan kita bahwa akibat dosa kita bagaikan orang yang perlu ditebus hutangnya agar terbebas dari ikatan perjanjian dosa. Sebagai pribadi yang terikat perjanjian itu, kita tidak bisa menebus diri kita sendiri. Di sinilah peran Yesus yang mengambil alih surat hutang tersebut dan menebus kita dengan membayar harga, yakni nyawaNya sendiri. Kita diselamatkan oleh karena anugerah Tuhan itu.

Sayangnya, ketika bicara tentang keselamatan sebagai anugerah, maka seringkali nilai dan maknanya kurang dihargai. Keselamatan adalah anugerah. Gratis tapi harganya mahal, yakni kematian Kristus bagi kita. Gratis tidak berarti murah apalagi murahan. Harganya sangat mahal yakni semahal nyawa anak Allah, Tuhan Yesus Kristus. Karena itu, menghargai keselamatan adalah kesediaan kita memberi nilai terhadap anugerah yang mahal itu, lewat menjaga hidup kita agar tidak mencoreng dan mengotori nilai sakral dari keselamatan itu.

2.         Sunat Hati lebih penting dari sunat lahiriah.
Sunat hati adalah bentuk pertobatan yang mendasar, yaitu membuang dari hati sikap yang keras kepala terhadap firman Tuhan dan sikap yang terbuka kepada dosa. Bersunat hati berarti memblokir hati dari ajakan berbuat dosa, dan mengarahkannya kepada petunjuk firman. Sunat hati berarti pertobatan dari dalam. Orang bisa saja bersunat lahiriah, tetapi hati dan pikirannya tertawan dosa. Orang yang bersunat hati menjadikan hati dan pikirannya milik Kristus. Sunat hati adalah metafora lahir baru, yaitu pertobatan yang dimulai dari anugerah keselamatan oleh Yesus. Mereka yang sudah disunat hatinya mampu menolak godaan dunia untuk tetap hidup dalam dosa, sebaliknya dengar-dengaran firman Tuhan untuk hidup kudus.

Dengan kata lain, seorang yang mengaku diselamatkan dan percaya kepda Kristus, adalah pribadi yang bersedia mengekang diri dan hatinya dari berbgai perbuatan kejahatan. Bukankah menjadi kenyataan tak terpungkiri bahwa banyak yang menyebut diri Kristen, namun pola laku hidup tidak sesuai dengan Kristus? Itu berarti belum mampu menyunat hatinya. Secara lahiriah, mungkin kita menunjukkan berbagai indikasi sebagai pengikut Kristus. Pergi ke gereja, membaca Alkitab, rajin berbuat baik. Namun, jika hati kita masih menikmati dosa, diliputi ketakutan, kebimbangan, egoisme, kepentingan diri sendiri, kita harus meminta Roh Kudus menyelidiki hati kita, adakah kita sudah bersunat hati seperti yang Tuhan inginkan?

3.         Jadilah berkat bagi orang lain yang “berbeda” melalui kesaksian hidup kita.
Paulus dalam ayat 13 dan 14 mengidentifikasi dirinya dengan kaum tak bersunat alias orang2 golongan non Yahudi. Pada zaman itu tindakan Paulus tidaklah lazim. Sebab biasanya, orang Kristen Yahudi merasa lebih unggul dengan non Yahudi. Namun ketika Paulus menyapa dengan sebutan “kita” dan bukan “kamu”, maka hal itu memberi gambaran jelas bahwa Paulus menerima mereka sebagai bagian yang sama dengan dirinya. 

Bukankah seharusnya demikian orang yang sudah percaya? Pengikut Kristus harus mampu merendahkan hati di hadapan Kristus dan bersedia menerima perbedaan sebagai anugerah Allah. Mampu menganggap orang lain sebagai saudara dan menjadikan diri kita sebagai pribadi yang bersaksi agar menjadi berkat bagi mereka yang berbeda dengan kita. Kita dapat menghancurkan musuh bukan dengan cara membenci musuh kita; namun dengan cara mengubahnya menjadi sahabat.

Karena itu, marilah membangun hidup kita agar berpadanan dengan Kristus. Biarlah kita tetap hidup di dalam Dia, dan dibangun Dia. Sehinga kita mampu berakar dan bertumbuh karena Kristus, sehingga berbuah bagi kemuliaan namaNya. Amin.