Saturday, September 14, 2019

1 SAMUEL 12:1-7

1 SAMUEL 12:1-7
ESTAFET KEPEMIMPINAN
Bahan Khotbah Ibadah Minggu
15 SEPTEMBER 2019

P E N D A H U L U A N
Seorang pemimpin yang baik bukan saja suskes melaksanakan tangung-jawab kepemimpinannya, melainkan juga mampu menyiapkan proses peralihan tampuk kepemimpinan dari dirinya sendiri kepada orang lain. Paling tidak inilah yang terjadi dalam bacaan kita ini.

Suksesi kepemimpinan di Israel ini bermula dari keinginan umat Israel untuk dipimpin oleh seorang raja. Mengapa mereka menginginkannya. Alasannya dapat kita temukan pada 8:1-5,yakni:
1.      Samuel telah berusia lanjut (ay.1)
2.      Samuel menunjuk anak-anaknya, Yoel dan Abia menggantikan dirinya namun prilaku anak-anaknya tidak benar, korup dan memutarbalikkan keadilan (ay.2,3)
3.      Israel ingin seperti bangsa-bangsa lain yang memiliki raja yang kelihatan dan tidak seperti Allah yang tidak terlihat (ay.5).    

Menarik sekali bahw apenolakan kepada Samuel dan permintaan mendapatkan raja yang dituntut oleh orang Israel itu bukan sesungguhnya menolak Samuel. TUHAN, Allah Israel menyampaikan kepada Samuel bahwa tindakan mereka adalah menolak AKU (8:7). Silakan bayangkan, bahwa Allah ditolak mereka sebagai raja. Maka sistem pemerintahan Teokrasi (dipimpin oleh Allah) berubah menjadi Monarki (dipimpin oleh raja).


EXEGESE TEKS (Uraian Perikop)
Arti nama Samuel berasal dari bahasa Ibrani שְׁמוּאֵל (BACA: Shemu’el) yang berarti namanya adalah Allah. Beberapa catatan penting di dalam Alkitab tentang Samuel sangat menarik. Ia disebut sebagai hakim terakhir dan juga terbesar (Kis.13:20), ia disebut sebagai nabi pertama di Israel (Kis.3:24), dan dianggap sebagai tokoh yang terbesar dan paling dihormati setelah Musa ketika TUHAN menyebut dua nama ini (Yer.15:1). Pada perikop ini, Samuel mohon diri kepada Israel dan pamit, setelah selesai melaksanakan suksesi tersebut. Terdapat beberapa catatan penting dalam perikop ini, yakni:

1.      Dua Kali Suksesi?
Kesan yang kita dapatkan jika membaca pasal 8 setelah Saul di urapi menjadi raja, bukankah suksesi sudah terjadi? Mengapa saat itu Samuel tidak langsung pamit? Bahkan jika membaca pada ayat 2 kita menemukan bahwa Samuel mengakui Saul sebagai penggantinya, namun juga menyebut anak-anaknya yang meneruskan tanggung jawabnya?

Ternyata kita harus membedakan antara kepemimpinan Politik dan kepemimpinan Spiritual. Samuel bukan saja seorang hakim (pemimpin wilayah) bagi umat Israel waktu itu, ia juga adalah seorang nabi yang dipercayakan Allah untuk menuntun kehidupan rohani umat (pemimpin spiritual). Tidak heran jika hanya Samuel-lah yang boleh mempersembahkan korban (10:8; 13:11,12). Ketika raja Saul diurapi, suksesi kepemimpinan baru pada aspek politis (pemimpin wilayah) dan belum pada aspek rohaniah (pemimpin Spiritual).

Dengan demikian, ketika Samuel pamit pada perikop kita saat ini, itu berarti pamit sebagai pemimpin wilayah karena telah ada Saul. Di sisi lain, ketika ia menyebut: bukankah anak-anakku laki-laki ada di antara kamu?” (ay.2) menunjukkan bahwa ada kesan bahwa ia juga meletakkan jabatan sebagai pemimpin spiritual (nabi) bagi umat Israel.

2.      Samuel menunjuk anak-anaknya (ay.2)
Tidak dapat dipahami mengapa Samuel masih tetap menunjuk anak-anaknya, yakni Yo’el dan Abia sebagai penerusnya di bidang kerohanian. Padahal telah dicatat bahwa mereka tidak seperti ayahnya. Hidup mereka sebagai pemimpin spiritual dapat dikatakan “jauh panggang dari api” alias tidak memenuhi syarat. Bagaimana mungkin tetap mempertahankan status quo? Apakah karena mereka adalah garis ketutunan langsung dari Samuel?

Jika kita telusuri lebih lanjut, ternyata TUHAN, Allah Israel tidak mengfungsikan Yoel dan Abia sebagai posisi penerus Samuel. Hal ini terbukti ketika Tuhan sendiri memanggil ulang Samuel (dan bukan anak-anaknya) untuk mengurapi Daun menjadi raja menggantikan Saul yang tidak dikendaki Allah (1 Samuel 16).  
 
3.      Samuel Mempertanggung-jawabkan Kinerjanya (ay.3-5)
Perhatikanlah apa yang dilakukan oleh Samuel ketika tiba waktunya untuk menyerahkan tampuk kepemimpinan kepada pemimpin yang baru. Ada dua hal penting yang dibuat Samuel:
a.      Sadar diri
Perhatikan alasan utama Samuel mengundurkan diri: tetapi aku ini telah menjadi tua dan beruban (ay.2). Samuel sadar diri bahwa usianya sudah lanjut dan fisiknya tidak sekuat waktu ia masih muda. Tentulah faktor ini mempengaruhi kemampuannya untuk melaksanakan tugas ganda kepemimpinan di Israel.

Samuel terkategori sebagai pemimpin yang “tahu diri” dan mampu dengan sadar menerima kekurangannya itu agar kepentingan orang banyak tidak terabaikan karena “kondisi lamban” yang ada pada dirinya akibat faktor usia. Pemimpin yang baik harus mampu untuk sigap dan giat bekerja dan memahami kapan untuk berhenti.

b.      Pertanggung-jawaban
Lihatlah bagaimana Samuel menyampaikan kalimat penting pada ayat 3-5. Ia meminta umat Israel untuk menjadi “hakim” tentang apa yang sudah ia lakukan, sekaligus siap dituding jari tentang kesalahan apa yang sudah ia perbuat (ay.3). Pada tahap berikutnya, ia kemudian menpertanggung-jawabkan perbuatannya di hadapan Allah dan menjadikan TUHAN sebagai saksi dari semua tindak tanduk perbuatannya selama melaksanakan tugas yang ia emban (ay.5).

Pada dua model pertanggung-jawaban itu, Samuel dinyatakan bersih. Pemimpin yang baik adalah pemimpin yang bersedia untuk siap dinilai dan dimintakan pertanggung-jawaban. Samuel adalah contoh pemimpin yang dimaksud. Bukan saja siap bertanggung-jawab, namun juga mengantisipasi pertanggung-jawaban itu dengan cara melakukan yang terbaik saat mengemban tugas, supaya ketika tiba waktunya untuk mempertanggung-jawabkan segala sesuatu di hadapan manusia dan terutama di hadapan TUHAN, ia didapati layak dan bersih.

4.      Pemimpin hingga akhir (ay.6,7)
Menarik untuk diperhatikan catatan yang muncul pada ayat 6 dan 7. Setelah ia mempertanggung-jawabkan semua kinerja selama memimpin umat, Samuel tetap menjadi pemimpin purnabakti secara struktural tetapi tidak secara fungsional.  

Benar bahwa ia telah meletakkan jabatan di dan pamit di hadapan umat. Namun jika memperhatikan ayat 6,7 dan bahkan hingga akhir perikop ini yakni ayat 25, kita menemukan wejangan seorang peimpin masih terus dilalukan oleh Samuel. Ia tidak membiarkan Israel tanpa pemdampingan. Walaupun secara struktural ia sudah bukan pemimpn mereka, namun petuah dan nasehat bahkan bimbingan dan wejangan masih terus bersedia ia sampaikan. Samuel tetap menjadi seorang pemimpin hingga akhir hidupnya.



APLIKASI DAN RELEFANSI