AYUB 2:8-13
Bahan Renungan Ibadah Keluarga
01 Maret 2017
Oleh: Pdt. Cindy Tumbelaka
Dalam
Alkitab, Ayub dihadirkan sebagai orang yang sifatnya saleh dan jujur, takut
a-kan Allah dan menjauhi kejahatan (1:1).
Dengan kata lain, kehidupan keagamaan dan keiman-an Ayub baik
(1:5). Sebagai seorang kepala keluarga,
Ayub memiliki 7 (tujuh) anak laki-laki dan 3 (tiga) anak perempuan (1:2). Dengan demikian, Ayub dapat dikatakan sebagai
laki-laki yang berbahagia dan patut berbangga hati di hadapan orang (Mzm
127:3-5). Ayub juga dica-tat sebagai
orang yang terkaya dari semua orang di wilayah itu (1:3). Kesimpulannya, Ayub menjalani hidup yang
sempurna sebagai manusia karena diberkati Allah.
Di
mata Allah, Allah pun mengakui bahwa tiada seorangpun
di bumi seperti dia, yang demikian saleh dan jujur, yang takut akan Allah dan
menjauhi kejahatan. Ia tetap tekun dalam kesalehannya, meskipun mengalami
kecelakaan tanpa alasan (ay. 3). Hal ini dikatakan Allah setelah Allah
membiarkan harta kekayaan Ayub dirampas orang, budak-budaknya mati dibunuh
(1:15), peternakannya habis terbakar (1:16), ternak dan penjaga-penjaganya
habis dibunuh (1:17), anak-anak Ayub pun mati tertimpa rumah yang roboh ditiup
angin ribut (1:18-19). Walaupun sudah
sedemikian habis, iblis masih mendesak Allah untuk menimpakan penderitaan
badani pada tubuh Ayub (2:4-5) maka jadilah Ayub terkena barah yang busuk di
seluruh tubuhnya (2:6-7).
Pemahaman
Teks
2:8 Barah yang busuk itu membuat seluruh
badan Ayub menjadi sangat gatal sehingga ia menggaruknya dengan sekeping
beling. ‘Sekeping beling’ memberi
gambaran betapa parahnya kerugian materi yang diderita Ayub. Segala kekayaan yang dimiliki hancur
berkeping-keping sehingga menyisakan pecahan-pecahan kaca/ beling. Demikian juga dengan ‘abu’ yang menggambarkan
keadaan yang sudah habis sama sekali hanya menyisakan abu. Dalam Alkitab, ‘abu’ dipakai sebagai tanda
merendahkan diri di hadapan Allah (Ayb 42:6).[1]
2:9 Ternyata, sekalipun Ayub adalah seorang
yang saleh dan takut akan Tuhan, sifatnya ini tidak dijiwai juga oleh
isterinya. Isteri Ayub sepertinya tidak
mau menerima kenyataan yang dihadapi yaitu kehancuran dan penderitaan.
2:10 Terhadap usul isterinya supaya Ayub tidak
lagi bertekun dalam kesalehan dan mengutuki Allah, Ayub memandang usul ini
‘gila’. Alkitab memberi catatan penting
terhadap sikap iman Ayub ini, yaitu dalam
kesemuanya itu Ayub tidak berbuat dosa dengan bibirnya.
2:11 Malapetaka yang menimpa Ayub mengundang
simpati dari teman-teman, khususnya Elifas, Bildad dan Zofar. Mereka datang dari daerah masing-masing untuk
mengucapkan belasungkawa kepadanya dan
menghibur dia.
2:12 Yang membuat Elifas, Bildad dan Zofar
menangis/ berduka adalah tampilan Ayub yang dipenuhi barah busuk seluruh tubuh
sehingga tidak dapat dikenali dengan mudah.
2:13-14 Tindakan Elifas, Bildad dan Zofar yang
menaburkan debu di kepala merupakan tanda bahwa mereka turut berduka secara
mendalam. Mereka tidak dapat lagi
mengucapkan kata-kata penghiburan selain duduk bersama Ayub di tanah selama 7
(tujuh) hari 7 (tujuh) malam.
Renungan dan
Penerapan
Pada
pasal 1 dan 2 saja kita dapat melihat bagaimana dengan iman Ayub siap meng-hadapi
kenyataan pahit bahwa ia kehilangan segalanya, termasuk 10 (sepuluh) anak yang
sa-ngat dikasihinya. Kesiapan Ayub
tampak pada ucapan: "Dengan
telanjang aku keluar dari kan-dungan ibuku, dengan telanjang juga aku akan
kembali ke dalamnya. TUHAN yang memberi, TUHAN yang mengambil, terpujilah nama
TUHAN!" (1:21). Juga ketika
Ayub berkata kepada isterinya:
“… Apakah kita mau menerima yang baik dari Allah, tetapi tidak mau menerima
yang buruk?" (ay. 10). Ayub ‘siap menerima yang buruk’ dari Allah
sebagaimana ia siap menerima yang baik. Lalu apa yang sebenarnya membuat Ayub
berduka?
‘Siap menerima keadaan’ bukan
berarti ‘dengan senang hati’. Berdasarkan
iman, ide-alnya kita harus ‘siap’ menerima apapun pemberian Allah. Akan tetapi sebagai manusia, rasa kehilangan
dan rindu, khususnya ketika ditinggalkan orang-orang yang sangat dikasihi,
tentu ti-dak bisa diabaikan begitu saja.
Jadi, berduka karena merasa rindu atau kehilangan itu wajar selama kita
dapat mengendalikan diri dari berbuat dosa (ay. 20 dan 1:22 = tidak menuduh Allah berbuat yang kurang
patut). Jadi, bukan karena kenyataan
buruk inilah Ayub berduka melainkan lebih karena kebingungannya mengenai:
mengapa hal-hal buruk dapat terjadi atas orang baik/ benar.
Ayub tidak pernah tahu bahwa
dirinya dijadikan ‘taruhan’ antara Allah dengan iblis; yang ia tahu hanyalah
dirinya yang sudah berusaha hidup sebaik mungkin di mata Allah dan manusia
tetapi malah tertimpa malapetaka. Dalam
hidup beriman, kita pun akan mengalami hal-hal buruk yang tidak hanya membuat
kita merugi tetapi bingung: kesalahan/ dosa apa yang telah kita perbuat? Dalam keadaan bingung maupun panik menghadapi
kenyataan, kita sering-kali melakukan tindakan gegabah, seperti menuduh Allah berbuat yang kurang patut
(1:22), mengambil keputusan yang salah, melanggar peraturan/ hukum,
melampiaskan marah/ kece-wa/ frustasi melalui tindakan anarkis, dll. Dari Ayub, kita belajar bahwa pengakuan iman
ten-tang TUHAN yang memberi, TUHAN yang mengambil (1:21) maupun kita juga harus mau me-nerima yang buruk dari Allah
sebagaimana kita menerima yang baik (ay. 10) adalah yang me-mampukan
kita menghadapi kenyataan dalam keadaan bingung.
Hal kedua yang tidak kalah
memberatkan Ayub dalam menghadapi kenyataan buruk adalah hilangnya dukungan
dari pasangan hidup, yaitu isteri, ketika isteri ternyata ‘tidak sei-man’
dengannya (= agamanya sama namun pengakuan, pemahaman dan tindakan imannya
berbeda). Sikap isteri Ayub ini
benar-benar menjadi peringatan bagi kita untuk juga memper-hatikan kesiapan
keluarga ketika kita hendak melayani Tuhan dengan lebih serius. Kita yang beriman dan taat kepada Tuhan harus
juga memperhatikan pertumbuhan iman orang-orang di sekitar karena iman mereka
ternyata sangat penting dan cukup berpengaruh pada saat kita menghadapi
kenyataan buruk. Kenyataan akan terasa
jauh lebih buruk jika kita mengadapinya sendiri tanpa topangan iman dari
orang-orang terdekat, khususnya pasangan hidup.
Bukan dari isteri, Ayub mendapat
dukungan melainkan dari sahabat-sahabatnya.
Apa yang dilakukan sahabat-sahabat Ayub ini mengilhami kita ketika
hendak mendampingi orang yang sedang berduka. Cara kita menghibur ataupun menguatkan orang
berduka tidak selalu dengan membicarakan apa yang terjadi maupun memberi
nasihat tentang apa yang harus dilakukan, sekalipun nasihat itu tepat. Hanya dengan duduk bersama dalam diam di
tempat di mana orang itu ‘terlalu lemah untuk beranjak’, itu cukup menguatkan. Sekalipun nasihat yang kita sampaikan itu
baik dan benar namun dalam keadaan seperti ini, orang belum tentu siap menerima
malah dapat berprasangka buruk. Tunggu
saja sampai orang yang berduka itu siap untuk bicara. Sambil menunggu, silahkan berdoa di dalam
hati kepada Tuhan, mohon hikmat dan kekuatan untuk menjadi pendamping yang baik
juga untuk menghadapi kenyataan buruk ini bersama. Amin
[1] Ensiklopedi
Alkitab Masa Kini jilid 1: A-L, Jakarta :
Yayasan Komunikasi Bina Kasih/ OMF, 1994, hlm. 8