Tuesday, February 28, 2017

BAIK ATAU BURUK

AYUB 2:8-13
Bahan Renungan Ibadah Keluarga
01 Maret 2017

Oleh: Pdt. Cindy Tumbelaka


            Dalam Alkitab, Ayub dihadirkan sebagai orang yang sifatnya saleh dan jujur, takut a-kan Allah dan menjauhi kejahatan (1:1).  Dengan kata lain, kehidupan keagamaan dan keiman-an Ayub baik (1:5).  Sebagai seorang kepala keluarga, Ayub memiliki 7 (tujuh) anak laki-laki dan 3 (tiga) anak perempuan (1:2).  Dengan demikian, Ayub dapat dikatakan sebagai laki-laki yang berbahagia dan patut berbangga hati di hadapan orang (Mzm 127:3-5).  Ayub juga dica-tat sebagai orang yang terkaya dari semua orang di wilayah itu (1:3).  Kesimpulannya, Ayub menjalani hidup yang sempurna sebagai manusia karena diberkati Allah.
            Di mata Allah, Allah pun mengakui bahwa tiada seorangpun di bumi seperti dia, yang demikian saleh dan jujur, yang takut akan Allah dan menjauhi kejahatan. Ia tetap tekun dalam kesalehannya, meskipun mengalami kecelakaan tanpa alasan (ay. 3).  Hal ini dikatakan Allah setelah Allah membiarkan harta kekayaan Ayub dirampas orang, budak-budaknya mati dibunuh (1:15), peternakannya habis terbakar (1:16), ternak dan penjaga-penjaganya habis dibunuh (1:17), anak-anak Ayub pun mati tertimpa rumah yang roboh ditiup angin ribut (1:18-19).  Walaupun sudah sedemikian habis, iblis masih mendesak Allah untuk menimpakan penderitaan badani pada tubuh Ayub (2:4-5) maka jadilah Ayub terkena barah yang busuk di seluruh tubuhnya (2:6-7).

Pemahaman Teks
2:8        Barah yang busuk itu membuat seluruh badan Ayub menjadi sangat gatal sehingga ia menggaruknya dengan sekeping beling.  ‘Sekeping beling’ memberi gambaran betapa parahnya kerugian materi yang diderita Ayub.  Segala kekayaan yang dimiliki hancur berkeping-keping sehingga menyisakan pecahan-pecahan kaca/ beling.  Demikian juga dengan ‘abu’ yang menggambarkan keadaan yang sudah habis sama sekali hanya menyisakan abu.  Dalam Alkitab, ‘abu’ dipakai sebagai tanda merendahkan diri di hadapan Allah (Ayb 42:6).[1]
2:9        Ternyata, sekalipun Ayub adalah seorang yang saleh dan takut akan Tuhan, sifatnya ini tidak dijiwai juga oleh isterinya.  Isteri Ayub sepertinya tidak mau menerima kenyataan yang dihadapi yaitu kehancuran dan penderitaan.
2:10      Terhadap usul isterinya supaya Ayub tidak lagi bertekun dalam kesalehan dan mengutuki Allah, Ayub memandang usul ini ‘gila’.  Alkitab memberi catatan penting terhadap sikap iman Ayub ini, yaitu dalam kesemuanya itu Ayub tidak berbuat dosa dengan bibirnya.
2:11      Malapetaka yang menimpa Ayub mengundang simpati dari teman-teman, khususnya Elifas, Bildad dan Zofar.  Mereka datang dari daerah masing-masing untuk mengucapkan belasungkawa kepadanya dan menghibur dia.
2:12      Yang membuat Elifas, Bildad dan Zofar menangis/ berduka adalah tampilan Ayub yang dipenuhi barah busuk seluruh tubuh sehingga tidak dapat dikenali dengan mudah.
2:13-14 Tindakan Elifas, Bildad dan Zofar yang menaburkan debu di kepala merupakan tanda bahwa mereka turut berduka secara mendalam.  Mereka tidak dapat lagi mengucapkan kata-kata penghiburan selain duduk bersama Ayub di tanah selama 7 (tujuh) hari 7 (tujuh) malam.

Renungan dan Penerapan
            Pada pasal 1 dan 2 saja kita dapat melihat bagaimana dengan iman Ayub siap meng-hadapi kenyataan pahit bahwa ia kehilangan segalanya, termasuk 10 (sepuluh) anak yang sa-ngat dikasihinya.  Kesiapan Ayub tampak pada ucapan:  "Dengan telanjang aku keluar dari kan-dungan ibuku, dengan telanjang juga aku akan kembali ke dalamnya. TUHAN yang memberi, TUHAN yang mengambil, terpujilah nama TUHAN!" (1:21).  Juga ketika Ayub berkata kepada isterinya:  “… Apakah kita mau menerima yang baik dari Allah, tetapi tidak mau menerima yang buruk?" (ay. 10).  Ayub ‘siap menerima yang buruk’ dari Allah sebagaimana ia siap menerima yang baik.  Lalu apa yang sebenarnya membuat Ayub berduka?
‘Siap menerima keadaan’ bukan berarti ‘dengan senang hati’.  Berdasarkan iman, ide-alnya kita harus ‘siap’ menerima apapun pemberian Allah.  Akan tetapi sebagai manusia, rasa kehilangan dan rindu, khususnya ketika ditinggalkan orang-orang yang sangat dikasihi, tentu ti-dak bisa diabaikan begitu saja.  Jadi, berduka karena merasa rindu atau kehilangan itu wajar selama kita dapat mengendalikan diri dari berbuat dosa (ay. 20 dan 1:22 = tidak menuduh Allah berbuat yang kurang patut).  Jadi, bukan karena kenyataan buruk inilah Ayub berduka melainkan lebih karena kebingungannya mengenai: mengapa hal-hal buruk dapat terjadi atas orang baik/ benar. 
Ayub tidak pernah tahu bahwa dirinya dijadikan ‘taruhan’ antara Allah dengan iblis; yang ia tahu hanyalah dirinya yang sudah berusaha hidup sebaik mungkin di mata Allah dan manusia tetapi malah tertimpa malapetaka.  Dalam hidup beriman, kita pun akan mengalami hal-hal buruk yang tidak hanya membuat kita merugi tetapi bingung: kesalahan/ dosa apa yang telah kita perbuat?  Dalam keadaan bingung maupun panik menghadapi kenyataan, kita sering-kali melakukan tindakan gegabah, seperti menuduh Allah berbuat yang kurang patut (1:22), mengambil keputusan yang salah, melanggar peraturan/ hukum, melampiaskan marah/ kece-wa/ frustasi melalui tindakan anarkis, dll.  Dari Ayub, kita belajar bahwa pengakuan iman ten-tang TUHAN yang memberi, TUHAN yang mengambil (1:21) maupun kita juga harus mau me-nerima yang buruk dari Allah sebagaimana kita menerima yang baik (ay. 10) adalah yang me-mampukan kita menghadapi kenyataan dalam keadaan bingung. 


Hal kedua yang tidak kalah memberatkan Ayub dalam menghadapi kenyataan buruk adalah hilangnya dukungan dari pasangan hidup, yaitu isteri, ketika isteri ternyata ‘tidak sei-man’ dengannya (= agamanya sama namun pengakuan, pemahaman dan tindakan imannya berbeda).    Sikap isteri Ayub ini benar-benar menjadi peringatan bagi kita untuk juga memper-hatikan kesiapan keluarga ketika kita hendak melayani Tuhan dengan lebih serius.  Kita yang beriman dan taat kepada Tuhan harus juga memperhatikan pertumbuhan iman orang-orang di sekitar karena iman mereka ternyata sangat penting dan cukup berpengaruh pada saat kita menghadapi kenyataan buruk.  Kenyataan akan terasa jauh lebih buruk jika kita mengadapinya sendiri tanpa topangan iman dari orang-orang terdekat, khususnya pasangan hidup.
Bukan dari isteri, Ayub mendapat dukungan melainkan dari sahabat-sahabatnya.  Apa yang dilakukan sahabat-sahabat Ayub ini mengilhami kita ketika hendak mendampingi orang yang sedang berduka.  Cara kita menghibur ataupun menguatkan orang berduka tidak selalu dengan membicarakan apa yang terjadi maupun memberi nasihat tentang apa yang harus dilakukan, sekalipun nasihat itu tepat.  Hanya dengan duduk bersama dalam diam di tempat di mana orang itu ‘terlalu lemah untuk beranjak’, itu cukup menguatkan.  Sekalipun nasihat yang kita sampaikan itu baik dan benar namun dalam keadaan seperti ini, orang belum tentu siap menerima malah dapat berprasangka buruk.  Tunggu saja sampai orang yang berduka itu siap untuk bicara.  Sambil menunggu, silahkan berdoa di dalam hati kepada Tuhan, mohon hikmat dan kekuatan untuk menjadi pendamping yang baik juga untuk menghadapi kenyataan buruk ini bersama. Amin





[1] Ensiklopedi Alkitab Masa Kini jilid 1: A-L, Jakarta: Yayasan Komunikasi Bina Kasih/ OMF, 1994, hlm. 8