Wednesday, October 21, 2009

BIARKAN ANAK PANAH ITU MELESAT JAUH

Oleh: Pdt I Nyoman Djepun, S.Th.
P e n g a n t a r
Mari memulai materi ini dengan menyimak tulisan Khalil Gibran (1883-19931) yang dikutip oleh Andar Ismail[1] untuk menggambarkan tentang kehidupan keluarga, peran orang tua dan anak untuk memenuhi kehendak Allah:
“Anakmu sebenarnya bukan milikmu.Mereka adalah anak Sang Hidup yang mendambakan hidup mereka sendiri.
Mereka memang datang melalui kamu, tetapi mereka bukanlah milikmu. Engkau bisa memberi kasih sayang, tapi engkau tidak bisa memberikan pendirianmu, sebab mereka memiliki pendirian sendiri.
Engkau dapat memberikan tempat pijak bagi raganya, tapi tidak untuk jiwanya, sebab jiwa mereka ada di masa depan yang tidak bisa engkau capai sekalipun dalam mimpi…
Engkau adalah busur dari mana bagai anak panah, kehidupan anakmu melesat ke masa depan.
Sang Pemanah maha tahu sasaran bidikan keabadian. Dia merentangmu dengan kekuasaan-Nya, hingga anak panah itu melesat, jauh serta cepat.
Meliuklah dengan sukacita dalam rentangan tangan Sang Pemanah, sebab Dia mengasihi anak panah yang melesat laksana kilat,
sebagaimana pula dikasihi-Nya busur yang mantap.”

Filsuf pendidikan berkebangsaan Libanon ini yang kemudian menetap di Amerika serikat, menganalogikan para orang tua sebagai busur panah, anak sebagai anak panah dan yang berperan sebagai Sang Pemanah adalah Tuhan. Jika kita sedikit mengubah analogi ini dengan menempatkan keluarga, anggota-anggotanya dan Tuhan, maka ungkapan di atas dapat juga dimengerti sebagai berikut: Keluarga adalah busur Panah yang memiliki tugas utama untuk merentang kencang, tertarik dengan mantap, sehingga darinya anak panah dapat melesat jauh laksana kilat. Anak panah adalah tiap anggota keluarga yang memiliki tugas khusus meluncur cepat menuju bidikan keabadian, mendarat dengan mulus dan tepat sasaran.
Di mana peran Tuhan? Dia-lah Sang Pemanah Agung. Arah dan sasaran bidikan tidak pernah tergantung pada busur panah, apalagi anak panah. Keduanya sama-sama dituntun dan diarahkan menuju sasaran, tujuan yang dikehendaki Sang Pemanah. Keluarga dipanggil menjadi wadah tempat tersiapnya kekuatan bagi anak-anak panah, yakni tiap anggota keluarga, meluncur ke arah yang tepat sesuai kehendak sang pemanah. Setiap anggota keluarga memiliki panggilannya masing-masing yang hanya akan berhasil. dalam setiap liukannya mencapai sasaran, jika keluarga menjadi busur yang mantap.

Keluarga Sebagai Suatu Persekutuan
Keluarga adalah suatu persekutuan terkecil dari orang percaya yang harusnya tumbuh sebagai keluarga Kristen. Pemberian label “kristen” di dalamnya, ingin menunjukkan bahwa persekutuan terkecil orang percaya ini memiliki perbedaan yang cukup signifikan dengan keluarga-keluarga yang sudah dan akan ada di dunia. Penyebutan isitilah keluarga ingin juga mempertegas bahwa pertumbuhan iman tidak menjadi milik pribadi apalagi tumbuh secara pribadi namun secara bersama dalam satu ikatan.
Perhatikanlah bahwa bertumbuh sebagai keluarga -tidak sekadar secara pribadi- amat ditekankan oleh Alkitab.[2] Sebagai contoh; Kej.18:19 menyatakan: “…Aku telah memilih dia, supaya diperintahkannya kepada anak-anaknya dan kepada keturunannya supaya tetap hidup menurut jalan yang ditunjukkan TUHAN, dengan melakukan kebenaran dan keadilan, dan supaya TUHAN memenuhi kepada Abraham apa yang dijanjikan-Nya kepadanya." Kepada seluruh keluarga Allah mengikat perjanjian-Nya dan bukan hanya kepada satu pribadi. Bukan hanya kepada Abrahan Allah menuntut ketaatan dan mengikat perjanjianNya, namun kepada seluruh keluarga dan keturunanya.

Dalam Yosus 24:15 bertumbuh dalam kehidupan keluarga sebagai suatu persekutuan semakin dipertegas. Yosus mewakili suara keluarganya menyatakan: ”…Tetapi aku dan seisi rumahku, kami akan beribadah kepada TUHAN!” Hal ini menunjuk pada respon balik suatu keluarga dimana Allah mengikat perjanjianNya. Sebagai suatu persekutuan keluarga, umat yang percaya kepadanya mengikat janji untuk taat kepada Allah. Perhatikanlah bahwa ungkapan janji itu tidak dimulai secara pribadi namun dalam keutuhan suatu keluarga. Dengan kata lain pengalaman iman orang percaya tidak hanya digumuli, dihayati, dan dinikmati secara pribadi, melainkan menjadi “makanan” bersama, pengalaman bersama, bagi segenap anggota keluarga. Keluarga Kristen membentuk tiap anggota keluarganya dalam iman yang bertumbuh bersama sebagai suatu persekutuan yang indah di hadapan Tuhan. Itulah sebabnya keluarga Kristen disebut sebagai persekutuan terkecil orang percaya.

Istilah persekutuan berasal dari bah. Yunani Koinwnia (koinonia) dan memiliki kesetaraan dengan kata dasar yang lain koinwnew (koinoneo) yang berarti mendapat bagian; ikut bertanggung jawab; membagi.[3] Dengan demikian, persekutuan bukan hanya berarti kumpulan sekutu, atau upaya mencari sekutu atau teman dalam suatu ikatan tertentu, namun persekutuan memiliki arti dan makna yang lebih dalam. Orang percaya yang terikat dalam suatu persekutuan, adalah kumpulan pribadi yang menjadi bagian dari pribadi yang lain; ikut bertanggung jawab terhadap keutuhan bersama dan eksistensi orang lain. Perhatikan contoh kongkrit dari arti persekutuan itu yang ditunjukkan oleh jemaat mula-mula di Yerusalem (Kis.2:44-47).
Bayangkanlah betapa dalam arti dan makna persekutuan itu. Apa yang dialami dan dirasakan oleh orang lain, harusnya pula dapat dirasakan dan dialami oleh orang lain. Bukan soal simpati, namun empati. Bukan soal “melihat” sepatu orang lain, tapi juga turut memakainya supaya jika sempit ia rasakan sakitnya, jika kelonggaran ia rasakan pula kesulitannya. Keluarga yang adalah persekutuan orang percaya adalah wadah yang tepat untuk membentuk karateristik ideal tiap anggotanya seperti karateristik di atas. keluarga menjadi tempat “tumbuh bersama” tiap-tiap anggotanya sebagai orang percaya untuk memenuhi panggilan mereka mencapai target dan tujuan yang telah dirancangkan Allah.

Bayangkanlah jika suatu keluarga kristen tidak tumbuh sebagai suatu persekutuan orang percaya! Semua pasti berjalan sendiri-sendiri tanpa ada saling menopang, saling mendukung, saling membangun dan mengokohkan. Bayangkanlah jika keluarga kristen seperti itu! Pastilah tidak menjadi busur yang sempurna, yang tidak mampu merentang mantap sehingga anak-anak panah tak dapat melesat jauh ke depan.


Persekutuan Yang Melayani
Secara spesifik setiap anggota keluarga memiliki panggilannya masing-masing. Panggilan dimaksud terbingkai dalam Panggilan Gereja secara umum yakni bersekutu, bersaksi dan melayani yang juga merupakan panggilan setiap keluarga Kristen. Seperti diuraikan di atas, keluarga kristen adalah persekutuan terkecil dari orang percaya. Persekutuan orang percaya disebut juga Gereja, sehingga keluarga kristen adalah gereja terkecil (mungkin dari segi jumlah).
Arti gereja yang sebenarnya merujuk pada istilah Yunani ekklhsia (ekklesia) yang berarti: sidang, jemaat atau kumpulan[4]. Dengan demikian gereja tidak menunjuk pada suatu gedung sehingga memberi kesan mati, tapi pada kumpulan orangnya sehingga memberi kesan hidup, dapat bertumbuh dan membangun. Berbicara soal kumpulan orang berarti berbicara tentang banyak orang dan bukan satu pribadi saja. Sehingga melayani dilakukan dalam keutuhan persekutuan (orang percaya yang bersekutu) untuk menjalankan panggilannya.

Secara etimologi, isitilah ekklhsia (ekklesia) berasal dari dua suku kata yakni ek yang berarti keluar dari; dan kalew (kaleo) yang berarti: menamai, memanggil. Sehingga ekklesia atau gereja dapat berarti mereka yang dipanggil keluar dari -kegelapan menuju pada terangNya yang ajaib (1Ptr.2:9). Panggilan yang dimaksud adalah untuk melayani dan bersaksi sebagai suatu persekutuan orang percaya atau biasa disebut dengan tri panggilan gereja: Bersekutu, bersaksi dan melayani. Persekutuan yang melayani adalah persekutuan yang melaksanakan serentak dua dari tiga panggilan itu. Sebab keluarga yang mengambil bagian sebagai persekutuan orang percaya dengan sendirinya juga telah bersekutu. Sehingga ketika ia melaksanakan tugas melayani, maka keluarga Kristen tersebut sedang bersekutu dan melayani.

Dalam bukunya, Andar Ismail menguraikan tentang begitu banyak kebingungan arti dari kata melayani[5]. Antara lain sebagai berikut: Seorang pemuda mendapat tugas dari gereja dan ketika ongkos jalannya akan diganti oleh bendahara jemaat, pemuda itu menjawab: “Tak usah, ini pelayanan.” Di sini melayani berati melakukan sesuatu secara sukarela. Ketika ada yang meminta sumbangan untuk pembangunan gedung gereja, orang mengangguk dan berkata: “kita perlu melayani mereka.” Disini melayani berarti memberi sumbangan. Ketika Panitia Retreat tidak bekerja dengan maksimal, orang berkata, “Maklumlah namanya juga pelayanan.” Oh, Pelayanan di sini berarti tidak usah berkualitas. Ketika rapat Majelis Jemaat orang diminta, “Jangan santai-santai, ini pelayanan,” maka pelayanan di sini berarti melakukan dengan kesungguhan. Pada masyarakat umum, kata melayani pun memiliki banyak arti. Pelayanan di restoran ini memuaskan. Di sini pelayanan berarti makanannya lezat, cepat dihidangkan dan ramah; Mulut usil tidak usah dilayani. Di sini layani berarti digubris; Sebulan sekali mobil perlu di-service (terjemahan langsung: dilayani). Di sini melayani berarti ganti oli. Dan masih banyak lagi.

Salah satu istilah Yunani yang berpadanan dengan kata pelayanan adalah diakonia (diakonia)[6] yang berasal dari kata diakoneo yang berarti menyediakan makanan di meja untuk majikan. Orang yang melakukan itu disebut diakonos (pelayan). Dalam Perjanjian Baru kita menemukan beberapa pemahaman dan arti yang baru dari diakoneo ini. Yesus dalam Luk.22:26,27 memberi makna yang dalam dari kata melayani, yakni yang dilakukan pada orang yang justru lebih rendah dari kita. Dalam 1Ptr.4:10 dikatakan: “Layanilah seorang akan yang lain, sesuai dengan karunia yang telah diperoleh tiap-tiap orang sebagai pengurus yang baik dari kasih karunia Allah.” Melayani di sini berarti memanfaatkan semua kharisma (karunia) untuk kepentingan dan kebaikan orang lain. Paulus lebih jauh menyatakan bahwa bahwa pekerjaannya adalah suatu pelayanan (diakonia) dan dirinya adalah diakonos (pelayan) bagi Kristus (2Kor.11:23) dan bagi umat Allah (Kol. 1:25).
Dari uraian diatas kita dapat menyimpulkan makna dari kata melayani, yakni suatu upaya untuk hidup tidak untuk diri dan kepentingan sendiri melainkan hidup untuk Tuhan dan orang lain. Rasanya sulit memang untuk meng-ejahwantakan tugas melayani ini dalam kehidupan persekutuan dan masyarakat. Tetapi Yesus bukan hanya memerintahkan untuk melayani namun juga memberikan contoh suatu pelayanan yang sesungguhnya. Tidak sedikitpun dalam Alkitab, Yesus digambarkan sebagai tokoh yang selalu minta dilayani bagaikan tuan. Namun justru sebaliknya gaya hidup Yesus selama 33 tahun di dunia ini adalah gaya hidup seorang pelayan bahkan seorang hamba. Hidup menghamba dan melayani dilakoniNya hingga Ia naik ke Sorga.

Melayani bukan hanya berarti memenuhi jadwal pelayanan di gereja, menjadi diaken, penatua, pendeta, panitia komisi atau pengurus BPK. Melayani bukan berarti menjadi orang sibuk yang mengurus ini dan itu di berbagai tempat. Melayani adalah kerinduan untuk siap mengosongkan diri dan menempatkan diri di tempat yang paling bawah dari kepentinganTuhan dan orang lain[7]. Keluarga adalah persekutuan orang percaya yang disebut gereja. Gereja adalah pengikut Kristus. Jika keluarga Kristen adalah pengikut Kristus maka orang yang berjalan di belakang Yesus adalah mereka yang rela untuk melayani dan menghamba. Mentalitas pelayan dan hamba sebagai gaya hidup Yesus haruslah menjadi mentalitas setiap keluarga Kristen. Jika tidak demikian maka keluarga Kristen bukanlah persekutuan orang percaya yang melayani, melainkan hanya mengenakan label tempelen merek sedangkan isinya tidak sesuai.

Anak Panah Itu Siap Melesat
Siapa sebenarnya anak panah itu? Semua anggota keluarga (suami, istri, ortu, anak-anak, oma, opa, cucu, cicit, dll) adalah anak panah dan keluarga sebagai suatu lembaga adalah busurnya. Busur yang mantap memungkinkan anak panah melesat dengan cepat jauh ke depan menuju sasaran yang tepat. Sudah pasti setiap tembakan akan menuju pada sasaran yang tepat, sebab bukankah Sang Pemanah adalah Tuhan yang tidak pernah meleset? Namun busur panah harus siap merentang dengan kuat dan bersama dengan anak panah tidak menolak untuk diarahkan dengan tepat.

Jika keluarga Kristen menjadi Persekutuan yang melayani, terbentuk dan terbingkai dari mentalitas melayani dan menghamba dalam ikatan kebersamaan tali Kasih yang erat, maka dengan sendirinya tiap anggota keluarga akan menjadi “seperti” Yesus. Tidak harus menjadi Yesus (tidak ada yang bisa), tapi jadilah seperti Yesus dengan mengikuti teladanNya. Jika ini terjadi, maka Sang Pemanah Agung akan berkata: “anak-anak panah ini siap untuk melesat…”


[1] Andar Ismail, Selamat Ribut Rukun. (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2003), hlm.116-117
[2] Eka Darmaputera: 365 Anak Tangga Menuju HIDUP berkemenangan, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2005), hlm. 519.
[3] Barclay M. Newman Jr., Kamus Yunani - Indonesia. (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2004), hlm. 94.
[4] I b i d, hlm 50
[5] Andar Ismail, Selamat Melayani Tuhan. (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2004), hlm. 1-2.
[6] Ada juga istilah yang lain dengan arti yang sama yakni douleo yang berarti menghamba; leitourgeo yang berarti bekerja untuk kepentingan umum; dan latreuo yang berarti bekerja untuk mendapatkan gaji.
[7] Andar Ismail. ibid,. Hlm.4.

Tuesday, October 20, 2009

MADU DALAM KATA

Anthony de Mello dalam bukunya doa sang katak menulis cerita ini: Inilah intrik sebuah jemaah Yahudi untuk mengetahui ketidakmunculan rabbinya setiap minggu pada malam sabat. Mereka menyangka bahwa Sang rabby sedang mengadakan pertemuan dengan Yang Mahakuasa secara sembunyi-sembunyi, sehingga mereka menugaskan salah seorang dari mereka untuk mengikutinya. Inilah yang dilihat petugas itu: sang rabby menyamar dengan pakaian petani dan melayani seorang wanita kafir yang lumpuh di rumahnya, membersihkan kamar dan menyiapkan makanan untuknya di hari sabat serta menemaninya bercakap-cakap hingga larut malam. Ketika mata-mata itu kembali, jemaah bertanya, "Ke mana rabbi pergi? Apakah dia naik ke surga?" "Tidak," jawab orang itu, "Ia pergi bahkan lebih tinggi!!

Dia menemaninya bercakap-cakap sampai jauh malam Pernyataan ini menyisahkan pertanyaan “apa yang mereka cakapkan?” Kalau dihubungkan dengan misi pelayanan, saya yakin isi percakapan itu biasa-biasa saja, namun hasilnya pasti memberi kekuatan, penghiburan dan sukacita bagi wanita yang bernasib malang itu. Wanita ini dapat mencicipi madu yang manis, menguatkan dan memberi kesegaran dari percakapn itu. Ternyata ada madu yang dapat dihasilkan dari perkataan, yakni hal-hal positif yang dimunculkannya. Perhatikan ay.8a bacaan kita: “jika karunia untuk menasihati, baiklah kita menasihati...”. menasehati berasal dari istilah Yunani paraklhsij (paraklesis) yang berarti memberikan kata penghiburan, pelipur lara; yang memberikan rasa nyaman.

Ternyata, menyampaikan kata-kata penghiburan bagi yang berduka, kata-kata pembangkit semangat bagi yang putus asa dan menderita adalah suatu karunia Tuhan untuk melayaniNya. Kamu bisa menjadi berkat Tuhan bagi sesama lewat tutur katamu yang baik, meneguhkan, dan manis bak madu itu.
Mari layani Tuhan dengan talenta dan karunia ini. Hasilkan madu dari perkataanmu untuk kebahagiaan sesamamu Ingat hasilkan MADU bukan RACUN. AMIN.




WALAU JATUH, GAK DIBIARKAN TERGELETAK KOK !


Dua tahun di tengah hutan, dengan frekuensi pelayanan yang padat berpindah-pindah melayani dua pos sekaligus, “Siloam” Tadoan dan “Bethesda” Tonda, membuat fisikku melemah dan daya tahan tubuh mulai rapuh. Rupanya nyamuk-nyamuk hutan kalimantan melihat peluang itu, darah segar pendeta muda dari kota pasti enak dan manis, apalagi gak doyan makan makanan pahit. Benar juga, saya diserang demam yang tinggi diikuti menggigil kuat seakan gempa bumi menggoyang rumah panggu pastori itu. Aku gak berani keluar dari hutan meninggalkan 2 pos pelkes itu karena sebentar lagi Natal tiba dan butuh persiapan. Akhirnya aku luluh juga karena tangisan istri mengiba memintaku berobat. Katanya, “Aku gak mau menjanda dan ditinggalin sendiri di hutan ini”

Tiba di Sangatta, langsung menuju Rumah Sakit. Hasil laboratorium postif bahwa saya mengidap malaria dan demam berdarah. Malarianya gak enteng, tapi yang paling sakti, malaria tropika. Dokter heran, ketika tahu bahwa sudah seminggu kondisi ini membungkus saya. Katanya: “Pak, terlambat sedikit, bapak gak akan tertolong. Mestinya sudah tidak tertolong lho pak, karena selain malaria Tropika, bapak juga mengidap demam berdarah. Penyakit ini hanya butuh 3-4 hari membunuh korbannya..” Saya terperangah, terimakasih Tuhan.

Saudara, ayat 23-24 Mazmur 37 saya kira adalah alasan kuat mengapa hingga saat ini saya masih bisa melayani Tuhan, walaupun butuh 1,5 tahun untuk tubuh saya terbebas dari Malaria Tropika ini setelah cukup lama mengalami sembuh-kambuh secara berulang. Perhatikan dua ayat ini. Bahwa orang yang berkenan kepadaNya tidak akan dibiarkan tergeletak jika jatuh. Apa artinya? Ternyata orang yang berkenan kepada Allah tidak pernah lepas dari pergumulan dan tantangan, bagaimanapun akan mengalami kejatuhan (musibah, persoalan hidup dll). Namun justru inilah janji indah itu, bahwa adaikan jatuh sekalipun, kita tidak akan dibiarkan hingga tergeletak. Saat ini apakah saudara sedang dalam keadaan “jatuh”, banjir persoalan hidup? Percayalah bahwa Dia, Tuhan kita, tetap setia. Dia tidak akan membiarkan saudara sendiri, apalagi hingga tergeletak.

Memang hidup kadang penuh liku dan “antukan batu”,, termasuk disaat melayani Tuhan sekalipun. Hari ini kita diajak untuk “lebih beriman” dan percaya bahwa Tangan TUHAN yang perkasa itu siap menopang. Walaupun jatuh, kita takkan dibiarkan hingga tergeletak, nantikan tangan TUHAN, jangan pernah meragukan kesigapanNya. AMIN

DI HUTANPUN, TUHAN ADA Lho….! Oleh: Pdt. I Nyoman Djepun Yosua 1:1-9


Dua minggu sebelum kebakaran pastori itu, ada peristiwa “kebetulan” yang terjadi, namun dikemudian hari aku menyebut hal yang “kebetulan” itu sebagai mujizat. Tidak ada penerangan listrik jika malam hari di Pos Pelkes waktu itu dan saya diajari cara sederhana membuat penerangan. Kaleng bekas susu kental manis di isi dengan solar (tidak ada minyak tanah di sana), kemudian secarik kain sejengkal panjangnya dan selebar ibu jari, di gulung memanjang hingga padat dan dibalut dengan seng plat tipis menyerupai sumbu kompor. Itulah yang disulap menjadi pelita. Bisa ditebak, tiap pagi saya dan istri yang waktu itu sedang hamil 3 bulan pasti saling olok dan tertawa melihat wajah kami di bagian hdung hitam pekat menyerupai kumis “Jojon” yang lucu.

Sore itu cadangan solar habis, tinggal ½ isi kaleng susu kental manis banyaknya. Logikaku jalan, itu berarti lewat tengah malam nanti, pelita kami akan padam dan pekatnya gulita menjadi tembok penjara di gelapnya malam nanti. Aku bingung mencari jalan keluar mengingat istriku butuh cahaya penuntun menuju “wc darurat” yang hampir tak tertutup keempat sisi itu, jika ia kebelet ke belakang. Tiba2 menjelang pukul 9 malam, istriku memberi usul “yang aneh”, katanya: “kan Tuhan yang nyuruh kita ke sini, minta dong ke Dia, sebotol solar aja, itu sudah cukup. Lagian kamu kan pendeta?” Aku membatin dalam hati “masa sih mesti minta ke Tuhan soal solar lagi…” Akhirnya di teras depan sambil memandang banyak bintang dilangit, aku bergumam sambil lalu: “Tuhan, bisa gak minta solar untuk malam ini, sebotol aja, pleaseee!!”
Tahukah saudara apa yang terjadi? Tidak lebih dari setengah jam, di balik lebatnya hutan, kami melihat setitik cahaya mendekat, cahaya pelita. Kira2 10 meter dari pastori kami mendengar suara wanita muda menyapa: “pendeta… oh pendeta, di rumah kah?” Suara itu kami kenal, Irus demikian gadis kampung itu sering dipanggil. “Ada apa, Rus?” tanya kami. Ini loh, bapak (papanya-red) nyuruh antar solar, tapi cuman 1 botol, katanya buat bapak pendeta”. Waw, kami terkejut, bener2 1 botol itu yang kami butuhkan, senangnya…! Sambil bercanda aku berbisik ke telinga istriku: “andai tadi aku minta 1 Drum ke Tuhan, hehhe pasti gak sebotol ini datangnya.

Saya ingat ayat 9 Yosua 1, bahwa tidak perlu takut, apalagi tawar hati. Sebab TUHAN menyertai kemanapun kita pergi. Ternyata di hutan Tadoan-pun TUHAN ikut juga dengan kami melayani. Karena itu, mari percaya, Dia ada dan selalu menyertai. Tetaplah maju sebab di hutan-pun TUHAN ada, lho… AMIN

ENGKAU PERLU DIBENTUK


Oleh: Pdt. I Nyoman Djepun
Yeremia 1:4-7

Pada tanggal 25 April 2004 saya diteguhkan sebagai pelayan Firman dan Sakramen GPIB. Seabrek rencana, sejuta angan dan segudang ide kini menari-nari di setiap jaringan saraf seakan siap meledakkan segenggam otakku menembus tengkorak kepala agar segera keluar menjadi “karya gemilang” di “ladang” pelayanan. semangat penuh gairah seorang “pendeta muda” yang kumiliki, membuatku tak sabar lagi menunggu hari untuk menginjakkan kaki di salah satu Pos Pelkes GPIB yang terletak di bagian Timur Kalimantan, Pelkes “Siloam” Tadoan.

Namun apa yang terjadi, semua semangat dan keberanian itu hilang, dan yang ada hanya kedinginan yang membeku ketika saya tiba di lokasi pelayanan. Mengapa tidak? Di tempat kakiku berpijak saat itu hanya ada rimba basah Tadoan, sekumpulan babi hutan dan gelap-gulita tanpa listrik, sepi dan sunyi. Warga Jemaat “hutan” yang 75% tidak kenal huruf itulah yang kini bersamaku. Dengan penuh kecewa batinku meronta, sambil bertanya: “Mengapa di sini Tuhan? Mengapa harus aku? Untuk apa ijasahku dan prestasiku?”. Jangankan mengerti FirmanMU, membaca Alkitab-pun mereka tak mampu. Demikian kesombonganku terus maju dengan angkuhnya.
Dan 3 minggu kemudian, di saat di tengah hutan bersama jemaat untuk menanam padi di ladang, tiba-tiba pastori mungil 4x5 meter itu terbakar. Semuanya lenyap, tidak ada lagi ijazah TK s/d Sarjana, hilang sudah 270-an judul buku2 teologi sbg sumber ilmu, toga baru yang dibanggakan dan tentunya harta benda dari kota. Yang ada hanya sebuah tanya mencari jawab: “mengapa Tuhan?”

Inilah jawaban Tuhan: “Engkau perlu dibentuk, karena Aku mengenalmu dari kandungan ibumu; agar engkau dikhususkan untuk melaksanakan penetapanKu” (bd.ay.5). Saudara, setiap kita perlu dibentuk sesuai kehendak Tuhan agar dapat dengan sempurna melaksanakan panggilanNya. Dibentuk itu tidak enak, pasti sakit dan tidak menyenangkan. Jika saat ini di jalan hidupmu, engkau alami persoalan, tantangan dan “kerikil tajam” barangkali engkau sedang dibentuk. Jangan pernah kecewa, sebab sebagaimana tanah liat di tangan penjunan perlu dibanting, diremas dan dibakar agar terbentuk menjadi bejana indah, demikian pula hidup kita di tangan Allah agar sempurna menjadi Maha KaryaNya.

Masa muda adalah masa mencari identitas diri, sekaligus masa rawan sebagai penentu mau jadi apa engkau nantinya. Akan mudah untuk ditemukan jika bersama Tuhan. Karena itu bersedialah untuk dibentuk Tuhan, sebab kita belum selesai “dicipta” dan masih perlu dibentuk olehNya. Amin