Thursday, October 18, 2018

MATIUS 5:1-12 CARA MEMPEROLEH KEBAHAGIAAN


Bahan Khotbah Ibadah Minggu
28 OKTOBER 2018

PENGANTAR
Siapa yang tidak ingin bahagia? Setiap orang pasti mengejar kebahagiaan hidup. Sehingga pertanyaan penting untuk segera menemukan jawababn adalah “bagaimana supaya beroleh bahagia itu?” Bacaan kita saat ini adalah jawaban dari pertanyaan tersebut. Ucapan bahagia yang disampaikan oleh Tuhan Yesus merupakan rangkaian dari keseluruhan Khotbah di Bukit yakni khotbah yang disampaikan Yesus berupa pengajaranNya tentang kehidupan beriman, yakni mulai pasal 5 hingga pasal 7.

Istilah berbahagia dalam kosata kata Yunani memiki arti yang sama dengan bahasa Ibrani. Secara leterer, “berbahagia” berasal dari bahasa Yunani μακάριος (makarios) yang memiliki dua arti yakni “berbahagia” dan “diberkati”. Hal ini memiliki indikasi yang cukup kuat bahwa “berbahagia” memiliki keeratan hubungan dengan “diberkati”. Seseorang, dalam pemahaman Kristen, hanya disebut berbahagia jika ia diberkati oleh Tuhan. Dengan kata lain, pertanyaan pentingnya bukan pada “bagaimana supaya bisa berbahagia” melainkan “bagaimana caranya menjadi pribadi yang diberkati supaya berbahagia?” inilah isi dari Ucapan Bahagia yang dikhotbahkan Yesus di atas sebuah bukit.
 


PENJELASAN TEKS
Pada umumnya, orang berpendapat bahwa untuk bisa berbahagia, maka harus memperoleh ini dan itu dalam kehidupan ini. Sehingga, orang bisa berkata setelah menikah memiliki pasangan hidup (suami atau istri) pastilah akan berbahagia: jika sudah punya mobil atau rumah pasti akan berbahagia; memiliki anak adalah sumber bahagia dll. Jika berpikir bahwa kebahagiaan itu identik dengan memiliki ini dan itu, maka pernyataan ini perlu diragukan. Sebab, apakah setelah menikah, pasangan itu benar-benar mengalamii kebahagian? Apakah ketika beroleh anak mereka mengalami kehidupan bahagia yang sejati? Rasanya tidak mungkin. Sebab banyak orang pula ketika memperoleh sesuatu tidak menjamin dirinya berbahagia, bahkan sebaliknya memiliki kesusahan hidup juga.

Jika demikian, bagaimana caranya agar berbahagia? Jawababnnya hanya satu, yakni jadilah pribadi yang diberkati. Pertanyaan selanjutnya adalah: bagaimana agar menjadi orang yang diberkati oleh Tuhan? 12 ayat yang kita baca saat ini memberikan jawaban yang menarik, yakni:
1.      Bukan soal memiliki ini dan itu
Perhatikan keseluruhan perikop ini yakni mulai dari ayat 3-12 bacaan kita. Ada yang menarik di sana! Yesus menyebut kategori orang yang disebut berbahagialah, yakni: orang yang miskin di hadapan Allah, orang yang berdukacita, orang yang lemah lembut, lapar dan haus akan kebenaran, orang yang murah hati, suci hatinya, pembawa damai, dan dianiaya oleh sebab kebenaran. Mereka yang dalam kategori inilah yang disebut berbahagia.

Dalam tradisi Yahudi, seorang yang akan melayani sebagai pemimpin ibadah, pujian atau doa, akan menghadap Allah dan berkata pada awal doa dengan konfigurasi kalimat: הִנְנִי הֶעָנִי מִמַּעַשׂ (Hineni He'ani Mima'as), artinya: Ini aku, seorang miskin yang melayani (ingin melakukan suatu perbuatan baik). Makna dari pernyataan itu bagi seorang pemimpin ibadah di hadapan Tuhan berarti: “aku tidak layak di hadapanMu, aku pendosa, aku tidak layal mendapatkan apa-apa dari padaMu termasuk mendapatkan pengampunanMu. Dari pengertian di atas, maka jelaslah bahwa kalimat miskin di hadapan Allah berbicara soal kerendahan hati di ahadapan Allah dengan cara meninggikan Tuhan. Ia memberikan tahta hatinya untuk Tuhan yang bersemayam.

Selanjutnya orang yang berdukacita berarti orang yang kehilangan sesuatu entah sanak famili ataupun benda; sedangkan orang yang lemah lembut berarti orang yang memberikan kelembutan kepada orang lain; sedangkan orang yang lapar dan haus akan kebenaran itu berrati mereka yang membuang segala kejahatan dan keinginan daging lalu mencari kebenaran.

Jika memperhatikan teks ini dan secara khusus kita melihat pola ucapan bahagia ini, maka kita simpulkan bahwa orang-orang yang disebut sebagai orang yang berbahagia, adalah mereka yang rela memberikan atau melepaskan sesuatu kepada si penerima. Memberikan atau melepaskan kelembutan bagi orang lain, membiarkan tahta hati diduduki oleh Allah, melepaskan kejahatan dalam diri, membawa atau membagi damai bagi orang lain, rela berkorban demi kebenaran. Maka kita dapat menyimpulkan bahwa untuk diberkati dan selanjutnya menjadi pribadi berbahagia, hal itu bukan soal menerima  atau memiliki ini dan itu. Justru sebaliknya, orang yang berbahagia adalah orang yang memberi dan melepaskan ini dan itu. Ini bukan soal menggenggam sesuatu, tetapi soal melepaskan sesuatu; ini juga bukan soal mempertahankan sesuatu, melainkan membuka tangan untuk membiarkan sesuatu lepas dari genggaman. Dengan kata lain, kebahagiaan tidak diukur dari seberapa banyak kita semiliki ini dan itu, melainkan seberapa rela kita melepaskan ini dan itu.

2.      Lepaskan sesuatu untuk Allah dan sesama
Kepada siapakah kita melepaskan satau memberikan sesuatu itu agar disebut bahagia? Ada dua tujuan penerima, yakni kepada Allah (misalnya, ay.1, ay.6, ay.8, ay.10-12), selanjutnya kepada manusia (misalnya: ay.4, ay.5, ay.7, ay.9). Orang yang diberkati adalah orang yang bersedia melakukan sesuatu untuk Allah, memberi dan melepaskan sesuatu untuk kemuliaanNya; hal yang sama juga ditujukan kepada sesama. Mereka yang juga disebut berbahagia, adalah mererka yang rela melakukan sesuatu untuk orang lain, melepaskan dan mengorbankan apapun demi kebahagiaan orang lain. Mereka yang seperti inilah yang terkategori sebagai orang yang diberkati dan kemudian berbahagia.

3.      Bahagia itu bagai kupu-kupu
Pernahkan kita mengejar kupu-kupu di sebuah taman? Apa yang terjadi? Pasti sangat sulit ditangkap. Semakin dikejar, kupu2 akan semakin jauh terbang meninggalkan kita. Tetapi coba sebalikanya, kita duduk diam di sekitar taman itu, tiba2 ada kupu-kupu yang terbang melintas di dekat kita dan bahkan hinggap di sekitar tubuh kita. Selanjutnya, silakan coba diam sambil memegang setangkai bunga yang harum, jangan terkejut, pasti kupu-kupu akan datang hinggap secara dekat.

Demikian juga kebahagiaan. Semakin kita mengejarnya untuk mendapatkannya, maka ia semakin jauh. Cobalah justru melepaskan aroma harum bunga, lalu saksikanlah! Cobalah untuk melepaskan kebahagiaan bagi orang lain, membawa damai bagi mereka, atau bermurah hati untuk mereka. Jangan lupa pula untuk menjadi bukan siapa-siapa di ahadap Tuhan dalam kerendahan dan tunduk padanya, bersedia mengerjakan kebenaran dan bahkan rela untuk menderita karena kebenaran itu.... wow engkau akan melihat dan merasakan kebahagiaan karena engkau adalah pribadi yang diberkati.

APLIKASI DAN RELEVANSI





Wednesday, October 17, 2018

ULANGAN 30:15-20 == PILIHLAH KEHIDUPAN !!!


Bahan Bacaan Alkitab Ibadah Rumah Tangga
Rabu, 24 OKTOBER 2018


PENGANTAR
Mengapa kitab Musa yang kelima ini disebut dengan kitab Ulangan? Nama asli Ibrani dari kitab ini  adalah ‘elleh haddebarim yang berarti “Inilah perkataan-perkataan” atau, lebih sederhana: “debarim” (perkataan-perkataan; lih. 1:1). Selanjutnya ketika lima kitab Musa ini diterjemahkan ke dalam bahasa Yunani, kelima kitab ini kemudian disebut dengan istilah Septuaginta.

Dalam kitab Septuaginta atau biasa disimbolkan dengan LXX, kitab ini disebut dengan istilah to deuteronomion touto yang berarti “pemberian hukum yang kedua ini” yang diambil dari Ulangan 17:18. Penggunaan istilah “pemberian hukum yang kedua ini” didasari bahwa isi dari kitab ini adalah “Pengulangan” dari hukum2 yang sudah disampaikan Musa sebelumnya. Itulah sebabnya nama kitab Musa yang kelima ini dalam terjemahan Indonesia disebut sebagai Kitab Ulangan.

Kitab Ulangan berisi tentang pidato Musa ketika bangsa Israel sedang berada di wilayah Moab, di daerah di mana Sungai Yordan mengalir ke Laut Mati (1:5). Sebagai tindakan akhir melimpahkan kepemimpinannya kepada Yosua, ia memberikan kata-kata perpisahannya yang begitu emosional kepada bangsa Israel untuk mempersiapkan mereka masuk ke Kanaan. Penekanan rohani kitab ini adalah panggilan untuk berkomitmen total kepada Allah dalam ibadah dan ketaatan.


TELAAH PERIKOP
Bacaan kita saat ini berisi tentang khotbah perpisahan Musa ketika Israel siap memasuki Kanaan. Pokok utama yang dibicarakan adalah bagaimana kehidupan mereka ketika nanti TUHAN memenuhi janji tersebut yakni menikmati tanah perjanjian yang berlimpah susu dan madu. Ada dua pilihan yang disodorkan oleh Musa, yakni kehidupan dan kematian serta konsekuensinya. Terdapat beberapa penekanan khusus yang disampaikan Musa, yakni:

1.      Pilihan yang benar yakni kehidupan (ay.15-16)
Pada ayat 15, Musa menghadapkan dua kelompok pilihan, yang pertama adalah kehidupan dan keberuntungan; selanjutnya yang kedua adalah kematian dan kecelakaan. Mari memeriksa dua kelompok ini:

Istilah “Kehidupan” dari bahasa Ibrani  חַי (khah'-ee) yang berarti hidup, hijau dan segar. Hal ini berarti menunjuk pada suasana kehidupan yang penuh dengan kebahagiaan. Hijau dan segar adalah ciri simbolik dari adanya kehidupan. Selanjutnya “Keberuntungan” yang berasal dari kata benda Ibrani טוֹב (tobe) yang berarti menyenangkan, baik. Kata ini juga berhubungan dengan kemakmuran dan kesejahteraan. Dengan kata lain istilah ”keberuntungan” yang diterjemahkan LAI lebih tepat dimaknai sebagai menyenangkan, kemakmuran atau kesejahteraan.

Selanjutnya istilah “kematian” dari bahasa Ibrani מָוֶת (maveth) yang berarti kematian, tiada kehidupan dan kehampaan dalam kekelaman. Istilah ini menunjuk pada “ketiadaan”. Jika ada orang hidup dalam kondisi “mayeth” itu sama dengan ia hidup tanpa kehidupan. Silakan bayangkan. Selanjutnya istyilah “kecelakaan” רַע (rah) yang berarti tidak berkualitas baik atau setara dengan buruk, tidak menyenangkan dan atau juga bermakna sakit. Itulah sebabnya LAI menerjemahkan dengan kecelakaan oleh karena berhubungan dengan situasi hidup yang malang dan buruk adanya.

Sudah pasti orang akan cenderung memilih kelompok yang kedua yakni kehidupan dan keberuntungan atau situasi hidup yang “segar dan hijau” penuh dengan kemakmuran, kesenangan dan kemakmuran. Tetapi untuk dapat menikmati itu semua di tanah Kanaan, maka Israel harus melakukan hal yang penting, yakni “mengasihi TUHAN, Allahmu, hidup menurut jalan yang ditunjukkanNya dan berpegang pada perintah dan ketetapanNya, supaya engkau diberkati” (ay.16). Hal ini bermakna: tidak ada kehidupan yang makmur dan menyenangkan jika tidak memiliki ketaatan kepada TUHAN, Allah Israel. Tanpa ketaatan, maka tidak ada berkat. Tanpa berkat maka jangan pernah bermimpi menjalani hidup secara menyenagkan, sejahtera dengan seluruh keadaan baik. 

2.      Pilihan yang salah yakni kebinasaan (ay.17-18)
Berlawanan dengan poin pertama, Musa menyebut apabila mereka tidak taat kepada Tuhan (ay.17) maka kebinasaan adalah imbalannya. Perhatikanlah bunyi redaksi ayat 17 bacaan kita. Bahwa ketidaktaatan dimaksud bukan saja karena kemauan sendiri tetapi juga atas bujuk rayu dan pengaruh orang lain sehingga menjadikan mereka tidak taat, itupun tetap diganjar dengan kebinasaan. Dengan kata lain, tidak ada “kelonggaran” apapun dan juga karena alasan “karena terpengaru” dan “karena disesatkan” maka akan terdapat pengecualian dari TUHAN, Allah Israel. Siapa yang sesat oleh karena kemauan sendiri amupun disesatkan orang lain maka hukumannya tetap sama yakni kebinasaan.

Peringatan tegas ini diberikan Musa kepada umat. Sebab walaupu mereka memasuki tanah yang berlimbah susu dan madu sekalipun, tetapi jika tidak taat kepada Allah maka yang mereka temui adalah ketiadaan (lihat uraian poin 1) dan juga kecelakaan. Silakan bayangkan mengalami sengsara hidup di tanah yang berlimpah susu dan madu.

3.      Bukan hanya memebri pilihan tapi mendorong untuk memilih pilihan yang tepat (ay.19-20)
Setelah menguraikan panjang lebar tentang dua pilihan itu dan menjelaskan konsekuensi logis dari apa yang akan terjadi kemudian, Musa selanjutnya menyimpulkan bahwa yang ia bicarakan adalah persoalan berkat dan kutuk. Selanjutnya sebagai pemimpin umat ia mendorong mereka untuk membuat pilihan yang tepat. Pilihan yang dimaksud adalah memilih kehidupan atau berkat dan bukan memilih kematian atau kutuk. Mengapa perlu memilih berkat? Sebab demikianlah nanti umat Israel dan keturunannya diberkati dan hidup baik di negeri yang telah dijanjikan TUHAN, Allah Israel (ay.19).

Bagi Musa, TUHAN tidak akan ingkar janji. Ia pasti menggenapi janji yang ia berikan kepada Abraham, Ishak dan Yakub yang adalah nenek moyang umat Israel ini. Namun perlu dipertegas dan mereka harus mengingatnya, bahwa janji itu hanya akan digenapi kepada mereka jika mereka hidup dalam ketaatan (ay.20). tanpa ketaatan, tidak akan menikmati penggenapan janji Tuhan.

REFLEKSI FRIMAN
Hidup di masa-masa akhir ini kita dihadapkan pada ujian dan tantangan yang semakin berat. Iblis dengan segala tipu dayanya semakin meningkatkan intensitas kinerjanya, "...berjalan keliling sama seperti singa yang mengaum-aum dan mencari orang yang dapat ditelannya." (1 Petrus 5:8) dengan menawarkan segala kenyamanan dan kenikmatan duniawi. Karena itu Tuhan menuntut sebuah ketegasan dalam diri setiap orang percaya untuk membuat pilihan hidup yang benar.

Di hadapan kita ada dua pilihan yang sangat kontradiktif: kehidupan dan kematian, berkat dan kutuk, keberhasilan dan kegagalan. Mana yang Saudara pilih? Kita tidak dapat berdiri di tengah-tengah, bersikap kompromi, suam-suam kuku, tidak ada istilah fifty-fifty. Tuhan yang kita sembah adalah Tuhan yang baik dan berlimpah kasih, karena itu Ia tidak menginginkan anak-anak-Nya mengalami kematian, melainkan kehidupan dan keberhasilan. Tuhan mau kita memilih kehidupan yaitu dengan mengasihi Dia, beribadah kepada-Nya dan taat melakukan kehendak-Nya.[1]

Kiranya kita dimampukan untuk tetap setia melakukan dengan penuh kesungguhan kehedak dan ketetapn Allah itu sehingga berkat menjadi bagian hidup kita. Amin.


[1] Paragraf ini diambil dari Renungan Harian Air Hidup, edisi 29 Desember 2015

Monday, October 15, 2018

KEJADIAN 13:1-13 = MENYELESAIKAN MASALAH DENGAN BIJAK



Bahan Bacaan Alkitab Hari Minggu
21 OKTOBER 2018

PENGANTAR
Peristiwa ini terjadi ketika Abram pergi bersama dengan keluarganya, termasuk Lot menuju ke tempat yang diperintahkan TUHAN, Allahnya (12:1-8). Waktu kelaparan terjadi, ia dan rombongannya singgah ke Mesir (12:10-20) dan kemudiaan melanjutkan perjalanan menuju ke Negeb (13:1), lalu kemudian ia sampai bersama rombongan di dekat Betel yakni tepatnya diantara Betel dan Ai (ay.3). Di tempat inilah bacaan kita. Beberapa hal terjadi saat ini terutama konflik antara pekerja-pekerja dari Lot dan Abram. Bagaimana mereka menyelesaikanya? Dan apakah yang dilakukan oleh Abraham? Mari perhatikan uraian berikut ini.

TELAAH PERIKOP
Terdapat beberapa pokok penting yang menjadi penekanan dalam bacaan kita pada hari ini, yakni:
1.      Awal konflik antara Abram dan Lot (ay.1-7)
Sebagaimana disebutkan pada ay.1, Lot ikut bersama dengan Abram ketika Abram dipanggil oleh TUHAN menuju ke tanah yang di janjikan. Lot dalam Ibrani: לוֹט – LOT) artinya: tutup/ tabir), adalah anak laki-laki Haran. Dan Haran adalah adik Abraham yg paling muda. Sehingga Lot adalah kemenakan Abraham. Ternyata daerah tempat mereka berhenti itu tidak mampu menampung kekayaan mereka berdua (ay.6), secara khusus berhubungan dengan banyaknya ternak yang dimiliki oleh Abram dan Lot. Dampaknya adalah perselisihan.

Perselisihan yang dimaksud adalah perselisihan antara para gembala Abram dan gembala Lot. Bagaimanapun juga ini merupakan perselisihan kedua mereka walaupun terlihat tidak langsung. Kebutuhan untuk lahan dan jumlah pakan ternak dan kebutuhan menggembalakan ternak yang besar itu, sangat mungkin menjadi inti persoalan. Masalah wilayah yang sempit ini semakin besar persoalannya karena lahan dan tempat itu tidak hanya dipakai oleh mereka berdua tetapi juga oleh orang Kanaan dan orang Feris (ay.7).

2.      Apa yang dilakukan oleh Abram (ay.8-10)
Menyikapi konisi yang tidak nyaman itu, Abram kemudian segera bertindak untuk menengahi masalah tersebut. Ayat 8-9, menunjukkan siapa sesungguhnya Abram berdasarkan cara ia menyelesaikan masalah, yakni:

  1. Abram cepat tanggap
Abram berkata kepada Lot: “Janganlah kiranya ada perkelahian antara aku dan engkau….” (ay.8). Abram tahu bahwa perselisihan antara gembala-gembala mereka berpotensi pada perselisihan atau konflik antar mereka. Itu berarti hubungan antar keluarga akan rusak. Abram cepat tanggap dan menghentikan potensi kinnflik tersebut dengan cara memanggil Lot untuk menyelesaikan ini dengan cara kekeluargaan dan bijak.

Logika sederhana adalah Lot hanya “ngekor” kepada Abram. Seharusnya Lot yang mesti disalahkan. Langkah tepat dan instan untuk menyelesaikan masalah adalah mengusir Lot yang terseksan menjadi “masalah” dan “beban”. Tetapi hal itu tidak dilakukan oleh Abram. Ia justru bukanmelihat masalah kekurangan dan kerugian; sebaliknya Abram justru melihat masalah utama adalah “terancamnya” hubungan keluarga. Luar biasa, bukan?

  1. Abram mengalah untuk Lot
Hal yang menarik terjadi di ayat 9 bacaan kita. Abram memberikan kesempatan pertama bagi Lot untuk membuat pilihan lokasi dan tempat yang ia inginkan. Bukankah ini hal yang aneh? Seharusnya Abram-lah yang berhak membuat pilihan pertama, bukan saja karena ia adalah orangtua (paman) dari Lot, tetapi juga karena Lot hanya “menumpang” di perjalanan Abram memenuhi panggilan TUHAN.
Apa yang terjadi selanjutnya? Dapat dengan mudah kita menduga, yakni Lot memilih daerah yang terbaik. Lot memilih daerah yang subur yakni wilayah lembah Yordan (ay.10,11); sedangkan Abram kebagian daerah yang tidak subur yakni menetap di tanah Kanaan (ay.12). Dikemudian hari kita menemukan bahwa tanah pilihan Lot adalah pilihan keliru. Sebab tanah itu didiami oleh orang Sodom (ay.13) yang sangat berdosa lalu kemudian dimusnakan oleh Tuhan (bd. Kejadian 19:1-29.)


RELEVANSI DAN APLIKASI
Sayang sekali bahwa bacaan kita hanya berhenti di ayat 13. Padahal puncak cerita ada apada ayat 14-18, yakni ketika Tuhan sendiri menemui Abram pasca membuat pilihan tersebut dan menjanjikan bahwa Tanah yang ia pilih adalah tanah yang dijanjikan yakni tanah yang diberkati (ay.14). Dengan kata lain, tanah yang dipilih Abram untuk menumpang tinggal adalah tanah yang kelak menjadi hak miliknya secara penuh sebagai pemberian dari Allah. Dari kisah ini kita beberapa hal:

a.      Hindarilah konflik
Inilah yang dilakukan oleh Abram. Ia tidak terprofokasi pada situasi konfil para gembalanya, ia justru melihatnya sebagaimana masalah untuk segera menyelesaikannya. Konflik sedikitnya membutuhkan dua orang atau dua pihak. Jika salah satu pihak tidak bereaksi, maka tidak akan terjadi perseturuan.

Kita diajak untuk belajar pada Abram dan bagaimana ia mampu melakukan pilihan yang tepat ketika potensi konflik terjadi. Ia memilih cara damai, cara yang sangat elegan yakni berkomunikasi dengan pihak lain untuk menyelesaikannya. Daripada meruncingkan masalah, mari berupaya untuk menyelesaikan masalah.
  
b.      Mengalah bukan berarti kalah, buatlah pilihan.
Untuk menghindari perkelahian, Abram segera memutuskan mereka harus berpisah dan ia meminta Lot memilih. Lot memilih lembah Yordan yang terlihat sangat baik (Kej. 13:10-11). Abram pun mengalah dan menetap di tanah bagian lainnya, di Kanaan. Apa akibat dari pilihan Lot? Pada akhirnya tempat yang dipilih oleh Lot itu, dimusnahkan oleh Tuhan, yaitu Sodom dan Gomora. Sementara Abram? Secara kasat mata hanya mendapatkan tanah sisa dan terlihat tidak sebaik lembah Yordan yang banyak airnya, tetapi Abram rela untuk mengalah dan menjauhi pertengkaran.

Kita melihat bahwa justru Tuhan memberikan yang terbaik bagi Abram (Kej. 13:14, 15). Pelajaran apa yang kita dapatkan dari kisah Lot dan Abram sehubungan dengan pengambilan keputusan/pilihan? Jangan pernah mengambil keputusan hanya berdasarkan apa yang dilihat oleh mata dan diinginkan hati (ay. 10), tetapi ambillah pilihan setelah kita benar-benar bergumul di hadapan Tuhan, “Siapakah orang yang takut akan TUHAN? Kepadanya TUHAN menunjukkan jalan yang harus dipilihnya” (Maz. 25:12).

c.       Yang buruk terlihat belum tentu tidak baik
Akibat Abram mengalah demi tiadak ada perseturuan dengan Lot, ia mendapatkan tanah yang kurang baik dibanding Lot. Tapi benarkah demikian? Ternyata tidak. Yang terlihat kurang baik di mata manusia, Tuhan bisa mengubah tanah gersang Kanaan menjadi berlimpah susu dan madu.

Ada konsekuensi ketika kita membuat pilihan yang benar sekalipun, seperti Abram memilih mengalah. Tapi orang yang melakukan kebenaran tidak pernah diabaikan Tuhan. Abram adalah buktinya. Kiranya kita mampu untuk tetap memilih berbuat baik, walau kelihatannya tidak mengutungkan. Sebab TUHAN, Allah mampu mengubah yang buruk sekalipun menjadi yang terbaik.
------------------

Friday, October 12, 2018

2 Korintus 8:10-15 MEMBERI DENGAN RELA DAN SUKACITA


Bahan Khotbah Ibadah Keluarga
Rabu, 18 OKTOBER 2018

PENDAHULUAN
Surat dan pernyataan tegas ini ditulis Rasul Paulus kepada Jemaat di Korintus, disebabkan cara pandang yang keliru jemaat ini mengenai pemberian sukarela sebagai bentuk persembahan kepada Tuhan melalui bantuan kepada Jemaat Yerusalem yang sedang mengalami Kesulitan. Paulus menangkap bahwa jemaat Korintus terlalu melakukan “perhitungan” untung rugi ketika akan memberikan persembahan tersebut. Sudah sekian kali mereka berjanji untuk memberikan, namun cukup lama ditunggu Paulus, pemberian tersebut tidak kunjung di realisasikan. Korintus menjanjikan untuk melaksanakan pemberian bantuan tersebut, yang oleh Paulus di sebut sebagai Perembahan Syukur, namun janji ini tidak pernah ditepati (bd. 2Kor.8:11; 9:5).


TELAAH PERIKOP
Justru karena kondis Korntuslah, maka Paulus menguraikan beberapa prinsip memberikan bantuan melalui persembahan sebagai ekspresi iman dan kasih kepada Allah serta sesama. Beberapa prinsip dimaksud adalah sebaga berikut:  

       1.       Jangan Menunda (ay.10-11)
Menurut beberapa catatan, jemaat Yerusalem mengalami bencana kemanusiaan karena muzibah banjir. Banyak orang termasuk umat Kristen di sana mengalami kesusahan akibat muzibah itu. Paulus kemudian bereaksi untuk menjadi kolektan dalam rangkan mengumpulkan klekte jemaat-jemaat diberbagai tempat. Respon positif ia peroleh dari beberapa gereja saat itu. Makedonia jemaat kecil yang kesusahan dan penuh penderitaan segera mengirimkan bantuan (ay.1,2). Mereka adalah jemaat miskin, namun justru kaya dalam memberi dan menopang Yerusalem yang kesusahan (ay.3-5).

Di sisi yang lain, Korintus tergolong jemaat kaya raya. Merekapun segera merspon dan berjanji kepada Paulus untuk memberikan bantuan. Tetapi, hingga 1 (satu) tahun dari janji itu, jemaat Korintus belum merealisaikannya (ay.10). Itulah sebabnya, Paulus mendesak mereka agar segera merealisasikan program bantuan itu kepada jemaat Yerusalem. Satu tahun penundaan adalah waktu yang tidak pendek. Yerusalem telah diabaikan Korintus selama satu tahun pasca bencana. Silakan bayangkan kondisi ini.

Mengapa itu terjadi, ada alasan apa  Korintus hingga tega melakukannya? Tidak ada penjelasan dalam teks kita! Namun jika memperhatikan ayat 11, kita menemukan sedikitnya dua alasan, yakni: Pertama, mentalitas menunda. Paulus berkata di ayat 11: “Maka sekarang, selesaikan jugalah pelaksanaannya itu!” Pemberian tanda baca “seru” sangat tepat dilakukan oleh LAI mewakili nada kecewa di hati Paulus sekaligus perintah tegas. Mereka bukan tidak memiliki dana, tetapi “sengaja” menunda dan atau tidak memiliki kepekaan bahwa hal itu sangat urgen sehingga tidak merasa bersala jika menundanya.

Sangat mungkin, warga jemaat Yerusalem,yang sedang menederita itu, menjadi semangat ketika –barangkali- berita baik tentang Korintus yang akan memberi bantuan, sudah mereka dengar dari Paulus sejak setahun lalu. Silakan bayangkan menanti janji dan sangat berharap pada pemberian itu, namun justru hingga setahun Korintus buta hati dan tanpa peduli menundanya.

Kedua, mentalitas menggenggam tangan. Paulus melanjutkan perkataannya di ayat 11: “Hendaklah pelaksanaanya sepadan dengan kerelaanmu…”. Kerelaan yang dimaksud adalah “janji untuk memberi bantuan”, namun ternyata tidak sepadan dengan pelaksanaannya, yakni tidak dilaksanakan. Dengan kata lain “tangan terlalu kuat menggenggam pemberian” karena tidak rela untuk memberi. Istilah lain untuk hal ini adalah pelit.

Sejak awal sudah disebutkan bahwa jemaat Korintus terkategori sebagai jemaat yang kaya, sehingga alasan tidak memiliki dana untuk membantu, adalah alasan yang tidak mungkin. Mereka justru memiliki kekuatan finansial yang jauh lebih baik dari Makedonia, yang oleh Paulus disebut jemaat miskin tetapi kaya dalam memberi (bd. Ay.1-4). Korintus gagal mengolah berkat Tuhan yang melimpah itu. Mereka menggenggamnya terlalu kuat sehingga berat untuk melepaskan bagi orang

2.       Berilah berdasarkan apa yang ada (ay.12)
Sudah pasti Paulus tahu kemampuan yang dimiliki Korintus. Itulah  sebabnya pada ayat 12, Paulus menghimbau mereka agar rela memberi. Kerelaan itu ternyata dapat diukur, yakni berasarkan apa yang ada padamu dan bukan berdasar apa yang tidak ada padamu. Jika pemberian Korintus tidak sebanding dengan apa yang ada pada mereka, maka Korintus akan terkategori sebagai “pemberi yang tak rela”. Istilah lain untuk kondisi itu adalah “tindakan tidak jujur terhadap berkat yang diberikan Allah”.

Dari perkataan Paulus ini, Korintus dituntut untuk memmahami bahwa dalam memberikan persembahan, Tuhan tidak pernah meminta sesuatu yang tidak ada pada mereka, sebab itu merupakan hal yang tidak mungkin. Memberi sesuatu haruslah berdasarkan apa yang ada berarti juga menunjuk pada Kejujuran hati atas apa yang Tuhan beri.

Memberi persembahan sesuai apa yang ada berati juga kesediaan kita memberi dari apa yang sudah disisikan untuk persembahan dan bukan dari yang sudah disisakan dari hasil kebutuhan. Berilah berdasarkan apa yang kita sisikan untuk TUHAN dan bukan apa yang sisa buat Tuhan. Dua hal ini tentulah amat berbeda.

3.       Diberkati untuk menjadi berkat (ay.13-15)
Menurut Paulus, kelebihan berkat yang ada di Korintus bertujuan untuk meringankan kekuarangan yang ada di Yerusalem. Dengan demikian terjadi keadilan dan keseimbangan. Hal ini menarik untuk diulas. Bahwa ternyata ketika Tuhan memberkati Korintus dengan kondisi alam, pelabuhan, dan pusat perdagangan, sehingga mereka mengalami kelimpahan, maka itu dimaksudkan supaya mereka dapat dipakai menjadi alat Tuhan “untuk menyalurkan berkatNya” bagi yang membutuhkan, dalam hal ini warga Yerusalem.

Paulus dengan kata lain mengingatkan Korintus, bahwa kelimpaham mereka adalah “berkat titipan” yang harusnya diteruskan kepada yang membutuhkan. Korintus diajarkan prinsip penting: “jika engkau telah diberkati, hendaknya pergi untuk menjadi berkat”. Tujuan utamanya sederhana yakni agar terjadi keseimbangan (ay.13) melalui penyaluran berkat dari yang berlimpah kepada yang kurang (ay.14)

RELEVANSI dan APLIKASI
Silakan membuat relevansi atau aplikasi melalui uraian eksegese di atas. Beberapa usulan pokok relevansi sbb:

1.       Bukankah menunda acapkali menjadi mentalitas banyak orang. Toh masih lama, ah nanti saja dll. Tuhan memkakai banyak orang termasuk kita, untuk digerakkan menjadi penolong bagi sesama. Lalu kemudian dengan sengaja kita tunda. Kita gagal membuat skala prioritas sehingga orang lain menderita. Jika Tuhan mau memakai kita untuk menolong orang lain, bersegeralah jangan ditunda.

2.       Pernahkah kita berpikir untuk bertanya: “mengapa saya diberkati demikian ini, Tuhan?” Saya yakin jarang orang bertanya seperti itu. Tetapi jika kemalangan menimpa, akan ada banyak orang membuat tanda tanya besar dan bertanya: “mengapa saya yang alami muzibah ini, tuhan?” Karena itu mulailah peka dan bertanya, mengapa ada kelebihan dan kelimpahan pada kita? Bisajadi itu karena Tuhan titipkan bagi orang lain melalui kita; sangat mungkin juga bahwa Tuhan ingin memakai kita sebagai alatNya, bukan? Sebab siapa yang diberkati, seyogianya menjadi berkat bagi sesama.

Jangan memberi kepada Tuhan melalui menolong orang lain berdasrkan faktor SISA. Tapi berilah bantuan ataupun persembahan berdasarkan upaya SISIH. Banyak orang berupaya untuk memenuhi dulu semua kepentingan dan keinginan, dan jika ada SISA baru kemudian untuk Tuhan atau sesama jika membutuhkan pertolongan. Mulailah dengan bijak mengolah berkat Tuhan. Sisihkan uang persepuluhan, uang persembahan, lalu uang segala kebutuhan. Jangan mengunakan FAKTOR SISA..!!