BELAJAR DARI BENANG DAN SARANG LABA-LABA
Bahan
Khotbah Ibadah Keluarga
Rabu, 7 Agustus 2019
Pengantar
Bacaan
ini adalah perkataan Bildad, orang Suah, salah seorang dari tiga sahabat Ayub
yang datang ketika mendengar tentang segala malapetakan yang menimpanya untuk
menyampaikan belasungkawa dan menghibur Ayub (8:1, 2:11). Pada waktu mereka
pertama kali bertemu, tidak banyak atau bahkan tidak ada percakapan apapun yang
terjadi di antara mereka karena keadaan Ayub yang nyaris tidak dapat dikenali
lagi membuat ketiga sahabatnya itu (termasuk Bildad) terpukul (2:12). Tujuh hari pertama, mereka berempat hanya
duduk bersama-sama di tanah tanpa ada percakapan (2:13).
Mereka berempati dengan kondisi Ayub sebagaimana yang ada pada bacaan hari
Minggu. Setelah itu,
ketiga sahabat Ayub mulai menyampaikan kata-kata penghiburan sementara Ayub pun
ternyata mengalami ‘naik-turun’ iman
terhadap Allah.
Pasal
8 adalah giliran Bildad yang berusaha membuat Ayub mengerti apa yang sebenarnya
terjadi. Pada Awalnya, Bildad sempat mengecam Ayub yang sepertinya sudah mulai keras
mempertanyakan keadilan Allah (8:1). Menurut Bildad, Allah tidak mungkin
berlaku tidak adil ataupun tidak benar (8:3). Bildad berusaha membedakan
perlakuan Allah kepada anak-anak Ayub yang berdosa terhadap Allah dengan Ayub
yang saleh (8:4-5). Menurut Bildad, anak-anak Ayub dihukum Allah karena mereka
memang berdosa tetapi jika Ayub yang saleh itu mencari dan memohon belas
kasihan Allah maka Allah akan bangkit dan memulihkan (8:6-7). Berdasarkan
pengantar ini maka pembahasan selanjutnya dapat dikatakan usaha Bildad
menjelaskan hubungan antara dosa anak dan kesalehan orang tua, adakah saling
berpengaruh satu sama lain, khususnya ketika Tuhan hendak menyatakan
kehendaknya atas keluarga Ayub.
Pemahaman Teks
Ay. 8-10
Bildad
mengambil contoh dari orang-orang zaman dahulu yaitu para nenek moyang yang
merupakan acuan/ soko guru/ sumber segala pengajaran generasi berikut.
Ay. 11
Menurut Bildad,
seseorang itu tidak akan bertumbuh dewasa (dalam iman dan pengetahuan) jika
tidak di lingkungan keluarganya (seperti pandan harus tumbuh di rawa, mensiang
di air).
Ay. 12-13
Akan tetapi
jika sebelum proses pertumbuhannya selesai, orang itu sudah melenceng/ lari
dari yang diajarkan maka orang itu akan menjadi orang yang gagal (= gagal sebelum
waktunya?). Itulah yang akan terjadi pada orang-orang fasik yaitu orang yang
melupakan Allah. Dengan kata lain, bukanlah salah Ayub jika anak-anaknya
dibinasakan Tuhan karena sebelum dewasa, mereka sudah jauh melenceng dari jalan
Tuhan.
Ay. 14-15
Pada ay. 14-19,
Bildad seperti berusaha memberi gambaran tentang apa yang terjadi dengan
anak-anak Ayub. Anak-anak Ayub itu dapat dikatakan seperti orang fasik yang
hidupnya mengandalkan benang atau sarang laba-laba. Apa yang diharapakan/
diandalkan mereka banyak dan luas (seperti sarang laba-laba) tetapi
sesungguhnya tidak kuat.
Ay. 16-18
Dalam
perumpamaan yang lain, anak-anak Ayub itu digambarkan sebagai orang fasik yang
bergaul ke mana-mana, (= tumbuhan yang sulur dan akarnya menjalar dan membelit
ke mana-mana) namun sesungguhnya ketika mereka keluar dari pergaulan itu,
teman-temannya tidak akan mengenal mereka lagi.
Ay. 19
Kemungkinan
besar hal ini berkaitan dengan kegemaran anak-anak Ayub mengadakan pesta
(1:4-5)
Renungan dan Penerapan
Walaupun
penjelasan Bildad tentang mengapa perlakuan Allah kepada anak-anak Ayub berbeda
dengan kepada Ayub tidak dapat dikatakan sepenuhnya benar namun dapatlah
dimengerti betapa Ayub sebenarnya sangat berduka dan berusaha mencari jawab
tentang me-ngapa Allah tidak menyelamatkan anak-anaknya seperti Allah
menyelamatkan dirinya. Sebagai seorang
bapa, Ayub sepertinya berusaha mencari tahu adakah ia salah dalam mendidik dan
membesarkan anak-anaknya. Sesungguhnya, kegundahan hati Ayub yang tersirat
dalam nasi-hat Bildad juga ada dalam setiap hati orang tua yang anak-anaknya
mengalami masalah seperti, putus sekolah (sering dihukum guru dan bermasalah di
sekolah), kenakalan remaja (sampai berurusan dengan masyarakat), kecanduan
narkoba (sampai berurusan dengan hukum), melakukan seks bebas (sampai terpaksa
dikawinkan atau menjadi orang tua tunggal), pindah aga-ma, dll.
Di balik
kemarahan orang tua terhadap anaknya pastilah ada rasa penyesalan dan pertanyaan:
“mengapa kali ini Tuhan tidak menolong?” Bildad menjelaskan bahwa
sebaik-baiknya orang tua mendidik dan membesarkan anak, setiap anak sebagai
pribadi yang utuh juga tetap dapat memilih: akankah ia terus dalam jalan yang
diajarkan/ diarahkan orang tuanya atau me-milih jalannya sendiri. Jika jalan
yang dipilihnya ternyata tidak sesuai harapan orang tua bahkan membawanya pada
kebinasaan maka orang tua tidak perlu terlalu menyalahkan diri. Sebagai orang
tua, kita tetap harus mendoakan yang terbaik bagi anak-anak (lih. 1:5) namun di
atas semua itu, ada Tuhan yang mengadili setiap orang secara individual menurut
keadilan dan kebenaran-Nya tanpa dapat diintervensi oleh siapapun, termasuk
orang tuanya
Jika kita
menyimak kehidupan anak-anak Ayub yang disoroti dalam Alkitab, khususnya dalam
hal kegemaran mereka mengadakan pesta untuk makan dan minum bersama (1:4), kita
akan mendapat gambaran bahwa kegemaran anak-anak ini terhadap gaya hidup
hedonisme (bersenang-senang) adalah karena orang tua memiliki kekayaan yang
memungkinkan mereka untuk berpesta setiap hari.
Dengan
demikian, sangatlah jelas jika anak-anak ini sangat mengandalkan kekayaan orang
tuanya dalam menikmati hidup. Akan tetapi seperti yang dikatakan Bildad bahwa
kekayaan orang tua yang menjadi andalan mereka untuk hidup dalam hedonisme
tidaklah kuat (banyak/ luas tetapi tidak kuat).
Demikian juga halnya dengan orang-orang yang berhasil mereka datangkan/
kumpulkan/ jamu supaya turut bersukaria dalam kehidupan seperti itu (setiap
malam) bukanlah orang-orang yang akan tetap setia menjadi sahabat merekaa.
Sampai saat ini
pun masih banyak orang yang menjadikan kekayaan (orang tua) andalan dalam hidup
sehingga tidak seperti orang tua yang mampu mewarisi kekayaan kepada anak
maupun keturunannya, anak cenderung menghambur-hamburkan kekayaan itu sehingga
tidak jarang dari mereka yang jatuh miskin. Begitu juga dengan kawan, banyak
orang yang berusaha ‘membeli’ teman dengan hedonisme yang ditawarkan, padahal, kawan
yang didapat akan segera berlalu tepat ketika kekayaan kita habis dan hedonisme
itu berakhir.
Dari kisah
Ayub, kita belajar bahwa kesalehan orang tua tidak dapat menyelamatkan anak
dari pengadilan Tuhan, juga kekayaan orang tua ternyata tidak dapat sepenuhnya
menjamin masa depan anak. Akan tetapi bukan berarti kesalehan dan upaya orang
tua mensejah-terakan anak itu sia-sia, hanya saja, kita harus sungguh-sungguh
mohon ketrelibatan Tuhan dalam mendidik dan membesarkan anak supaya jangan ada
yang binasa.