PENGKHOTBAH
3:16-22
Jemaat
Tuhan...
Judul kitab Pengkhotbah ini di dalam PL Ibrani adalah qoheleth (dari kata Ibr. Qahal yang berarti berkumpul); secara harfiah artinya "orang yang mengadakan dan
berbicara kepada suatu perkumpulan." Kata ini dipakai 7 kali dalam kitab
ini (Pengkh 1:1,2,12; Pengkh 7:27; Pengkh 12:8-10) dan diterjemahkan sebagai
"Pengkhotbah". Di dalam Septuaginta (kitab Ibrani yang diterjemahkan
ke bahasa Yunani) padanan katanya ialah ekklesiastes
yang menghasilkan judul Ecclesiastes dalam
Alkitab Inggris. Karena itu seluruh kitab ini merupakan serangkaian ajaran oleh
seorang pengkhotbah yang terkenal kepada jemaahnya.
Pada umumnya dipercayai bahwa penulisnya adalah Salomo,
sekalipun namanya tidak muncul di dalam kitab ini, seperti dalam kitab Amsal
(mis. Ams 1:1; Ams 10:1; Ams 25:1) dan Kidung Agung (bd. Kid 1:1). Akan tetapi,
beberapa bagian mengesankan Salomo selaku penulis.
Menurut tradisi Yahudi, Salomo menulis Kidung Agung
ketika masih berusia muda, Amsal pada usia setengah tua dan kitab Pengkhotbah
pada tahun-tahun akhir hidupnya. Pengaruh yang bertumpuk dari kemerosotan
rohani, penyembahan berhala, dan hidup memuaskan-dirinya pada akhirnya membuat
Salomo kecewa dengan kesenangan dan materialisme sebagai cara untuk mencapai
kebahagiaan. Kitab Pengkhotbah mencatat renungan-renungan sinisnya tentang
kesia-siaan dan kehampaan usaha menemukan kebahagiaan hidup terlepas dari
Allah dan Firman-Nya. Ia telah mengalami kekayaan, kuasa, kehormatan, ketenaran,
dan kesenangan sensual -- semua secara melimpah -- namun semua itu akhirnya
merupakan kehampaan dan kekecewaannya saja, "Kesia-siaan belaka!
Kesia-siaan belaka! ... segala sesuatu adalah sia-sia" (Pengkh 1:2).
Jemaat
Tuhan...
Tujuan utamanya dalam menulis Pengkhotbah mungkin adalah
menyampaikan semua penyesalan dan kesaksiannya kepada orang lain sebelum ia
wafat, khususnya kepada kaum muda, supaya mereka tidak melakukan kesalahan yang
sama seperti dirinya. Ia membuktikan untuk selama-lamanya kesia-siaan melandaskan
nilai-nilai kehidupan seorang pada harta benda duniawi dan ambisi pribadi.
Sekalipun orang muda harus menikmati masa muda mereka (Pengkh 11:9-10), adalah
lebih penting untuk mengabdikan diri kepada Sang Pencipta (Pengkh 12:1) dan
membulatkan tekad untuk takut akan Allah dan berpegang pada
perintah-perintah-Nya (Pengkh 12:13-14); itulah satu-satunya jalan untuk
menemukan makna hidup ini.
Jemaat
Tuhan...
Terdapat beberapa pemikiran penting dari kitab
Pengkhotbah dalam bacaan kita ini dalam hubungannya dengan kehidupan yang
sia-sia akibat dosa, secara khusus bagaimana Allah menyatakan keadilan dan
penghakimannya. Pokok pikiran dimaksud adalah sebagai berikut:
1.
Ketidakadilan adalah kenyataan hidup yang terjadi di
dunia (ay.16)
Pengkhotbah meyakini bahwa dunia ini penuh dengan kesia-siaan, termasuk
kesiaan-siaan mencari keadilan dalam dunia. Sebab justru tempat untuk menemukan
keadilan, merupakan sumber segala ketidak-adilan. Pengadilan yang dibuat untuk
menegakkan keadilan, kadangkala suap dan korupsi yang menang. Kenyataan dunia
peradilan membuat kita cenderung menyimpulkan bahwa keadilan adalah sesuatu
yang sangat relatif. Memang ada ukuran dalam bentuk hukum atau undang-undang.
Tetapi dalam prakteknya seringkali keadilan dan ketidakadilan menjadi rancu.
Mengapa ? Karena justru di
pengadilan keadilan bisa diputuskan tidak adil dan ketidakadilan bisa
diputuskan adil. Ini bukan perkataan Pengkotbah sendiri, tetapi pendapat umum
yang diangkat oleh Pengkhotbah.
2.
Mengingatkan diri tentang pengadilan Allah (ayat 17)
Istilah “berkatalah aku
dalam hati” menunjukkan sikap refleksi diri . Dalam ayat ini pengkhotbah mengingatkan
untuk ber-refleksi diri tentang pengadilan Allah, baik bagi orang yang benar
maupun orang yang tidak adil. Kalau ketidakadilan bisa dilakukan orang lain,
kita pun bisa jatuh pada kesalahan yang sama. Sehingga kita harus berhati-hati
agar tidak menjadi terhukum dalam pengadilan Allah.
Pengadilan
Allah atas manusia akan terjadi setelah kematian. Untuk itu, sebelum kematian
menjemput maka kita harus mengisi hidup dengan ketaatan pada kehendak Allah.
Ini dimaksudkan agar pengadilan Allah memberikan vonis kepada kita untuk masuk
kedalam kerajaan sorga. Yang penting untuk diingat adalah Tuhan meminta kita
untuk dapat menggunakan masa hidup ini dengan sebaik-baiknya karena sekali masa
hidup kita itu lewat maka “ia tidak akan kembali” lagi. Oleh karena itu kita
harus menggunakan dengan penuh tanggung jawab sebab Tuhan akan datang dan
menggelar suatu pengadilan yang seadil-adilnya.
3.
Mengingatkan diri tentang hidup yang sia-sia (ayat 18-21)
Dalam bagian ini Pengkotbah
mengingatkan setiap kita, bahwa jika kita hidup di dalam ketidakbenaran dan
ketidakadilan, maka sebenarnya kita tidak ada lebihnya dari binatang. Mazmur
49:21 mengatakan, “Manusia dalam segala kegemilangannya, tanpa memiliki
pengertian, boleh disamakan dengan hewan yang dibinasakan.”
Kesamaan itu
tidak secara fisik atau phsikis, tetapi kesamaan itu tampak dalam hal yang
paling mendasar, yakni kesamaan secara teologis. Secara teologis, manusia dan
binatang memiliki kesamaan yaitu pertama sama-sama mengalami masa kelahiran, hidup,
membutuhkan makanan, dan bertumbuh/berkembang ( ayat 18). Kedua, manusia dengan hewan adalah sama-sama
mengalami kematian. Ketiga, manusia dan hewan memiliki nafas yang sama,
mereka sama-sama membutuhkan udara untuk bernafas dan hidup. Keempat, manusia dan hewan menuju satu tempat yang
sama yaitu pemakaman dimana manusia dan hewan yang mati akan dikubur. Kelima, manusia dan hewan memiliki kondisi yang
sama yakni sama-sama diciptakan dari debu dan kembali menjadi debu. Dari
persamaan antara manusia dan binatang ini maka dapat disimpulkan bahwa semua
mahluk ciptaan Tuhan memiliki kedudukan yang sama dihadapan Tuhan.
Dari
pemahaman bahwa manusia dan binatang memiliki nasib yang sama, maka sebagai
manusia kita harus
menyadari bahwa tidak ada yang abadi di dunia ini. Kehidupan di dunia ini ada batasnya, dan
batas kehidupan dunia adalah kematian. Oleh karena itu, ketika kita masih
diberi hidup dan umur panjang, kita harus membangun hidup untuk menjadi saluran
berkat Tuhan bagi sesama manusia dan lingkungan alam. Dengan kata lain, kita
tidak boleh menyia-nyiakan hidup pemberian Tuhan. Kita harus mempergunakan
hidup dengan tindakan yang baik dan bermanfaat bagi ciptaan Tuhan yang lain.
4.
Bergembira upah dari kebenaran hidup kita (ayat 22)
Banyak orang yang menganggap
bahwa dengan hidup tidak benar akan memperoleh kebahagiaan. Hal ini yang pernah
juga dipikirkan oleh penulis Mazmur 73. Tetapi Pengkotbah mau mengingatkan bahwa
dalam hidup yang benar, Tuhan pasti menyediakan berkat-berkat tersendiri bagi
kita, yang dapat kita syukuri dan membawa kita hidup dalam sukacita sejati,
yakni ketika kita berusaha dan bekerja dengan baik, adil dan jujur.
Berusaha dan bekerja dengan
baik, adil dan jujur merupakan bagian dari kunci kebahagiaan hidup. Pengkhotbah
menyebutnya sebagai kebahagian dalam pekerjaan.
Karena itu, marilah menjaga
kehidupan ini dengan berbuat sesuai dengan kehendak Allah. Junjunglah kebenaran
dan keadilan. Bersyukurlah dalam segala hal akan nikmat hidup yang Tuhan
anugerahi. Andaikata pun hidup ini menjadi tidak adil yang justru datang dari
orang-orang yang berlaku curang pada kita dengan ketidak adilannya, maka
bersyukurlah sebab kita masih bekerja dengan baik dan adil serta nantikanlah
bahwa Tuhan pasti nyatakan keadilannya. Amin.