Monday, March 24, 2014

BAHAN RENUNGAN IBADAH KELUARGA RABU 26 MARET 2014


MARKUS 11:15-19


Jemaat Tuhan...
Perhatikan pertanyaan ini: “BAIT Suci kok disucikan?” Sebuah pertanyaan sederhana yang sungguh tidak sederhana. Sederhana, jika itu adalah ritual penyucian, seperti didoakan, atau lainnya. Namun menjadi tidak sederhana, jika itu menyangkut kualitas, spritualitas, sehingga Bait Suci perlu disucikan. Apalagi jika Yesus, Anak Allah, Sang Suci, yang melakukannya. Bukankah Bait Suci itu tempat suci yang seharusnya tak perlu disucikan? Namun itulah kenyataannya, Bait Suci, disucikan. Dalam catatan Alkitab peristiwa itu jelas sekali. Keempat Injil mencatatnya (Yohanes 2: 13-25, Matius 21: 12-17, Markus 11: 15-19, Lukas 19: 45-48).

Bait Suci, tempat beribadah itu ternyata telah hiruk-pikuk dengan aneka kegiatan dagang. Di sana ada pedagang merpati, domba, kambing, bahkan lembu. Wow, betapa luasnya area yang mereka gunakan. Belum lagi bau yang ditimbulkan, pasti sangat mengganggu, terutama ketika angin bertiup. Di sebelah lain, tak kalah sibuknya adalah para penukar uang. Mereka bagaikan money changer di era modern yang siap menanti pembeli, khususnya yang datang dari kota lain untuk beribadah (orang Yahudi perantauan, atau yang lainnya) yang tidak memiliki mata uang bait Allah. Mereka harus menukarkan uangnya pada mereka.

Jemaat Tuhan...
Apa yang salah di sana? Praktek dagangnya atau yang lainnya? Yang pasti, kritik Yesus dalam ayat 17 bacaan kita sangat tegas. Yesus berkata, “Rumah-Ku akan disebut rumah doa, tetapi kamu menjadikannya sarang penyamun”. Siapa yang menyamun alias merampok? Dalam prakteknya, ada berbagai informasi. Para pedagang binatang kurban, yang dagangannya dibutuhkan oleh umat, ternyata mencantumkan harga yang lebih tinggi dari harga pasar. Mark up, istilah kerennya. Mengapa umat tak membeli di pasar? Sulit, karena bisa dipersulit oleh penilai, alias quality control, yang sering kali tidak meluluskan binatang yang dibawa sebagai kurban yang layak.

Ada ketentuan tentang kurban yang diatur dalam kitab Imamat. Nah, di sinilah para penilai bermain mata dengan pedangang di halaman Bait Suci. Karena seluruh kurban yang dibeli dari pedagang di Bait Suci pasti lolos dan dianggap layak. Sementara yang dibeli di pasar seringkali ditolak. Namun ada konsekuensinya, yakni umat harus membayar lebih mahal jika membeli di halaman Bait Suci. Terjadilah kolusi antara pedagang dengan para imam dan petugasnya. Harga lebih mahal, memang mempermudah pembelian dan kelayakan kurban, tapi, juga memeras umat yang berada pada posisi lemah.

Hal seperti ini sudah terjadi sejak dulu kala. Amos berteriak atas kecurangan para imam yang seharusnya menjadi penggembala domba, bukan pemerah domba. Begitu juga di bisnis money changer, kurs yang diberlakukan selalu merugikan umat. Dan, lagi-lagi menguntungkan pedagang dan juga imam. Kebanyakan imam sangat bergairah ke Bait Suci, bukan untuk pelayanan melainkan pemerasan, bukan juga untuk mencari kekudusan tapi kolusi dengan pedagang. Dengan topeng pelayanan, mereka meraup keuntungan. Aroma transaksi dagang di Bait Suci jauh lebih kental dibanding ibadah suci yang menyenangkan hati Tuhan. Jadi, tidaklah mengherankan jika Yesus bertindak radikal, dengan menjungkirbalikkan meja dan bangku para pedagang. Tentu saja ini sangat menjengkelkan para imam dan pedagang. Jadi, tidaklah juga mengherankan jika mereka sangat berambisi untuk menghabisi Yesus. Walaupun kebanyakan umat merasa terbela, namun, tidak serta-merta mereka menjadi pengikut Yesus yang setia.

Jemaat Tuhan...
Sikap dan perbuatan Tuhan Yesus ini telah mengganggu arus pundi-pundi para imam dan pedagang, yaitu uang haram yang selama ini lancar dan “suci”, karena “disucikan” lewat pelayanan berkedok. Imam yang tak “beriman” melainkan mata duitan, pelayan yang tak “melayani” melainkan membebani, gembala yang tak “menjaga” melainkan memerah, pemimpin yang tak “memimpin” melainkan mempermainkan. Ibadah menjadi penuh kepalsuan. Asal membayar lebih, asal mengikuti ketentuan yang dibuat para imam, pengampunan dosa diperjualbelikan. Dan, celakanya, ternyata umat bisa jadi pembeli yang tak selektif. Mungkin merasa sama-sama diuntungkan. Yang satu untung uang, yang lain untung pengakuan, dan tak dikucilkan, belum lagi bisa lolos dari hukuman dosa (hukuman fisik).


Jemaat Tuhan...
Realita Bait Suci yang harus disucikan karena telah menjadi tempat bisnis ternyata tak berhenti. Situasi tetap berlanjut hingga kini. Sykukurnya tidak terjadi di GPIB. Namun di berbagai gereja ada banyak isu sinis tentang gereja berbisnis, gembala berbisnis. Banyak pelayanan khotbah yang juga dibisniskan. Serba uang, serba tarif, serba fasilitas, dan lain sebagainya. Semuanya disembunyikan dalam kata berkat Allah yang melimpah. Apa pun yang serba mewah, dari rumah, mobil hingga penampilan mewah, itu katanya, adalah simbol hamba Allah yang sukses. Buah tak lagi diperhatikan, melainkan popularitas. Perbuatan tak lagi diperhitungkan melainkan hanya khotbah di bibir saja.

Kendati demikian, sebagai jemaat GPIB, kitapun harus mawas diri. Apakah gereja Tuhan ini masih berfungsi dengan benar sesuai aturan Allah. Apakah umat Tuhan dan pelayan ketika melayani tidak mengambil keuntungan dari dalamnya? Apakah benar pelayanan dan persekutuan kita murni untuk kemuliaan Tuhan? Apakah kita telah bebas dari berbagai kepentingan untuk memanfaatkan suatu keuntungan dalam pelayanan? Tuhan Yesus kepala gereja menginginkan kesucian gereja dari fungsinya bukan hanya dari simbol atau tata atiran semata.

Jemaat Tuhan...
Dalam konteks masa kini, kita tidak lagi menjumpai peristiwa jual-beli seperti yang terjadi di halaman Bait Allah pada waktu itu. Namun demikian, kisah ini mengingatkan kepada kita, bahwa jika hati kita telah berubah setia, dari Allah kepada materi, maka perkara rohani dalam bentuk apapun, dapat saja kita manipulasi, demi mengeruk keuntungan yang besar bagi diri kita sendiri, apalagi jika kita memiliki kedudukan seperti para imam dan ahli Taurat.

Aturan dan ajaran firman Allah yang benar dapat diubah menjadi ajaran yang nampaknya benar, tetapi sesungguhnya tidak benar. Demikian pula, kecintaan terhadap materi tidak hanya menghancurkan kerohanian diri sendiri, tapi juga akan menjadi batu sandungan bagi orang lain untuk datang kepada Dia. Kiranya setiap kita senantiasa waspada dan menjaga motivasi yang benar di hadapan Allah untuk membiarkan hidup kita sebagai Bait Allah berfungsi denga benar sesuai tujuanNya. amin