MARKUS 11:15-19
Jemaat
Tuhan...
Perhatikan pertanyaan ini: “BAIT Suci kok disucikan?” Sebuah pertanyaan sederhana yang sungguh
tidak sederhana. Sederhana, jika itu adalah ritual penyucian, seperti didoakan,
atau lainnya. Namun menjadi tidak sederhana, jika itu menyangkut kualitas,
spritualitas, sehingga Bait Suci perlu disucikan. Apalagi jika Yesus, Anak
Allah, Sang Suci, yang melakukannya. Bukankah Bait Suci itu tempat suci yang
seharusnya tak perlu disucikan? Namun itulah kenyataannya, Bait Suci,
disucikan. Dalam catatan Alkitab peristiwa itu jelas sekali. Keempat Injil
mencatatnya (Yohanes 2: 13-25, Matius 21: 12-17, Markus 11: 15-19, Lukas 19:
45-48).
Bait Suci, tempat beribadah itu ternyata telah hiruk-pikuk
dengan aneka kegiatan dagang. Di sana ada pedagang merpati, domba, kambing,
bahkan lembu. Wow, betapa luasnya area yang mereka gunakan. Belum lagi bau yang
ditimbulkan, pasti sangat mengganggu, terutama ketika angin bertiup. Di sebelah
lain, tak kalah sibuknya adalah para penukar uang. Mereka bagaikan money
changer di era modern yang siap menanti pembeli, khususnya yang datang dari
kota lain untuk beribadah (orang Yahudi perantauan, atau yang lainnya) yang
tidak memiliki mata uang bait Allah. Mereka harus menukarkan uangnya pada
mereka.
Jemaat
Tuhan...
Apa yang salah di sana? Praktek dagangnya atau yang
lainnya? Yang pasti, kritik Yesus dalam ayat 17 bacaan kita sangat tegas. Yesus
berkata, “Rumah-Ku akan disebut rumah doa, tetapi kamu menjadikannya sarang
penyamun”. Siapa yang menyamun alias merampok? Dalam prakteknya, ada berbagai
informasi. Para pedagang binatang kurban, yang dagangannya dibutuhkan oleh
umat, ternyata mencantumkan harga yang lebih tinggi dari harga pasar. Mark up,
istilah kerennya. Mengapa umat tak membeli di pasar? Sulit, karena bisa
dipersulit oleh penilai, alias quality control, yang sering kali tidak
meluluskan binatang yang dibawa sebagai kurban yang layak.
Ada ketentuan tentang kurban yang diatur dalam kitab
Imamat. Nah, di sinilah para penilai bermain mata dengan pedangang di halaman
Bait Suci. Karena seluruh kurban yang dibeli dari pedagang di Bait Suci pasti
lolos dan dianggap layak. Sementara yang dibeli di pasar seringkali ditolak.
Namun ada konsekuensinya, yakni umat harus membayar lebih mahal jika membeli di
halaman Bait Suci. Terjadilah kolusi antara pedagang dengan para imam dan
petugasnya. Harga lebih mahal, memang mempermudah pembelian dan kelayakan
kurban, tapi, juga memeras umat yang berada pada posisi lemah.
Hal seperti ini sudah terjadi sejak dulu kala. Amos
berteriak atas kecurangan para imam yang seharusnya menjadi penggembala domba,
bukan pemerah domba. Begitu juga di bisnis money changer, kurs yang
diberlakukan selalu merugikan umat. Dan, lagi-lagi menguntungkan pedagang dan
juga imam. Kebanyakan imam sangat bergairah ke Bait Suci, bukan untuk pelayanan
melainkan pemerasan, bukan juga untuk mencari kekudusan tapi kolusi dengan
pedagang. Dengan topeng pelayanan, mereka meraup keuntungan. Aroma transaksi
dagang di Bait Suci jauh lebih kental dibanding ibadah suci yang menyenangkan
hati Tuhan. Jadi, tidaklah mengherankan jika Yesus bertindak radikal, dengan
menjungkirbalikkan meja dan bangku para pedagang. Tentu saja ini sangat
menjengkelkan para imam dan pedagang. Jadi, tidaklah juga mengherankan jika
mereka sangat berambisi untuk menghabisi Yesus. Walaupun kebanyakan umat merasa
terbela, namun, tidak serta-merta mereka menjadi pengikut Yesus yang setia.
Jemaat
Tuhan...
Sikap dan perbuatan Tuhan Yesus ini telah mengganggu arus
pundi-pundi para imam dan pedagang, yaitu uang haram yang selama ini lancar dan
“suci”, karena “disucikan” lewat pelayanan berkedok. Imam yang tak “beriman”
melainkan mata duitan, pelayan yang tak “melayani” melainkan membebani, gembala
yang tak “menjaga” melainkan memerah, pemimpin yang tak “memimpin” melainkan
mempermainkan. Ibadah menjadi penuh kepalsuan. Asal membayar lebih, asal
mengikuti ketentuan yang dibuat para imam, pengampunan dosa diperjualbelikan.
Dan, celakanya, ternyata umat bisa jadi pembeli yang tak selektif. Mungkin
merasa sama-sama diuntungkan. Yang satu untung uang, yang lain untung
pengakuan, dan tak dikucilkan, belum lagi bisa lolos dari hukuman dosa (hukuman
fisik).
Jemaat
Tuhan...
Realita
Bait Suci yang harus disucikan karena telah menjadi tempat bisnis ternyata tak
berhenti. Situasi tetap berlanjut hingga kini. Sykukurnya tidak terjadi di
GPIB. Namun di berbagai gereja ada banyak isu sinis tentang gereja berbisnis,
gembala berbisnis. Banyak pelayanan khotbah yang juga dibisniskan. Serba uang,
serba tarif, serba fasilitas, dan lain sebagainya. Semuanya disembunyikan dalam
kata berkat Allah yang melimpah. Apa pun yang serba mewah, dari rumah, mobil
hingga penampilan mewah, itu katanya, adalah simbol hamba Allah yang sukses.
Buah tak lagi diperhatikan, melainkan popularitas. Perbuatan tak lagi
diperhitungkan melainkan hanya khotbah di bibir saja.
Kendati
demikian, sebagai jemaat GPIB, kitapun harus mawas diri. Apakah gereja Tuhan
ini masih berfungsi dengan benar sesuai aturan Allah. Apakah umat Tuhan dan
pelayan ketika melayani tidak mengambil keuntungan dari dalamnya? Apakah benar
pelayanan dan persekutuan kita murni untuk kemuliaan Tuhan? Apakah kita telah
bebas dari berbagai kepentingan untuk memanfaatkan suatu keuntungan dalam
pelayanan? Tuhan Yesus kepala gereja menginginkan kesucian gereja dari
fungsinya bukan hanya dari simbol atau tata atiran semata.
Jemaat
Tuhan...
Dalam konteks masa kini,
kita tidak lagi menjumpai peristiwa jual-beli seperti yang terjadi di halaman
Bait Allah pada waktu itu. Namun demikian, kisah ini mengingatkan kepada kita,
bahwa jika hati kita telah berubah setia, dari Allah kepada materi, maka
perkara rohani dalam bentuk apapun, dapat saja kita manipulasi, demi mengeruk
keuntungan yang besar bagi diri kita sendiri, apalagi jika kita memiliki
kedudukan seperti para imam dan ahli Taurat.
No comments:
Post a Comment