Friday, June 28, 2013

BAHAN RENUNGAN MINGGU 30 JUNI 2013

PENGKHOTBAH 3:16-22

Jemaat Tuhan...
Judul kitab Pengkhotbah ini di dalam PL Ibrani adalah qoheleth (dari kata Ibr. Qahal yang berarti berkumpul); secara harfiah artinya "orang yang mengadakan dan berbicara kepada suatu perkumpulan." Kata ini dipakai 7 kali dalam kitab ini (Pengkh 1:1,2,12; Pengkh 7:27; Pengkh 12:8-10) dan diterjemahkan sebagai "Pengkhotbah". Di dalam Septuaginta (kitab Ibrani yang diterjemahkan ke bahasa Yunani) padanan katanya ialah ekklesiastes yang menghasilkan judul Ecclesiastes dalam Alkitab Inggris. Karena itu seluruh kitab ini merupakan serangkaian ajaran oleh seorang pengkhotbah yang terkenal kepada jemaahnya.

Pada umumnya dipercayai bahwa penulisnya adalah Salomo, sekalipun namanya tidak muncul di dalam kitab ini, seperti dalam kitab Amsal (mis. Ams 1:1; Ams 10:1; Ams 25:1) dan Kidung Agung (bd. Kid 1:1). Akan tetapi, beberapa bagian mengesankan Salomo selaku penulis.

Menurut tradisi Yahudi, Salomo menulis Kidung Agung ketika masih berusia muda, Amsal pada usia setengah tua dan kitab Pengkhotbah pada tahun-tahun akhir hidupnya. Pengaruh yang bertumpuk dari kemerosotan rohani, penyembahan berhala, dan hidup memuaskan-dirinya pada akhirnya membuat Salomo kecewa dengan kesenangan dan materialisme sebagai cara untuk mencapai kebahagiaan. Kitab Pengkhotbah mencatat renungan-renungan sinisnya tentang kesia-siaan dan kehampaan usaha menemukan kebahagiaan hidup terlepas dari Allah dan Firman-Nya. Ia telah mengalami kekayaan, kuasa, kehormatan, ketenaran, dan kesenangan sensual -- semua secara melimpah -- namun semua itu akhirnya merupakan kehampaan dan kekecewaannya saja, "Kesia-siaan belaka! Kesia-siaan belaka! ... segala sesuatu adalah sia-sia" (Pengkh 1:2).

Jemaat Tuhan...
Tujuan utamanya dalam menulis Pengkhotbah mungkin adalah menyampaikan semua penyesalan dan kesaksiannya kepada orang lain sebelum ia wafat, khususnya kepada kaum muda, supaya mereka tidak melakukan kesalahan yang sama seperti dirinya. Ia membuktikan untuk selama-lamanya kesia-siaan melandaskan nilai-nilai kehidupan seorang pada harta benda duniawi dan ambisi pribadi. Sekalipun orang muda harus menikmati masa muda mereka (Pengkh 11:9-10), adalah lebih penting untuk mengabdikan diri kepada Sang Pencipta (Pengkh 12:1) dan membulatkan tekad untuk takut akan Allah dan berpegang pada perintah-perintah-Nya (Pengkh 12:13-14); itulah satu-satunya jalan untuk menemukan makna hidup ini.

Jemaat Tuhan...
Terdapat beberapa pemikiran penting dari kitab Pengkhotbah dalam bacaan kita ini dalam hubungannya dengan kehidupan yang sia-sia akibat dosa, secara khusus bagaimana Allah menyatakan keadilan dan penghakimannya. Pokok pikiran dimaksud adalah sebagai berikut:

1.       Ketidakadilan adalah kenyataan hidup yang terjadi di dunia (ay.16)
Pengkhotbah meyakini bahwa dunia ini penuh dengan kesia-siaan, termasuk kesiaan-siaan mencari keadilan dalam dunia. Sebab justru tempat untuk menemukan keadilan, merupakan sumber segala ketidak-adilan. Pengadilan yang dibuat untuk menegakkan keadilan, kadangkala suap dan korupsi yang menang. Kenyataan dunia peradilan membuat kita cenderung menyimpulkan bahwa keadilan adalah sesuatu yang sangat relatif. Memang ada ukuran dalam bentuk hukum atau undang-undang. Tetapi dalam prakteknya seringkali keadilan dan ketidakadilan menjadi rancu. Mengapa ? Karena justru di pengadilan keadilan bisa diputuskan tidak adil dan ketidakadilan bisa diputuskan adil. Ini bukan perkataan Pengkotbah sendiri, tetapi pendapat umum yang diangkat oleh Pengkhotbah.

2.       Mengingatkan diri tentang pengadilan Allah (ayat 17)
Istilah “berkatalah aku dalam hati” menunjukkan sikap refleksi diri . Dalam ayat ini pengkhotbah mengingatkan untuk ber-refleksi diri tentang pengadilan Allah, baik bagi orang yang benar maupun orang yang tidak adil. Kalau ketidakadilan bisa dilakukan orang lain, kita pun bisa jatuh pada kesalahan yang sama. Sehingga kita harus berhati-hati agar tidak menjadi terhukum dalam pengadilan Allah.

Pengadilan Allah atas manusia akan terjadi setelah kematian. Untuk itu, sebelum kematian menjemput maka kita harus mengisi hidup dengan ketaatan pada kehendak Allah. Ini dimaksudkan agar pengadilan Allah memberikan vonis kepada kita untuk masuk kedalam kerajaan sorga. Yang penting untuk diingat adalah Tuhan meminta kita untuk dapat menggunakan masa hidup ini dengan sebaik-baiknya karena sekali masa hidup kita itu lewat maka “ia tidak akan kembali” lagi. Oleh karena itu kita harus menggunakan dengan penuh tanggung jawab sebab Tuhan akan datang dan menggelar suatu pengadilan yang seadil-adilnya.


3.       Mengingatkan diri tentang hidup yang sia-sia (ayat 18-21)
Dalam bagian ini Pengkotbah mengingatkan setiap kita, bahwa jika kita hidup di dalam ketidakbenaran dan ketidakadilan, maka sebenarnya kita tidak ada lebihnya dari binatang. Mazmur 49:21 mengatakan, “Manusia dalam segala kegemilangannya, tanpa memiliki pengertian, boleh disamakan dengan hewan yang dibinasakan.”

Kesamaan itu tidak secara fisik atau phsikis, tetapi kesamaan itu tampak dalam hal yang paling mendasar, yakni kesamaan secara teologis. Secara teologis, manusia dan binatang memiliki kesamaan yaitu pertama sama-sama mengalami masa kelahiran, hidup, membutuhkan makanan, dan bertumbuh/berkembang ( ayat 18). Kedua, manusia dengan hewan adalah sama-sama mengalami kematian. Ketiga, manusia dan hewan memiliki nafas yang sama, mereka sama-sama membutuhkan udara untuk bernafas dan hidup. Keempat, manusia dan hewan menuju satu tempat yang sama yaitu pemakaman dimana manusia dan hewan yang mati akan dikubur. Kelima, manusia dan hewan memiliki kondisi yang sama yakni sama-sama diciptakan dari debu dan kembali menjadi debu. Dari persamaan antara manusia dan binatang ini maka dapat disimpulkan bahwa semua mahluk ciptaan Tuhan memiliki kedudukan yang sama dihadapan Tuhan.

 

Dari pemahaman bahwa manusia dan binatang memiliki nasib yang sama, maka sebagai manusia kita harus menyadari bahwa tidak ada yang abadi di dunia ini. Kehidupan di dunia ini ada batasnya, dan batas kehidupan dunia adalah kematian. Oleh karena itu, ketika kita masih diberi hidup dan umur panjang, kita harus membangun hidup untuk menjadi saluran berkat Tuhan bagi sesama manusia dan lingkungan alam. Dengan kata lain, kita tidak boleh menyia-nyiakan hidup pemberian Tuhan. Kita harus mempergunakan hidup dengan tindakan yang baik dan bermanfaat bagi ciptaan Tuhan yang lain.


4.       Bergembira upah dari kebenaran hidup kita (ayat 22)
Banyak orang yang menganggap bahwa dengan hidup tidak benar akan memperoleh kebahagiaan. Hal ini yang pernah juga dipikirkan oleh penulis Mazmur 73. Tetapi Pengkotbah mau mengingatkan bahwa dalam hidup yang benar, Tuhan pasti menyediakan berkat-berkat tersendiri bagi kita, yang dapat kita syukuri dan membawa kita hidup dalam sukacita sejati, yakni ketika kita berusaha dan bekerja dengan baik, adil dan jujur.

Berusaha dan bekerja dengan baik, adil dan jujur merupakan bagian dari kunci kebahagiaan hidup. Pengkhotbah menyebutnya sebagai kebahagian dalam pekerjaan.

Karena itu, marilah menjaga kehidupan ini dengan berbuat sesuai dengan kehendak Allah. Junjunglah kebenaran dan keadilan. Bersyukurlah dalam segala hal akan nikmat hidup yang Tuhan anugerahi. Andaikata pun hidup ini menjadi tidak adil yang justru datang dari orang-orang yang berlaku curang pada kita dengan ketidak adilannya, maka bersyukurlah sebab kita masih bekerja dengan baik dan adil serta nantikanlah bahwa Tuhan pasti nyatakan keadilannya. Amin.