Showing posts with label ibadah sektor. Show all posts
Showing posts with label ibadah sektor. Show all posts

Tuesday, August 21, 2012

MATERI KHOTBAH RABU 22 AUG 2012


YAKOBUS 4:11-12


Jemaat Tuhan
Yakobus, setelah berbicara tentang dosa lidah, ia melanjutkan tentang salah satu bentuk kehidupan manusia yang jatuh dalam Dosa Lidah tersebut, yakni pada ayat 11 dan 12 bacaan kita hari ini.

Teguran Yakobus di bagian ini diterjemahkan LAI:TB dengan “janganlah kamu saling memfitnah”. Dalam teks Yunani, kata “memfitnah” memakai istilah katalalew. Istilah ini secara hurufiah berarti “mengatakan sesuatu yang menentang” (kata = “melawan” dan lalew = “berbicara”). Mayoritas terjemahan versi Inggris memakai “mengatakan sesuatu yang jahat” atau “mengatakan sesuatu yang menentang”. Penggunaan kata ini di Perjanjian Baru menunjukkan bahwa katalalew biasa merujuk pada segala macam perkataan negatif untuk menentang orang lain, misalnya “menentang pemimpin atau Allah” (Bil 12:8; 21:5, 7), “mengumpat” (Mzm 101:5), “menghina” (Ay 19:3), “mengatakan sebuah dusta” (Hos 7:13), “mengatakan sesuatu yang bisa dianggap kurang ajar” (Mal 3:13) atau “memfitnah/menuduh” (1Pet 2:12; 3:16).

Mengingat arti katalalew sangat luas, kita harus menyelidiki artinya berdasarkan konteks. Dalam Yakobus 4:11 terjemahan LAI:TB “memfitnah” hampir dapat dipastikan salah. Kata ini muncul 3 kali di ayat 11. Pada pemunculan yang terakhir kata ini dihubungkan dengan hukum (LAI:TB “mencela hukum”). Di sinilah letak ketidak-konsistenan terjemahan LAI:TB, karena dua pemunculan yang pertama diterjemahkan “memfitnah”, sedangkan yang terakhir dipakai “mencela”. Kita lebih baik menerjemahkan semua katalalew di ayat ini dengan “mencela”. Arti ini sesuai untuk frase “mencela hukum” (kita tidak mungkin “memfitnah” hukum). Selain itu, arti ini juga cocok dengan ungkapan Yakobus yang menghubungkan orang yang mencela (katalalew) dengan orang yang menghakimi sesamanya (ayat 11 “barangsiapa memfitnah saudaranya atau menghakiminya”).

Jemaat Tuhan
Ayat 11b dan 12 merupakan alasan yang diberikan Yakobus mengapa orang percaya tidak boleh saling mencela. Ada dua alasan yang saling berkaitan. 
Karena mencela saudara seiman berarti mencela hukum dan menghakiminya (ayat 11b)

Bagi Yakobus orang yang mencela (katalalew) seorang saudara sama dengan orang yang menghakimi (krinw) saudaranya itu. Dari pernyataan ini terlihat bahwa dosa mencela di sini bukan hanya berhubungan dengan cara dan isi perkataan yang kasar, tetapi juga melibatkan sikap hati yang menganggap diri lebih baik daripada sesamanya (band. 3:1; 4:6-10). Sikap hati inilah yang justru dijadikan fokus utama pembahasan oleh Yakobus di ayat 11b-12 (kata “menghakimi” atau “hakim” muncul 6 kali dalam dua ayat ini). Jadi, kesalahan mereka bukan hanya secara eksternal (mencela), tetapi juga internal (merasa diri lebih baik).

Alasan pertama mengapa kita tidak boleh mencela dan menghakimi adalah karena mencela saudara berarti mencela hukum dan menghakiminya. Apa maksud dari pernyataan ini? Sebelum menyelidiki artinya, ada baiknya kita mengetahui lebih dahulu apa yang dimaksud dengan hukum di sini. Hukum di sini kemungkinan besar merujuk pada perintah “kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri”.
1.     Dalam bagian sebelumnya Yakobus sudah memakai kata “hukum” (nomos) dan kata itu menunjuk pada hukum kasih kepada sesama (2:8, dikutip dari Im 19:18b).
2.     Dalam konteks Imamat 19:18b, hukum kasih ini juga dihubungkan dengan larangan untuk berkata-kata yang jahat kepada sesama (Im 19:16).
3.     Ungkapan “sesama manusia” di ayat 12 sebagai pengganti “saudara” di ayat 11 merujuk pada hukum kasih kepada sesama (“kasihilah sesamamu manusia”).

Walaupun yang dimaksud dengan hukum di sini berasal dari perintah Taurat, namun kita harus memahami bahwa hukum ini telah diberi makna baru dalam kekristenan. Hukum ini adalah hukum yang memerdekakan dan sempurna (1:25; 2:12).



Jemaat Tuhan
Sekarang mari kita melihat arti dari alasan yang diberikan Yakobus di ayat 11b. Orang yang mencela dan menghakimi sesama bukanlah orang yang melakukan hukum (ayat 11), karena hukum kasih melarang kita mengucapkan perkataan kasar yang menentang orang lain. Ketika kita melakukan pelanggaran ini berarti kita telah mencela hukum itu. Kita bertindak seolah-olah hukum tersebut tidak memiliki otoritas dalam hidup kita. 

Lebih parah lagi, kita bukan hanya sebagai pelanggar hukum (band. 2:9-10), tetapi hakim atas hukum itu (ayat 11). Sikap menghakimi menunjukkan bahwa kita menganggap diri lebih baik dari orang lain dan sebagai tolak ukur kebenaran, padahal tolak ukur yang sebenarnya adalah hukum itu sendiri. Dengan demikian, ketika kita menghakimi orang lain, kita telah menjadikan diri kita sebagai hakim, bukan hanya atas orang lain tetapi juga atas hukum tersebut.

Jemaat Tuhan
Setelah menyatakan bahwa orang yang mencela saudaranya telah bertindak sebagai hakim atas orang lain maupun hukum kasih, Yakobus menjelaskan siapa satu-satunya pembuat hukum dan hakim yang sebenarnya. Dalam struktur kalimat Yunani ayat 12, kata “satu” (heis) diletakkan di awal kalimat untuk memberi penekanan bahwa pembuat hukum dan hakim hanya ada satu saja.

Siapakah pembuat hukum dan hakim itu? Yakobus menjelaskan bahwa Dia adalah yang berkuasa menyelamatkan dan membinasakan. Ungkapan ini jelas merujuk pada Allah (Mat 10:28 “Dia yang berkuasa membinasakan baik jiwa maupun tubuh di dalam neraka”). Perjanjian Lama secara eksplisit menjelaskan bahwa pemberi hukum Taurat adalah Allah (Kel 24:12), walaupun orang Yahudi kadangkala menyebut Musa sebagai pemberi hukum (misalnya Philo). Allah juga sering disebut sebagai hakim dunia (Kej 18:25; Mzm 7:12; 9:5; 50:6; 75:7; 94:2; Yes 33:22). Hal yang sama juga dinyatakan secara tegas dalam Perjanjian Baru (Ibr 12:23; 1Pet 1:17; 4:5).
Ungkapan “Dia yang berkuasa menyelamatkan dan membinasakan” bukan hanya berfungsi untuk menjelaskan identitas pembuat hukum dan hakim, namun juga mengingatkan penerima surat bahwa pelanggaran mereka tidak akan luput dari  penghakiman Allah. Mereka yang menghakimi akan mendapat penghakiman (Mat 7:1-2; Luk 6:37; Rom 2:1-3; 14:10).

Jemaat Tuhan
Untuk mempertegas apa yang telah disampaikan, Yakobus menutup tegurannya dengan “tetapi siapakah engkau, sehingga engkau mau menghakimi sesamamu manusia?”. Hal ini dengan tegas memberikan penekanan bahwa kita tidak bisa mencela orang lain apalagi menghakimi mereka yang bersalah seakan kitalah yang lebih benar. Yang tepat untuk kita lakukan adalah memberikan nasihat yang benar dan teladan yang baik.

Jemaat Tuhan
Bukankah dalam kehidupan ini kita lebih sering melihat kesalahan orang lain dan bahkan mencari kesalahan orang lain dari pada menyelidiki ketidak-sempuraan kita sendiri?

Firman Tuhan hari ini mengajarkan kita untuk menahan diri dari menyakiti orang lain dengan perkataan atas alasan penghakiman. Sebaliknya justru Firman Tuhan hari ini mengajak kita untuk lebih mawas diri dan menyelidi kehidupan kita lebih dulu, yakni apakah kita sudah lebih baik daripada orang lain. Hal ini penting agar  kemudian sikap kita ini tidak membawa kita menjadi prfibadi yang sok suci dan sombong rohani bahkan menjadi tuhan dan hakim bagi orang lain.

Jadilah teladan kebenaran dan bukan mencari kesalahan orang lain. Jadilah Alat Tuhan yang mulia, lewat membawa orang lain menemukan kebenaran Allah dalam hidup kita, daripada seakan menjadi tuhan bagi sesama. Kiranya Tuhan memampukan kita melakukannya. Amin.

Tuesday, August 23, 2011

MATERI KHOTBAH SEKTOR RABU 24 AUG 2011



PENGKHOTBAH 9:11-12

11Lagi aku melihat di bawah matahari bahwa kemenangan perlombaan bukan untuk yang cepat, dan keunggulan perjuangan bukan untuk yang kuat, juga roti bukan untuk yang berhikmat, kekayaan bukan untuk yang cerdas, dan karunia bukan untuk yang cerdik cendekia, karena waktu dan nasib dialami mereka semua.
12Karena manusia tidak mengetahui waktunya. Seperti ikan yang tertangkap dalam jala yang mencelakakan, dan seperti burung yang tertangkap dalam jerat, begitulah anak-anak manusia terjerat pada waktu yang malang, kalau hal itu menimpa mereka secara tiba-tiba.


Bacaan kita hari ini yakni ayat 11 dan 12 pasal 9 kitab Pengkhotbah adalah bagian yang tak terpisahkan dengan bacaan hari selasa menurut Sabda Bina Umat. Bacaan ini tidak dapat dipisahkan sebab pada ayat 11 dan 12 Pasal 9 ini dinyatakan Salomo sebagai penulis Kitab ini untuk menguatkan uraiannya tentang suatu pemahaman kesia-siaan dalam hidup. Keseluruhan perikop ayat 1-12 Pengkhotbah pasal 9 ini terbagi atas 3 bagian penting yang saling berhubungan dan memberi makna tentang hidup serta bagaimana menyikapinya.

Untuk lebih jelasnya, marilah kita memperhatikan seluruh perikop ini yakni mulai dari ayat 1 sampai 12 kitab Pengkhotbah pasal 9 dan menemukan tiga bagian besar dari 12 ayat tersebut. Tiga bagian penting itu adalah sbb:

1.      Kesia-siaan dan harapan dalam hidup (ayat 1-6)
Dengan penuh pesimis, pengkhotbah mengatakan bahwa kehidupan di bawah matahari ini (kolong langit ini) selalau berakhir dengan sia-sia. Mengapa ia menyebut hidup ini adalah sia-sia? Sebab manusia pastilah akan mengalami kematian. Apapun yang dicapai dalam hidup tidak akan dibawah dan dinikmati seterusnya karena manusia pastilah akan mati. Dia meyakinkan kita bahwa kematian akan datang kepada semua orang tanpa terkecuali. Kematian terjadi baik kepada orang benar maupun orang jahat (Pkh. 9:1-3). Kematian adalah titik nadir, perwujudan dari semua kesia-siaan hidup dalam dunia. Menurut Salomo dalam ayat 1-3, bahwa siapapun kita entah baik atau benar, berdosa atau tidak, pastilah akan tetap menghadapi kematian itu. Dengan kata lain, apapaun yang dikerjakan dalam dunia ini dipandang menjadi sia-sia oleh karena kematian yang pasti datang.

Namun, dalam ayat 4, Pengkhotbah menyampaikan harapan di tengah kesia-sian akibat kematian yang pasti datang. Apakah harapan itu? Harapan yang dikatakan Salomo adalah harapan terhadap kehidupan. Kematian menjadikan sesuatu sia-sia, namun kehidupan menjadikan sesuatu itu memiliki harapan. Dalam ayat 4 ini, Pengkhotbah mengingatkan kepada kita bahwa ”anjing yang hidup lebih baik daripada singa yang mati.” Ukuran yang terkecil dari keberadaan seekor binatang yang hidup adalah lebih baik daripada ukuran yang terbesar dari sesuatu yang mati. Artinya selama masih ada kehidupan, masih ada waktu untuk bersiap bagi kematian.  Itulah harapan dalam kehidupan.

Dengan kata lain, selama seseorang belum mengalami kematian, ia masih beroleh kesempatan untuk mengisi hidup untuk mencapai harapan yang ada. Mengisi kehidupan dengan baik adalah lebih berguna daripada meratapi kematian. Sekali lagi, ini menunjuk pada pentingyna menggunakan waktu kita di atas bumi untuk bersiap bagi kematian. Pada bagian pertama ini, Pengkhotbah menegaskan bahwa kehidupan di dunia ini pada akhirnya adalah kesia-siaan oleh karena semua mahkluk pastilah mati. Namun kesia-siaan dalam kehidupan ini akan tetap memberi harapan apabila kita yang masih hidup mampu mengisi dengan baik kehidupan ini.

2.      Cara mengisi kehidupan agar terhindar dari kesia-siaan (ayat 7-10)
Jika kehidupan yang sia-sia ini masih memberi harapan apabila manusia yang masih hidup ini mampu mengisinya dengan baik, maka pertanyaan penting adalah: bagaimana mengisi kehidupan ini agar tidak sia-sia? Ayat 7-10 menjelaskan tentang cara mengisi kehidupan supaya lebih bermakna dalam harapan dari pada kesia-siaan. Dalam ayat 7-10 ini, kita menemukan Minimal ada tiga hal penting yang harus dilakukan oleh setiap orang selama masih ada kesempatan hidup di dunia ini, yakni:
Pertama, Nikmatilah Hidup ini sebagai berkat dari Tuhan. Bagi Salomo adalah lebih berguna menikmati hidup sebagai pemberian Allah, dari pada meratap dan mengalami ketakutan menanti kehidupan. Dalam ayat 7 dan ayat 9 Salomo memberikan contoh berkat Tuhan dalam kehidupan. Nikmatilah makanan dan minuman selama ada dalam kehidupan sebab itu adalah pemberian TUHAN Allah pencipta. Nikmatilah dengan penuh kebahagiaan karunia hidup sebagai makluk sosial yang bergaul dan saling membutuhkan satu dengan yang lain dalam dunia, seperti hidup berkeluarga, bermasyarakat dll. Itu juga adalah anugerah dan pemberian TUHAN. Nikmatilah dengan sukacita, nikmatilah dengan kebahagiaan hidup.
Kedua, Usahakanlah Kebahagiaan dan Sukacita dalam hidup ini. Dalam ayat 7 dan 9 bacaan kita, Pengkhotbah menyarankan untuk menikmati hidup ini dengan penuh kebahagiaan dan sukacita sebagai pemberiaan atau anugerah dari Tuhan. Namun dalam ayat 10 bacaan kita, pengkhotbah mengingatkan bahwa kebahagiaan dan sukacita dalam hidup sebagai anugerah Tuhan haruslah DIUSAHAKAN. Kebahagiaan tidak jatuh dari langit dan muncul tiba2 di bawah matahari ini. Kebahagiaan harus diusahakan oleh manusia. Itulah sebabnya ia menyarankan bahwa manusia perlu bekerja keras sekuat tenaga untuk menghadirkan kebahagiaan dan sukacita dalam hidup. Selagi masih hidup bekerjalah!! Selagi masih hidup usahakanlah kebahagiaan dan sukacita itu.
Ketiga, Hindarilah Dosa selama menikmati kehidupan ini. Dalam melaksanakan dua poin di atas, Pengkhotbah menegaskan dalam ayat 8 bacaan kita: “Biarlah selalu putih pakaianmu”. Artinya bahwa selama meniikmati hidup ini sebagai karunia Tuhan; dan selama bekerja dan mengusahakan kebahagiaan hidup, maka usahakanlah kebaikan dan janganlah mengotori putihnya hidup itu dengan kotoran dosa. Hidup disebut bahagia dan dapat dinikmati apabila selama menjalani dan mengisi hidup ini, manusia menjaga dirinya dan warna hidupnya agar tidak terkotori oleh dosa.

3.      Manusia bukan faktor penentu dalam hidup (ayat 11-12)
Bagian ini adalah bagian ke-3 yakni ayat 11-12 bacaan kita hari ini. Pengkhotbah menyatakan suatu pemahaman yang baru tentang mengusahakan hidup supaya lebih bermakna. Dalam ayat 10 di atas, Pengkhotbah mengatakan bahwa manusia harus mengusahakan dengan sekuat tenaga agar membuat hidup memiliki harapan. Ada kesan bahwa manusia adalah faktor penentu kehidupannya sendiri. Itu berarti secara logika semakin banyak belajar, maka semakin pintar. Jika semakin pintar maka semakin mungkin memperoleh kekayaan; semakin cepat orang berlari dalam pertandingan, maka semakin mungkin menang perlombaan; semakin kuat seseorang, maka semakin mungkin menang dalam perjuangan.

Namun, perhatikan ayat 11-12 bacaan kita! Apa yang dipaparkan Pengkhotbah berbeda dengan penjelasan logika di atas. Menurut Pengkhotbah di ayat 11: kemenangan dalam lomba bukan bagi yang cepat; menang dalam perjuangan bukan bagi si kuat; kekayaan bukan untuk mereka yang cerdas. Bukankah pernyataan ini bertentangan dengan hal yang alami dan konsep logis yang rill?

Mengapa Pengkhotbah menyatakan sesuatu yang tidak lazim? Perhatikan alasannya dalam ayat 12: Seperti ikan yang tertangkap dalam jala yang mencelakakan, dan seperti burung yang tertangkap dalam jerat,…”  Menurut Pengkhotbah Keselamatan ikan bukan tergantung pada kelihaiannya berenang; dan kelangsungan hidup burung tidak ditentukan oleh kecepatan terbangnya. Ada faktor lain yang turut menentukan kehidupan mereka, yakni faktor diluar kendali dan kuasa mereka yaitu JALA dan JERAT. Faktor ini dapat kita sebut dengan Faktor X, yakni Faktor diluar kuasa dan kemampuan kita termasuk kasus burung dan ikan tadi.

Untuk memahami faktor X ini marilah kita merujuk Markus 4:26-27 yang berbunyi: “Lalu kata Yesus: "Beginilah hal Kerajaan Allah itu: seumpama orang yang menaburkan benih di tanah, lalu pada malam hari ia tidur dan pada siang hari ia bangun, dan benih itu mengeluarkan tunas dan tunas itu makin tinggi, bagaimana terjadinya tidak diketahui orang itu. Tuhan Yesus menyebut Faktor X yang kita simpulkan dalam kitab Pengkhotbah tadi melalui perumpamaan tentang penabur. Siang dia menabur, malam dia tidur; siang di memberi pupuk dan malam dia tidur. Dan di saat malam dia tidak tidur, ternyata benih sedang berproses dalam tanah untuk mulai tumbuh. Saat petani tidak bekerja waktu malam, saat itulah terjadi pertumbuhan sehingga di siang hari, petani menemukan bahwa benih tanamannya sudah tumbuh. Proses bertumbuh benih ini diluar kendali si petani. Bisa saja walau dipupuk, benihnya busuk atau dimakan binatang. Intinya adalah kesuksesan dan keberhasilan hidup tidak tergantung pada andil manusia.

Kalau benar bahwa kesuksesan atau kegagalan hidup; dan keberhasilan atau kemalangan hidup tidak dapat ditentukan oleh faktor usaha dan kemampuan manusia seperti yang diungkapkan oleh Pengkhotbah dan dibenarkan oleh Tuhan Yesus melalui perumpamaanNya, maka pertanyaan penting untuk direnungi adalah faktor apa yang turut menentukan. Jawabnya Faktor X itu tadi. Kalau begitu apakah faktor X itu? Atau siapa faktor X yang misterius itu?

Untuk menemukan jawaban faktor X ini mari kita melihat pernyataan Paulus dalam 1Kor. 3:6 yang berbunyi: “Aku menanam, Apolos menyiram, tetapi Allah yang memberi pertumbuhan”. Penabur boleh menanam dan mengupayakan apapun soal pertumbuhan benih tanamannya, namun faktor penentu bertumbuh atau tidak benih itu dalah TUHAN. Tuhanlah yang menjadi faktor X penentu bertumbuh tidaknya beenih tanaman dari penabur tersebut.

Dengan demikian kita dapat memahami maksud Pengkhotbah dalam seluruh perikop pasal 9:1-10 ini. Bahwa dalam hidup ini penuh dengan kesia-siaan. Manusia hanya akan mampu berpengharapan dalam kehidupan yang sia-sia ini jika mampu mengisi kehidupan ini dengan baik, mau bekerja dan berusaha serta mengekang diri dari tindakan mengisi kehidupan dalam dosa. Inilah cara agar mampu berpengharapan dalam kehidupan yang penuh kesia-siaan tersebut. Namun, Pengkhotbah mengingatkan kita bahwa berhasil atau tidaknya kita memiliki pengharapan dalam hidup, tidak pernah ditentukan oleh usaha dan kemampuan kita. Ada faktor penentu yang sangat penting, yakni TUHAN, Allah kita.

Karena itu yang paling penting bukanlah memahamim bahwa ada kesia-siaan dalam hidup ini; bukan pula terpenting bagaimana mengisi kehidupan ini. Namun yang terutama dari semua itu adalah apakah TUHAN, Sang Penguasa kehidupan ini telah kita perhitungkan dan libatkan dalam menjalani hidup ini. Sebab sehebat apapaun kita mengusahakan hidup lebih baik, lebih bahagia, lebih sejahtera dll, hanya TUHAN jualah yang punya kuasa untuk menentukannya. Amin.

Monday, May 16, 2011

MATERI KHOTBAH IBADAH SEKTOR 18 MEI 2011

MATERI KHOTBAH IBADAH SEKTOR 18 MEI 2011
YESAYA 55:8-11

Jemaat kekasih Tuhan.
Kitab Yesaya yang kita baca ini ditulis dalam suasana ketika mereka mulai menyiapkan diri kembali dari pembuangan di Babel. Marilah kita bayangkan apa yang terjadi di Yerusalem tempat dulu mereka tinggal dan sekarang telah kosong selama 70 tahun. Mengerikan!! Itu adalah istilah yang tepat. Negeri tempat tinggal mereka menjadi kota mati tanpa kehidupan dan penghuni. Bagaimanakah mereka dapat hidup apabila tidak ada lagi orang yang berladang. Dari mana memperoleh roti dan gandum jika tidak ada yang bercocok tanam. Bagaimana cara mereka akan membangun kota Yerusalem yang hancur? Demikianlah orang Israel dari buangan di Babel mengalami kekuatiran tentang masa depan mereka ketika kembali ke kampung halaman.

Jemaat kekasih Tuhan.
Apakah jawaban Tuhan terhadap segala kekuatiran umatNya itu? Ada beberapa prinsip penting yang Tuhan nyatakan menghadapi kenyataan hidup yg pahit dari Israel yang ada dalam masa akhir pembuangan, yakni:
1.       Rancangan Tuhan (ayat 8-9).
Rancangan yang Tuhan berikan bagi umat Israel sulit untuk dapat dipahami. Mengapa demikian, karena Israel melihat rancangan itu hanya pada kacamata manusia. Pandangan mata manusia terbatas, jangkauan melihat dan memprediksikan masa depan tidak dimiliki manusia, termasuk Israel. Itulah sebabnya, Tuhan berkata kepada mereka: “RancanganKu bukanlah rancanganmu; jalanmu bukanlah jalanKu” (ay.8).

Artinya, Israel menganggap tahu rancangan Tuhan, sehingga mulai berusaha menemukan jalan agar dapat mencapai rancangan tersebut. Perhatikanlah bahwa salah prediksi tentang rancangan, akan pula berakibat salah milih cara atau jalan atau strategi ke rancangan itu. Tidak ada yg mengerti rancangan Tuhan, termasuk Israel, yang ditegaskan dengan jelas pada ayat 9 bacaan kita. Sehingga adalah mustahil untuk memperoleh cara atau jalan jitu menggapai rancangan tersebut.

2.       Tidak Instan, namun berproses (ay.10).
Perhatikan ayat 10. Bagaimana cara Tuhan melaksanakan rancanganNya? Ayat 10 menyebut tentang proses alami yang berjalan lambat namun pasti. Proses itu adalah sebagai berikut: Agar roti (gandum) dapat di makan, petani harus menabur dan menanam benih gandum gandung; agar benih gandum yang ditanam bisa tumbuh subur, maka perlu pengairan yang baik; agar ada air yang mengairi bumi, maka perlu hujan atau salju dari langit. Demikian uraian ayat 10 tetang proses rancangan tersebut.

Dengan demikian, kita memahami bahwa Rancangan Tuhan adalah Israel harus dapat makan Roti. Namun jalan dan cara bisa makan roti alias cara dan cara mencapai rancangan itu butuh proses yang panjang. Ini menunjukkan bahwa cara kerja Tuhan tidak seperti yang kita banyak pikirkan. Biasanya manusia menginginkan bahwa segala sesuatu hauslah instan… serba cepat saji.. namun rupanya harus berproses sesuai waktu dan rancangan Tuhan.

Jemaat kekasih Tuhan.
Salah satu hal terindah dalam kehidupan orang percaya adalah kita belajar untuk mengenal jalan-jalan Tuhan yang luar biasa.  Namun jalan Tuhan pada kenyataannya adalah sangat bertentangan dengan jalan-jalan kita.  Jalan Tuhan itu terkadang aneh atau ganjil menurut penilaian kita dan hal itu sulit digambarkan atau dibayangkan. "Seperti tingginya langit dari bumi, demikianlah tingginya jalanKu dari jalanmu dan rancanganKu dari rancanganmu."  (ayat 9).  Jalan-jalan Tuhan juga acapkali bertentangan dengan apa yang kita harapkan dan inginkan.

Mengapa Tuhan mendesain jalan-jalanNya sedemikian rupa?  Kita yang belum memiliki keintiman dengan Tuhan akan beranggapan bahwa jalan-jalan Tuhan itu sama atau sesuai dengan keinginan dan kehendak kita sendiri.  Bila yang terjadi itu sesuai dengan keinginan dan kehendak kita, maka dengan cepat kita akan menyimpulkan,"Inilah jalan TuhanSebaliknya, jika jalan-jalan Tuhan itu tidak seperti yang kita harapkan, kita pun akan berkata, "Ini bukan jalan Tuhan."  Di dalam Alkitab kita akan menemukan betapa jalan-jalan Tuhan itu justru sangat bertentangan dengan segala keinginan dan juga logika kita.  Contoh: ketika terjadi kekeringan dan kelaparan, Tuhan membawa Elia ke sungai Kerit dan burung-burung gagak memberinya makan.  Setelah itu kita renungkan, apa yang dialami Elia itu sungguh tidak masuk akal.  Tetapi itulah jalan Tuhan yang benar-benar tak dapat kita selami.

Jemaat kekasih Tuhan.
Biasanya, disaat kita tertekan dengan beban berat hidup ini, kita sering berkata, "Kami membutuhkan mukjizat--segera!" Kita semua tahu bagaimana rasanya tertekan oleh situasi atau hubungan yang retak. Dalam kecemasan, kita ingin Allah campur tangan tanpa menunda-nunda. Dalam Yesaya 55:10-11 Allah menggunakan alam dalam menggambarkan proses yang lambat untuk menghasilkan buah yang bertahan lama ini. Seperti halnya hujan dan salju yang menyirami bumi dan setelah jangka waktu tertentu menghasilkan biji untuk ditabur dan roti untuk dimakan, demikian pula Firman Allah akan menggenapi tujuan-Nya. Allah berkata, "Ia [Firman-Ku] akan melaksanakan apa yang Kukehendaki, dan akan berhasil dalam apa yang Kusuruhkan kepadanya." Dan apakah "yang Kusuruhkan" itu? Pembaruan hidup manusia dan dimuliakannya nama Allah. Mukjizat inilah yang kita butuhkan, yakni karya Allah dalam hidup kita melalui Firman-Nya. Karya ini memang tidak langsung memberikan hasil, tetapi bersifat adikodrati.

Karena itu apakah yang harus kita lakukan saat ini? Minimal ada dua hal yang perlu kita lakukan ketika menghadapai rancangan Tuhan yang “aneh” dan “menyulitkan” dalam hidup kita sehingga kita mengalami pergumulan hidup, yakni:

1.       Mintalah hikmat kepada Tuhan.
Banyak orang selalu merasa paling tahu tentang jalan hidup ini. Padahal tidak ada satupunyang tahu akan hari esok. Kita tidak perlu tahu hari esok, tapi kita seharusnya dapat mengerti tentang rancangan Tuhan untuk hidup kita. Untuk itu kita butuh pengertian alias hikmat dariNya agar dapat memahami rancangan Tuhan dalam hidup kita.

Apabila kita telah mengerti rancangan Tuhan dalam hidup kita, maka terberat sekalipun hari ini kita jalani hidup, kita akan mampu berpikir lebih positif dan berpengharapan. Kita akan mampu menerima dalam iman bahwa Tuhan tidak akan pernah merancangkan kecelakaan dalam hidup ini (Yer.29:11). Sehingga dengan iman kita bisa mengerti rancangan Tuhan itu, yakni “segala sesuatu indah pada waktunya” (Pkh.3:11). Itulah cara mengerti rancangan Tuhan yang ajaib tersebut.

2.       Mintalah jalan keluar kepada Tuhan.
Walaupun kita sudah mengerti bahwa Tuhan tidak pernah merangcangkan kecelakaan dalam hidup ini, namun untuk mencapai damai sejahtera itu tidaklah instan. Itu butuh proses yang tidak singkat. Terkadang dalam proses itu, kita harus melewati padang gurun (Israel 40 tahun di gurun); atau menghadapi tembok tebal penghalang masa depan hidup ini yang sulit ditembus (Israel terbentur tembok Yerikho) atau hal lainnya. Kita mungkin putus asa seperti Israel yang sulit menerima kenyataan itu.

Perhatikan bagaimana Tuhan memberikan jalan keluar bagi mereka. Di padang gurun yang tidak menentu arah, Tuhan mengirim tiang awan pada siang hari dan tiang api pada malam hari. Saat menghadapi kokohnya tembok Yerikho, Tuhan menggiring umatNya dalam pujian yang dasyat selama 6 hari 1 kali putaran, dan dihari ke-7 dilakukan 7 kali putaran. Luar biasa. Tembok itupun roboh.

Saat tidak ada jalan, kita harusnya hanya meminta TUHAN untuk dapat menyediakan jalan keluar itu. Mintalah kepada Tuhan, bukan pada yang lain walaupun mungkin yang lain itu lebih instan. Tuhan satu-satunya jalan sebab Dialah Jalan dan kebenaran dan hidup itu (Yoh.14:6).

Jemaat kekasih Tuhan.
Selamat menikmati kasih Tuhan dalam hidup ini. Selamat menjalani rancanganNya dan jalan-Nya yang ajaib dalam berbagai ketegangan, pergumulan, halangan dan bahkan persoalan hidup sekalipun. Yakinlah baha Tuhan kita akan selalu mendampingi dan menyertai. Amin.

GALATIA 2:15-21

GALATIA 2:15-21 BAHAN KHOTBAH IBADAH HARI MINGGU 27 APRIL 2025   PENDAHULUAN Jika kita membaca surat Paulus kepada jumat Galatia i...