Friday, March 8, 2019

MATIUS 18:1-18



TIDAK TERSESAT ATUPUN MENYESATKAN
Bahan Khotbah Ibadah Minggu
10 MARET 2019

P E N D A H U L U A N
Awalnya agak membingungkan mengapa GPIB mengambil 4 perikop sekaligus (Mat.18:1-18) sebagai bahan bacaan untuk dikhotbahkan pada hari Minggu ini. Namun apabila kita membaca seluruh perikop tersebut kita menemukan korelasi (hubungan) dari keempat perikop tersebut tentang kerajaan Sorga. Perikop pertama: Siapa yang terbesar dalam Kerajaan Sorga (ay.1-5) berbicara tentang bagaimana masuk ke dalam Kerajaan Sorga dan menjadi terbesar di dalamnya. Perikop kedua: Siapa yang menyesatkan orang (ay.6-11) berbicara tentang penegasan bahwa seorang penyesat tidak mendapat bagian dalam Kerajaan Sorga.







Perikop ketiga: Perumpamaan tentang domba yang hilang (ay.12-14) berbicara tentang kepedulian Allah untuk membawa pulang mereka yang tersesat agar dapat terhimpun dalam Kerajaan Sorga. Terakhir, perikop keempat: Tentang menasehati sesama saudara (ay.15-18) berbicara tentang panggilan orang percaya untuk menjadi kawan sekerja Allah agar mereka yang berdosa dan tersesat dapat dirangkul kembali untuk diselamatkan. 

EXEGESE TEKS (Uraian Perikop)
Berikut ini akan diuraian 4 perikop tersebut sebagai suatu kesatuan yang tidak terpisahkan dalam rangka menjelaskan tentang peluang memperoleh kesempatan masuk Kerajaan Sorga bagi mereka yang tersesat dan yang menyesatkan

A.       Siapa yang terbesar dalam Kerajaan Sorga (ay.1-5)
Perikop ini dimulai dengan sebuah pertanyaan yang disampaikan para murid kepada Yesus: “siapakah yang terbesar dalam kerajaan Sorga?” Pertanyaan ini dijawab oleh Tuhan Yesus dengan cara memangil dan seorang anak kecil dan ditempatkan di tengah mereka. Yesus menggunakan “alat peraga” yakni anak kecil untuk menjawab pertanyaan mereka. Istilah yang dipakai untuk “anak” pada bacaan kita menggunakan istilah παιδίον (paidion) yakni anak kecil beruisa sekitar 2-5 tahun. Tuhan Yesus tidak menggunakan istilah νηπιος (nêpios) atau βρεφος (brepos) untuk bayi yang baru lahir atau yang belum berusia 2 tahun. Tuhan Yesus juga tidak menggunakan istilah παις (pais) yang berarti anak muda atau remaja. Dengan demikian figur percontohan dari mereka yang terkategori sebagai “berhak masuk ke dalam kerajaan Sorga” adalah anak kecil yang sudah mandiri (bisa beraktifitas sendiri, main sendiri, makan sendiri), dan memiliki kemauan sendiri tetapi masih “polos” belum banyak mengerti tentang kehidupan.
Jika dihubungkan dengan kalimat “jika kamu tidak bertobat seperti anak kecil ini” (ay.3) maka penjelasan Yesus dapat mudah untuk dimengerti. Seorang anak kecil bukan tidak pernah berbuat salah, namun jika berbuat salah lebih mudah diarahkan tanpa perlawanan atau argumentasi apapun. Berbeda dengan orang dewasa yang jika salah sekalipun akan berusaha membenarkan diri dan mencari peluang untuk tetap melakukan kesalahan yang dipandang benar. Menjadi seperti anak kecil yang bertobat berarti dengan mudah mengakui kesalahan dan kemudian tidak melakukan kembali. Karena ketaatan anak kecil lebih mudah diharapkan ketimbang mereka yang sudah dewasa.
Itulah sebabnya Tuhan Yesus menegaskan bahwa merendahkan diri seperti anak kecil (ay.4) akan mmbuat seorang terkategori bukan saja berhak memperoleh Kerajaan Sorga melainkan juga menjadi yang terbesar. Mengapa? Karena anak kecil cendrung dalam kepolosannya tidak memperdulikan kedudukan dan harga diri. Jika dapat bermain bersama dan terpenuhi kebutuhan, cukuplah sudah. Dengan kata lain, justru mereka yang mencari kedudukan tinggi tidak akan memperoleh posisi itu. Sebab Kerajaan Sorga adalah soal kerendahan hati.

 
B.       Siapa yang menyesatkan orang (ay.6-11)
Tuhan Yesus tidak bermaksud bahawa yang beroleh Kerajaan Sorga adalah anak-anak kecil, tapi yang ia maksudkan adalah tindak tanduk yang polos, sederhana, tidak memegahkan diri seperti anak-anak kecil adalah kategori warga Kerajaan Sorga. Akan tetapi, pada perikop kedua ini, anak-anak kecil kembali dimunculkan Yesus secara khusus ketika berbicara tentang penyesatan. Apa maksudnya?
Anak-anak kecil rentan terhadap membedakan mana yang baik dan mana yang jahat. Mereka dengan mudah dituntun ke arah manapun benar atau salah). Maka jika ada yang menyesatkan mereka, anak-anak kecil akan mudah dissatkan. Dengan tegas Yesus berkata bahwa mereka yang menyesatkan anak-anak kecil ini yang percaya kepada kepadaNya, sebaiknya diikat lehernya dengan batu dan ditenggelamkan ke dalam laut (ay.6). Istilah “anak-anak kecil” juga menunjuk orang yang baru saja percaya, yakni mereka yang belum kokoh imannya dan mudah diombang-abingkan. Barangsiapa menyesatkan orang-orang yang lemah imannya seperti ini maka hukuman akan dibrikan kepadaNya.
Bagi Yesus, tidak dapat dielakkan bahwa penyesatan pasti ada dalam dunia, tetapi mereka yang melakukannya pasti binasa (ay.7). Penyesat tidak memiliki tempat dalam Kerajaan Sorga. Karena itu Tuhan Yesus sangat tegas terhadap penyesatan sehingga ay.8,9 bacaan kita memperlihatkan kejamnya perlakuan terhadap penyesat. Bagi Yesus jika tangan atau kaki atau mata menyesatkan, adalah wajib untuk memotong dan mencukil bagian itu. Karena lebih baik masuk Kerajaan sorga tanpa mata, kaki dan tangan daripada dicampakkan kedalam api neraka. Ketegasan ini menunjuk bahwa bagi Tuhan Yesus penyesat tidak boleh dipandang remeh. Anggota keluarga, anggota persekutuan sedekat apapun hubungannya tetap harus dipisahkan, jika ia adalah penyesat.

C.       Perumpamaan tentang domba yang hilang (ay.12-14)
Jika pada perikop tentang penyesatan terlihat bahwa Tuhan Yesus tidak berkompromi terhadap mereka, maka berbeda dengan perumpamaan tentang domba yang hilang. Bagi Tuhan Yesus mereka yang tersesat (bukan penyesat) tidak boleh dikucilkan dan atau ditinggalkan. Tuhan Yesus menggambarkan kepeduliaan Allah bagaikan seorang gembala yang mencari domba yang hilang.
Sorga tetap berduka jika ada yang tersesat. Tidak berhenti disitu, Allah yang peduli akan mencari yang hilang dan tersesat itu untuk di bawah pulang. Dalam tradisi Israel, adalah tanggung-jawab gembala untuk mencari domba yang hilang hingga menemukannya. Ini bukan persoalan untung-rugi, ini tentang relasi yang begitu kuat dan dekat seorang gembala kepada dombanya. Itulah sebabnya resiko meningalkan 99 ekor berani ia ambil demi mencari seeokor yang hilang itu (ay.12) dan bahkan sukacita ketika akhirnya yang hilang itu ditemukan akan lebih besar dibanding melihat yang 99 lainnya (ay.13). Sekali lagi kisah ini tidak ada hubungan dengan hukum ekonomi untung-rugi tetapi mengedepankan kepedulian.
Perumpamaan ini sekaligus menekankan kepada pendengar kisah ini bahwa TUHAN Allah adalah pribadi yang penuh kasih dan peduli. Sebagai Gembala Agung, Dia tetap berprinsip bahwa “Yang hilang akan Kucari dan yang tersesat akan Kubawa pulang, yang luka akan Kubalut dan yang sakit akan Kukuatkan…”  (Yeh.34:16). Hal kerajaan Sorga adalah bukan hanya soal siapa yang akan berhak memperolehnya, tetapi juga tentang Kasih dan kepeduliaan Allah.

D.       Tentang menasehati sesama saudara (ay.15-18) 

Perikop keempat ini masih berhubungan erat dengan perikop ketiga tentang kepeduliaan Allah bagi yang tersesat. Menurut Yesus bahwa kepeduliaan Allah bagi mereka yang tersesat seharusnya juga menjadi kepedulian bersama sesama orang beriman. Jika mendapati ada yang berbuat dosa (tersesat) maka mereka justru jangan dijauhi dari persekutuan, sebaliknya perlu untuk dirangkul. Prinsip yang diajarkan oleh Tuhan Yesus ini terpampang jelas dalam Taurat Israel yakni pada Imamat 19:17, yang berbunyi: "Janganlah membenci saudaramu di dalam hatimu, tetapi engkau harus berterus terang menegor orang sesamamu". Untuk melakukannya, perlu langkah bijaksana dan tahapan penting, yakni:
1.      Pembicaraan pribadi (ay.15)
Penting untuk mendekati secara personal (pribadi). Tujuannya agar yang berdosa itu tidak dipermalukan di depan umum. Perkara-perkara yang bisa diselesaikan di ruang privat (pribadi) tidak perlu diumbar di ruang terbuka. Tahap pertama ini disebut dengan pendekatan personal, percakapan pengembalaan khusus. Dengan percakapan dari hati ke hati, kiranya yang bersangkutan dapat menyadari kesalahannya dan bertobat.

2.      Pembicaraan melibatkan saksi (ay.16)
Apabila gagal, yakni yang bersangkutan tidak mengakui kesalahannya maka perlu dihadirkan saksi. Tujuan utama adalah agar tidak menjadi fitnah dan penghakiman sepihak. Di sisi yang lain, saksi diperlukan untuk menguatkan “tuduhan” atau juga “nasehat” bagi yang berdosa tersebut. Dengan hadirnya orang lain, kiranya yang bersangkutan dapat menyadari kesalahannya dan bertobat.

3.      Pembicaraan di depan jemaat
Apabila tahap ke-2 masih saja tidak berhasil, masuk kepada tahap yang ke-3. Prosedur ini dirumuskan untuk menunjukkan bagaimana pihak yang dirugikan harus menanggapinya. Tahap ke-3 seringkali melahirkan langkah yang drastis yaitu 'pengucilan'. Dari pengucilan ini barangkali dimaksudkan untuk membuat kejutan bagi yang berdosa supaya mengadakan rekonsiliasi. Proses yang sama ditempuh oleh jemaat di Israel pada masa lalu berdasarkan Ulangan 19:15.
Pernyatan "Sampaikanlah soalnya kepada jemaat" (ayat 17) dilakukan jika pihak yang bersalah tetap tidak mau mengakui kesalahannya (dan dosanya cukup parah sehingga mempengaruhi jemaat). Gereja/ Sidang Jemaat harus ikut campur menangani masalah tersebut. Ketidak-sediaan untuk mematuhi nasehat gereja (jemaat) menjadikan orang yang bersalah tadi harus dianggap sebagai orang yang tidak seiman ("tidak mengenal Allah, pemungut cukai") Tentu saja, tindakan semacam ini harus termasuk usaha untuk menjangkaunya dengan Injil.

Tujuan akhir dari tiga tahap ini adalah untuk memberikan kesempatan bagi yang tersesat (berbuat dosa) agar menyadari dosanya, mengakuinya dan kemudian bertobat. Dengan kata lain, hal Kerajaan Sorba bukan soal siapa yang boleh masuk ke dalamnya, melainkan kasih pada sesama karena kasih Allah merangkul semua. Kerajaan Sorga adalah soal kepedulian, kasih dan perhatian.


APLIKASI DAN RELEFANSI
Berdasarkan uraian terhadap empat perikop di atas yang berkorelasi dengan Kerajaan Sorga, maka ada beberapa pokok kebenaran firman Tuhan ini untuk diaplikasikan, yakni:
Pertama, Hal yang terpenting soal Kerajaan Sorga adalah bukan soal siapa yang masuk kedalamny atau yang terbesar jika ada di dalamnya. Itulah sebabnya, pertanyaan para murid mengenai siapa yang terbesar tidak langsung dijawab oleh Tuhan Yesus. Bagi Yesus yang terpenting adalah bukan siapa tetapi bagaimana masuk ke dalam Kerajaan Sorga. Yakni ketulusan hidup, kepolosan tanpa kelicikan, dan kerendahan hati tanpa mementingkan diri sendiri sebagaimana sifat yang ditunjukkan oleh anak kecil pada umumnya, demikianlah seharusnya sikap hidup orang percaya yang mengingini kehidupan kekal di Kerajaan Sorga.
Kedua, tanggung-jawab orang beriman adalah menjadi alat Tuhan untuk mengiring orang menjalani hidup yang benar dan bukan menyesatkan. Apapun alasannya, bagi Allag tidak ada tempat bagi seorang penyesat dalam Kerajaan KudusNya itu.
Ketiga, adalah suatu penegasan khusus bahwa hal Kerajaan Sorga adalah soal kepedulian Allah. Itulah sebabnya kasih Allah yang merangkul dan peduli itu tidak memperhitungkan untung dan rugi. Demi keselamatan orang percaya maka segala sesuatu Ia korbankan termasuk mengutus anakNya ke dalam dunia mencari dan menyelamatkan yang hilang. Kabar baik bagi semua orang adalah Tuhan tidak pernah berhenti mencari mereka yang tersesat. Tidak ada alasan bagi Tuhan untuk mengabaikan mereka. Persoalan penting bagi kita saat ini, apakah kita ”yang tersesat” itu mau dan bersedia untuk ditemukan? Apakah mau bertobat?
Keempat, kita yang telah mengecap keselamatan dan telah mengerti kebenaran memiliki panggilan mulia untuk menjadi perpanjangan “tangang Allah” yakni merangkul mereka yang tersesat. Untuk melakukannya perlu dikerjalan dengan cara bijak seperti tiga tahapan yang diuraikan di atas. Jangan menjadi hakim bagi sesamamu, sebaliknya rangkullah mereka bukan untuk dihukum dan dikucilkan melainkan agar mereka dapat lagi mendengar dan melihat kebenaran Allah. Kiranya kita mampu untuk melakukannya. Amin.    

No comments:

Post a Comment

TUHAN BERKARYA TANPA BATAS DALAM DIRI UMATNYA

  EFESUS 3:14-21 TUHAN BERKARYA TANPA BATAS DALAM DIRI UMATNYA (Skill, Pengetahuan, Teknologi, Digitalisasi dan Potensi Lain dalam Hidup B...