1
YOHANES 3:11-18 (SBU 3:11-15)
PENDAHULUAN
Sejak
kecil kita sudah mengenal kasih, lewat orang tua, lewat saudara dan lewat
teman-teman. Sejak kecil kita juga telah dituntut untuk mengasihi. Kita belajar
untuk mengasihi. Kita dididik untuk mengasihi. Sampai saat ini, kita masih
tetap dituntut dan diajar tentang kasih.
Dalam
I Yohanes 3:11 dikatakan, “Sebab inilah berita yang telah kamu dengar dari
mulanya, yaitu bahwa kita harus saling mengasih”. Sejak pertama
kita mengenal Kristus, perintah untuk saling mengasihi sudah kita dengar. Sejak
kita pertama kali muncul di dunia ini, kita sudah mengenal kasih. Belaian
lembut dari Ibu mengajarkan kita tentang kasih. Sampai saat inipun kita selalu
ingin dikasihi dan mengasihi. Seakan-akan kasih itu ada disepanjang hidup kita.
Tetapi, apakah kita sungguh-sungguh mengerti tentang kasih? Berapa banyak kita
berkata kepada orang lain kita mengasihi mereka. Terhadap orang tua kita,
terhadap suami/istri, terhadap pacar/tunangan kita terhadap saudara dan
teman-teman kita? Khususnya terhadap Tuhan?
TELAAH PERIKOP
Bacaan
kita saat inipun berbicara tentang Kasih itu. Rasul Yohanes menjelaskan dengan
perspektif sederhana untuk mendefenisikan apakah Kasih itu. Ada beberapa pokok
penting yang dijelaskan Rasul Yohanes mulai ayat 11-18. Karena itu perikop ini
jangan berhenti pada ayat 15 sebagaimana anjuran SBU, namun perlu dibaca secara
utuh hingga ayat 18. Pokok pikiran dalam
perikop ini adalah:
1. Mengasihi
bukanlah perintah yang baru bagi orang percaya. Penekanan penting ini
disampaikan oleh Rasuk Yohanes pada ayat 11. Mengapa? Karena hal itu sudah
mereka dengar dari mulanya dan Kasih adalah inti ajaran Kristus sejak semula.
Perintah untuk saling mengasihi adalah perintah yang disampaikan Yesus kepada
para muridNya sebelum di salib. Dan itu Yesus sebut sebagai perintah baru (Yoh.
13:34).
Namun karena
perintah sudah pernah diteruskan kepada mereka oleh para rasul, maka seharusnya
perintah mengasihi bukan menjadi hal baru yang sulit untuk dilakukan. Dengan
memahami bahwa perintah mengasihi sudah mereka ketahui, maka Rasul Yohanes
menduga bahwa harusnya pula apa yang sudah diketahui itu harus juga dikerjakan.
2. Selanjutnya
Yohanes mengingatkan bahwa kendatipun kita sungguh mengasihi orang lain, belum
tentu pula mereka mengasihi kita. Contoh mengenai kasus Kain dan Habel
diberikan Yohanes sebagai bukti dari suatu kebencian mutlak yang berakhir pada
pembunuhan (ay.12).
Dunia yang
tidak percaya pastilah tak mungkin mengasih orang percaya (ay.13). Namun
kebencian mereka harus tetap dibalas dengan kasih tanpa pamrih tersebut. Sebab
jika kebencian yang diperoleh dari dunia yang jahat ini, dibalas dengan
kebencian yang sama, maka orang percaya tidak jauh berbeda dengan dunia yang
jahat. Untuk membedakan diri orang percaya yang telah berpindah dari maut ke
dalam kasih Karunia Kristus, maka Yohanes meminta umat Tuhan untuk tetap
mengasihi mereka yang menganggap orang percaya itu musuh. Bahkan lebih jauh,
anggaplah mereka bagaikan saudara untuk dikasihi (ay.14).
3. Ada
hal menarik yang ditegaskan Yohanes pada ayat 15 untuk men-jelaskan apakah
kasih itu. Yohanes membandingkan Kasih itu sebagai tindakan berlawanan dari
kebencian. Membenci saudara sama dengan membunuh saudaranya itu (ay.14). Hal
ini harus dimengerti dalam perbandingan terbalik suatu dikotomi antara istilah
musuh dengan sahabat (baca: saudara) dan dikotomi membunuh dengan menghidupkan.
Apabilah
seseorang membunuh (baca: membenci) saudaranya, hal itu sama artinya dengan ia
telah menghidupkan seorang musuh. Sebaliknya, barangsiapa mengasihi musuhnya, hal itu berarti ia telah menghidupkan seorang sahabat
(baca: saudara). Maka benarlah ungkapan ini: “cara mudah untuk menghilangkan
permusuhan adalah dengan mengubah musuh menjadi sahabat; cara bijak untuk
mempertahankan persahabatan adalah dengan menjadikan sahabat bagaikan saudara”
4. Lebih
lanjut, Yohanes memberikan ukuran mutlak kadar dari Kasih itu. Apakah ukuran
mengasihi itu? Ukurannya adalah cara Yesus mengasihi umatNya. Satu-satunya cara
Yesus menunjukkan KasihNya dalam kadar mutlak yang maksimal adalah memberikan
dirinya (Yun: agapao atau agape) melalui mengorbankan nyawaNya (ay.16). Itulah
sebabnya Yohanes mengarahkan bahwa kadar seorang mengasihi sesamanya adalah
relah mengorbankan segalanya, termasuk nyawanya sekalipun.
5. Di
bagian akhir perikop ini Yohanes menunjuk bentuk kongkrit dari Kasih yang
mengasihi itu. Bahwa kasih tidak dapat diungkapkan dengan kata atau lidah;
kasih tidak dapat hanya dinilai dengan perasaan. Semuanya hanya akan membuat
kasih menjadi abstrak atau tidak nyata.
Itulah
sebabnya dalam ayat 17, Yohanes memberi contoh nyata soal Kasih yang mengasihi,
yakni jangan hanya mengasihi saudara dengan keprihatinan dalam kata atau
pengertian dalam pikiran. Jika ia kekurangan sesuatu dan kita memiliki hal yang
ia butuhkan, maka seharusnya kasih yang kongkrit adalah lewat tidakan
memberikan apa yang ia perlu dan bukan sekedar keprihatinan yang semu. Sebab
Kasih yang sesungguhnya tidak terpapar secara abstrak dalam kata melalui lidah;
melainkan terwujud kongkrit dalam perbuatan dan kebenaran yang nyata (ay.18).
APLIKASI DAN RELEVANSI
Berdasarkan
uraian di atas, maka ada beberapa poin khusus yang dapat di terapkan dalam
kehidupan kita, yakni:
1. Kasih itu memang rohani. Sebab kasih
yang sejati itu hanya dapat datang dari Allah. Tetapi Yohanes berpesan, supaya
kasih itu jangan terlalu dirohanikan.
“Anak-anakku, marilah kita mengasihi bukan dengan perkataan atau dengan lidah,
tetapi dengan perbuatan.” Mengasihi
dengan perbuatan. Hal ini sudah tidak perlu dijelaskan alias sudah gamblang.
Yang tersisah hanyalah apakah dilaksanakan atau tidak.
Kasih itu bukan terutama untuk direncanakan. Bukan hanya
untuk dikhotbahkan. Bukan cuma untuk dislogankan atau diposterkan. Tetapi untuk
diwujudkan. Untuk dilaksanakan. Untuk ditindakkan. Untuk diamalkan. Sekarang, dan
di sini. Mengasihi bukan
dengan perkataan atau dengan lidah, tetapi dengan perbuatan! Love ini action.
2.
Tetapi perhatikanlah juga bahwa wujud kasih bukan hanya dalam perbuatan
nyata. Namun dalam ayat 18, Yohanes menekankan bahwa Kasih harus nampak dalam
perbuatan dan kebenaran. Jadi jangan abaikan “kebenaran” sebagai alat ukur
mengasihi. Mengasihi dalam kebenaran berarti kita melalukan sesuatu oleh karena
kita tahu bahwa yang kita lakukan itu benar. Kita tahu persis mengapa kita
lakukan itu; dan kita tahu bagaimana
melakukannya. Dan ketika melakukannya, kita tahu persis bahwa perbuatan kita
itu benar.
Bukan banyak orang melakukan sesuatu dengan alasan karena
mengasih? Tapi apakah perbuatan mengasihi untu berada dalam tataran kebenaran?
Adalah tidak benar adanya jika karena alasan mengasihi maka kita membiarkan
anak kita membawa kendaraan saat belum mencukupi persyaratan umur membawa
kendaraan bermotor sesuai ketentuan. Adalah tidak benar bahwa karena alasan
mengasihi maka kita menyembunyikan kesalahan dari orang yang kita kasihi.
Mengasihi mutlak di tunjukkan dengan perbuatan. Namun
perbuatan yang benar dalam kebenaran hakiki adalah kasih yang sesunguhnya.
3.
Silakan dikembangkan dengan melihat poin 1-3 pada telaah perikop, khususnya pada bagian “membenci
saudara sama dengan membunuh” dan kesediaan untuk “membalas kebencian dengan
kasih” sebagai ciri mereka yang telah menerima Kasih karunia Allah. Amin.
No comments:
Post a Comment