1 PETRUS 2:18-25
MENDERITA
DALAM KEBENARAN
Bahan Khotbah Ibadah Keluarga
28 November 2018
PENGANTAR
Surat
Petrus mulai dengan menjelaskan status pembaca sebagai “bangsa yang terpilih,
imamat yang rajani, bangsa yang kudus” (2:9) sebagai
kesimpulan dari 1:1-2:10.
Oleh karena itu, “sebagai pendatang dan perantau” (2:11), pembaca harus
melawan dosa dan hidup baik di tengah bangsa-bangsa, supaya Allah dimuliakan
(2:12). Dalam 2:13-3:7 hal itu dijelaskan dalam rangka hierarki-hierarki
masyarakat. Sebagai hamba Allah, orang percaya adalah orang merdeka, tetapi bukan untuk
berbuat jahat melainkan untuk berbuat baik (2:16), termasuk menghormati semua
orang sesuai dengan kedudukannya (2:17).
Para penerima surat 1 Petrus ini, hidup dalam masa-masa
sukar. Mereka ada di zaman sulit. Saat dimana Kekristenan alami penganiayaan.
Dibenci oleh Kaizar Nero, sang penguasa. Tentu saja, bagi
yang memiliki mentalitas cari aman, pilihan mengikuti jejak Yesus, bukanlah
keputusan cerdas. Mereka akan memilih menolak salib, sebab itu derita. Terhadap
yang setia beriman, namun minim pemahaman, Petrus bukan saja mencerdaskan,
namun juga menguatkan melalui suratnya ini.
TELAAH PERIKOP (Tafsiran)
Perikop kita dapat dibagi dua,
yaitu pertama, berisi nasehat tentang bagaimana bersikap sebagai
seorang Kristen dengan status sosial tertentu ditengah masyarakat (ay.18-20)
dan kedua, apa dasar dari atau alasan dari
nasehat-nasehat tersebut (ay.21-25).
1.
Isi Nasehat dan Himbauan Petrus (ay.18-20)
Tidak mudah untuk mengerjakan nasehat
yang ada pada ayat 18-20 bacaan kita. Bagaimana mungkin menerima begitu saja
tiap ancaman dan perlakuan tidak adil sebagai hamba terhadap tuan yang bengis
itu? Bahkan dalam ayat 19-20 penderitaan
akibat perlakuan buruk itu disebut “kasih karunia pada Allah”.
Bagaimana mengerti
perintah atau nasehat petrus ini?
Istilah “tunduk” dipakai oleh LAI untuk menerjemahkan kata “hupotassomai” yang berarti bahwa
saya menempatkan diri (membiarkan diri ditempatkan) di bawah pengaturan atasan. Jadi, kata itu tidak
semutlak “menaati”. Misalnya,
saya harus taat kepada Allah, dan anak (kecil) kepada orangtuanya. Tetapi dalam hubungan hierarkis, seperti pemerintah, tempat
kerja dsb, saya harus mengakui kuasa yang diberikan Allah kepada atasan. Pada
umumnya hal itu berarti bahwa saya menaati atasan, tetapi, seperti Petrus
sendiri yang “tidak taat” kepada
Mahkamah Agung Yahudi, ada saatnya juga saya harus menaati Allah daripada manusia (Kis 4:19).
Kemudian, kata “ketakutan” (Yun: fobos) di sini merujuk
pada rasa hormat. Tentang atasan, kata fobos dapat berarti “takut kena penyiksaan dari atasan yang bengis” atau “takut
mengecewakan atasan yang
ramah dan yang saya hormati”. Ketakutan yang pertama memang perasaan
yang dialami jika ada tuan yang bengis. Tetapi ketakutan yang kedua, tidak boleh diabaikan yakni takut mengecewakan tuan yang ramah. Dengan demikian, “tunduk dengan
penuh ketakutan” kepada tuan, harus
dipahami dalam dua kategori tadi.
Tetapi bagaimana jika diperlakukan
tidak adil oleh tuan yang begis? Tentu hal itu tiidaklah mudah, apalagi mesti
menganggap bahwa hal itu adalah kasih karunia. Dalam aya.19-20
terjemahan “kasih karunia” harus dimengerti sesuai dengan
pengertian asali dari istilah ini. Kata Kasih Karunia berasal dari istilah Yunani “kharis” yang berarti sikap yang baik kepada pihak lain.
Seringkali kata kharis dipakai untuk sikap Allah yang baik kepada
kita bukan karena perbuatan kita melainkan karena penebusan dalam Kristus, dan
untuk artian itu terjemahan “kasih karunia” oleh LAI adalah tepat.
Tetapi di sini
Petrus merujuk justru pada perbuatan atau sikap yang berkenan di hadapan Allah,
yaitu menanggung penderitaan yang tidak adil. Allah melihat perlakuan yang
tidak adil itu, dan memuji kita, bukan memuji tuan yang bengis. Jika kita tetap menerima dengan rela
keburukan itu tanpa bersungut maka di mata Tuhan itu adalah kasih karunia,
atau pada pandangan Allah perbuatan kita itu adalah perbuatan yang baik (kharis).
2.
Landasan dan alasan himbauan itu (ay.21-25)
Bagaimana kita
tahu bahwa Allah berkenan atas penanggungan penderitaan yang tidak adil dan menganggap apa yang kita lakukan
(menerima dengan tunduk pada atasan yang begis) dianggap suatu perbuatann baik
atau kasih karunia? Karena Kristus telah merintis jalan itu. Perlakuan
terhadap Kristus ketika Dia ditangkap dan disalibkan adalah perlakuan paling
tidak adil karena Kristus tidak ada dosa sama sekali (ay.22). Namun, Kristus
tidak membalas tetapi menyerahkan perlakuan itu kepada Sang Hakim yang adil (ay.23).
Jika kita menanggung penderitaan yang tidak adil, itu bukan suatu kerugian, sebaliknya
hal itu adalah kasih karunia atau dianggap perbuatan baik yang kita lakukan di
mata Allah.
Kita diajak untuk meneladani Kristus
dalam penderitaanNya dan menjadikan itu motivasi bagi kita untuk melakukan
perbuatan baik walau alami penderitaan (ay.24-25). Artinya, kita diajak
bahwa andaikata harus
menderita karena menjadi orang Kristen sekalipun, kita harus tetap berbuat
baik. Jangan hanya karena kondisi hidup yang tidak baik, kita akhirnya melakukan hal yang
tidak benar dan membawa kita dalam dosa.
Bagaimanapun hal itu tidak mudah.
Karena itu Petrus meneguhkan dan menguatkan mereka yang menderita ketidakadilan
itu untuk bersabar dan tetap berbuat baik. Dalam kesesatan
sebelum mengenal Kristus, tidak mungkin kita menanggung penderitaan yang tidak
adil tanpa dendam yang pahit. Tetapi karena kita sudah mengenal kasih Allah
yang diperlihatkan dalam pengorbanan Kristus, kita dapat membalas kejahatan
dengan kebaikan
(ay.24-25). Pada bagian ini sangatlah penting, yakni Petrus mengajak
kita untuk meninggalkan perbuatan dosa kita agar menjadi kesaksian bagi banyak
orang termasuk mereka yang menista kita sekalipun
RELEVANSI
DAN APLIKASI
Apa yang hendak
Petrus sampaikan pada para pembaca suratnya kala itu, Untuk dapat kita aplikasikan
dalam hidup beriman kita? Ada beberapa hal penting, yakni:
1. Perhatikan ayat 20 yang berbunyi: “…Tetapi jika kamu berbuat baik dan karena
itu kamu harus menderita, maka itu adalah kasih karunia pada Allah. Sebab untuk
itulah kamu dipanggil, karena Kristuspun telah menderita untuk kamu dan telah
meninggalkan teladan bagimu, supaya kamu mengikuti jejak-Nya.” Dengan sangat sederhana, Petrus mau mengatakan, bahwa
dengan mengikuti jejak Yesus, ujungnya adalah hidup! Bukan melulu penderitaan,
apalagi kematian. Dengan demikian, ia secara tegas mengingatkan kaum beriman di
zamannya, bahwa tidak sia-sia setia beriman, dandan meneladani
Kristus. Jika kita tetap rela menderita karena
kebenaran, maka itu dipandang oleh Allah sebagai perbuatan baik, yakni suatu
kasih karunia. Sehingga di masa sukar itupun, kita tetap dapat bersaksi
tentang kebenaran.
2. Motivasinya jelas, yaitu menyenangkan hati Allah. Para budak atau hamba pada jaman
itu diminta untuk tetap setia, berlaku benar, dan bersikap
baik pada para tuan mereka, bukan untuk menjilat. Bahkan tetap berbuat baik meskipun
diperlakukan jahat. Tujuannya untuk memuliakan
nama Allah! Menjadi teladan hidup bagi dunia sekitar. Lainnya, sebagai wujud
pelaksanaan dari tugas panggilan iman. Jadi entah kita mengalami penderitaan
atau tidak, saudara dan saya diajak meiliki motivasi yang tepat dalam hidup ini
yakni: Menyenangkan Tuhan.
3. Sebagai orang percaya kita dipanggil
untuk meneladani Kristus, yang rela menderita bahkan hingga mati di kayu salib.
Ia tidak melawan, iapun tidak membalas. Sebab ia tahu kepada siapa ia harus
tunduk, yakni pada Sang Bapa dan misiNya bagi dunia. Kerelaan kita untuk
menjalani kehidupan ini dan juga siap hadapi derita demi suatu kebenaran, hal
itu semata karena tunduk dan taat pada Sang Tuan yang Agung yakni Allah Bapa
kita. Kendatipun harus menderita, kita tetap memilih untuk tetap berbuat baik
dan benar. Supaya melalui itu nama Tuhan tetap dimuliakan.
Karena itu,
marilah jalani hidup ini. Entah di saat kita menderita sekalipun atau hidup
dalam sukacita, pastikan bahwa kita tetap menyenangkan Tuhan lewat memuliakan
namanya dalam semua keadaan hidup ini. Amin
No comments:
Post a Comment