Wednesday, January 16, 2019

MAZMUR 82:1-8


PENGHAKIMAN BAGI PELAKU KETIDAK-ADILAN
Bahan Bacaan Alkitab Ibadah Persekutuan Kaum Perempuan
Minggu, 20 Januari 2019


PENGANTAR
Pelaku kejahatan pada saatnya akan tertangkap dan kejahatannya terungkap. Bagian akhir adalah ia dihakimi oleh hakim untuk mengukur kadar yang tepat hukuman yang akan diberikan berdasarkan nilai kejahatannya. Di sinilah peran hakim dibutuhkan. Karena itu hakim harus mempunyai wawasan luas, kemampuan melihat dengan berbagai sudut pandang berbeda satu kasus tertentu, berhikmat untuk menhimpun tiap bahan putusan, dan keberanian atas nama kebenaran dan keadilan ketika membuat amar putusan bagi para pesakitan.

Sekarang bagaimana jika hakim justru membuat keputusan keliru. Keliru yang dimaksud tidak sesuai dengan kaidah hukum yang berlaku? Bagaimana jika berdasarkan wewenang yang ia miliki, hakim mengunakan kekuasaannya untuk menindas dan emutar-balikkan kebenaran? Bagaimana jika orang benar justru dihukum dan orang jahat bebas dari vonis? Mereka yang seperti itu adalah para pelaku ketidakadilan.  

TELAAH PERIKOP
Asaf memotret ketidakadilan yang terjadi di depan matanya, lalu berseru kepada TUHAN Allah Israel yang ia juluki sebagai Hakim juga. Ia menggambarkan tentang proses sidang ilahi (ay.1) untuk menghakimi para pembuat keputusan pengadilan di dunia (ay.2). Asaf menyampaikan sesuatu yang menarik tentang para hakim ini, yakni ia menyebut mereka sebagai “para allah” (ay.6). Istilah ini dalam teks asli tertulis אֱלֹהִים (baca: 'elohiym). Dari bentuk kata ‘elohim merupaka kata benda maskulin plural sehingga harus diterjemahkan dengan jamak (para allah, allah-allah). Secara literer, istilah ini berarti penguasa, pembuat aturan, pengadil (pembuat keadilan dan hukuman) yang umumnya diakui oleh umat Israel sebagai siapa TUHAN itu, yakni penguasa, pembuat aturan, pengadil atau Allah.

Maka, ketika membaca Mazmur ini, kita diajak oleh asaf membayangkan bahwa Hakim Agung yakni TUHAN, Allah Israel sedang menghakimi para penguasa, pembuat aturan, pengadil (hakim) atau para allah (huruf kecil) ini. Mengapa mereka dihakimi? Pada ayat 3-5 kita menemukan jawabannya, yakni para hakim ini gagal melaksanakan funhsi mereka sebagai penguasa, pembuat aturan, dan penentu keadilan di dunia. Mereka gagal untuk:
-          Memberikan keadilan kepada yang lemah (ay.3a)
-          Membela hak orang sengsara dan kekuarangan (ay.3b)
-          Melepaskan orang miskin dari cengkraman orang fasik (ay.4)
-          Menuntun ke jalan yang benar mereka yang tidak mengerti (ay.5)

TUHAN Allah Israel, menurut Asaf, memberikan kedudukan yang sangat tinggi bagi para hakim ini, yakni mereka adalah para allah (ay.6) yakni penguasa dunia yang diberi gelar anak-anak Yang Mahatinggi. Namun karena kegagalan mereka, dan kejahatan mereka yang tidak melaksanakan tanggungjawab besar dari kedudukan tinggi mereka, maka Sang Mahatinggi telah hadir untuk menghakimi mereka dan membuat keputusan yang tak terelakkan yakni kebinasaan bagi mereka (ay.7).

Kita menemukan makna penting antara tugas dan jabatan. Bahwa jabatan hanya hadir jika telah ada fungsi tugas atau tanggung jawab kerja. Di Israel, seorang yang membuat aturan, menegagkan keadilan, menuntun banyak orang disebut sebagai hakim atau mendapat jabatan hakim. Maka ketika si hakim tidak melaksanakan fungsi tugasnya sebagai hakim, dengan sendirinya ia dianggap bukan hakim lagi dan oleh TUHAN ia dibinasakan.

Pada bagian akhir, seakan bosan dan tak sanggup melihat praktek ketidak-adilan yang ia lihat, maka Asaf berseru kepada Allah agar TUHAN sajalah yang melaksanakan fungsi tugas ini, tidak ada yang baik dari mereka, hanya TUHAN saja yang memiliki kuasa atas dunia ini (ay.8). Kegagalan mereka (para allah) melaksanakan fungsinya, membuat umat berseru memohon kehadiran TUHAN untuk mendatangkan keadilanNya bergulung-gulung di muka bumi ini. Jika Ia yang datang sebagai Hakim, maka tidak ada satupu yang luput dari mataNya termasuk para pembuat keputusan hukuman, penguasa dan pembuat ketidakadilan.



RELEVANSI DAN APLIKASI
Pokok-pokok pikiran yang dapat menjadi bahan relevansi Firman ini bagi kehidupan umat percaya adalah:
1.      Ketidak-adilan bukan barang baru di dunia ini termasuk di Indonesia. Itu seakan menjadi “lumrah” terlihat di mana-mana. Tetapi bukan berarti hal yang “lumrah” itu layak untuk dilakukan. Tidak ada kata “wajar” bagi kejahatan dan ketidk-adilan.

Sebagaimana Asaf, kita diajar untuk tidak lelah mencari keadilan dan memperjuangkannya. Tanpa usaha memperjuangkan keadilan, maka kondisi “tak adil” akan terus terjadi.  

2.      Sebagai ibu rumah tangga dan seorang istri, kita dapat memulainya di rumah, yakni dengan mengajarkan keadilan kepada anak-anak. Memperhatikan mereka tanpa “pilih kasih”, menyatakan salah bila salah, menegur dan tidak membarkan kejahatan “kecil” terjadi di rumah. Hal-hal seperti ini juga adalah cara kita mempraktekkan keadilan disekitar kita.

3.      Pada waktunya nanti, tiap kita akan mempertangung-jawabkan segala sesuatunya (lihat ay.7). Pedulikah kita kepada mereka yang membutuhkan tuntunan, arahan dan pertolongan (lih. ay.3-5).

Silakan kembangkan materi ini sesuai kondisi dan kebutuhan umat yang mendengarkan Firman ini.







No comments:

Post a Comment