Monday, September 24, 2018

1 SAMUEL 13:1-12 JANGAN MENGANDALKAN PIKIRAN


1 SAMUEL 13:1-12
JANGAN MENGANDALKAN PIKIRAN
Bahan Bacaan Alkitab Ibadah Minggu
30 SEPTEMBER 2018

PENGANTAR
Saul merupakan raja pertama di Israel. Dalam bahasa Ibrani, nama Saul (שָׁאוּל = Sya’ul; baca: Saul) berarti “yang diminta”. Ia adalah putra Kisy dari suku Benyamin yang oleh Samuel diurapi menjadi Raja secara sembunyi-sembunyi (10:1) dan secara resmi diumumkan di hadapan umum melalui upacara di Mizpa (10:17-25).

Kisah ini bermula dari pasal 10:8, yakni setelah Saul diurapi oleh Samuel. Nabi ini berpesan kepadanya: “… Engkau harus pergi ke Gilgal mendahului aku, dan camkanlah, aku akan datang kepadamu untuk mempersembahkan korban bakaran dan korban keselamatan. Engkau harus menunggu tujuh hari lamanya, sampai aku datang kepadamu dan memberitahukan kepadamu apa yang harus kaulakukan.". Maksud dari pemberian pesan tersebut adalah tangung-jawab Samuel-lah untuk mempersembahkan korban bakaran kepada TUHAN, Allah Israel. Tugas keimaman ini adalah wewenang Samuel dan bukan Saul.

Rupanya perintah sederhana ini gagal ditaati Saul, sehingga di mata TUHAN, melalui mulut Samuel, Saul dianggap cacat dan melanggar perintah Allah.

TELAAH PERIKOP

Mari memperhatikann runtut kisah ini, untuk mengetahui bagaimana hingga Saul melanggar perintah Samuel tersebut yang kemudian berdampak buruk pada karir dan jabatannya sebagai raja pertama di Israel.

1.      Kemampuan strategi perang Saul (ay.1-3)
Kemampuan memimpin perang dan semangat membela bangsanya, tidak perlu diragukan pada diri Saul. Hal ini terlihat dalam kisah sebelumnya ketika ia berhasil mengalahkan bangsa Amon yang mengancam kita Yabets-Gilead (lihat pasal 11:1-11). Bahkan raja Saul dalam kemenangan itu tidak menjadikan ia sebagai raja yang arogan, melainkan justru murah hati. Hal ini terlihat ketika ia tidak meluluskan keinginan pengikutnya untuk membunuh mereka yang menentang Saul sebagai raja (11:12-13).

Kemampuan strategi perang Saul terlihat juga pada bacaan kita ketika ia hendak berperang melawan Filistin di usia 2 tahun sebagai raja (ay.1). Ia membagi pasukan yang berjumlah 3000 orang itu ke dalam dua regu pasukan, yakni 2000 orang bersamanya di Mikhmas dan 1000 orang bersaman Yonathan (anaknya) di Gibea (ay.2).

Strategi ini berhasil baik. Saul melalui pasukan Yonathan berhasil memenangkan perang di daerah Geba dan memukul kalah orang Filistin (ay.3). Hal ini menyukacitakan Saul, sehingga kemenangan ini diumumkan ke seluruh orang Ibrani yang dipanggil berkumpul melalui bunyi Sangkakala.

2.      Merayakan kemenangan memicu peperangan baru (ay.4-5)
Selanjutnya berita ini tersebar dan meluas hingga sampai ditelinga orang Filistin. Reaski mereka jelas, yakni marah dan merencanakan perang balasan atas kekalahan yang dialami. Jumlah pasukan besar dikerahkan untuk membalas kekalahan di Gibea itu. Tidak tanggung-tanggung, pasukan yang dikumpulkan 6000 orang pasukan berkuda dengan 3000 kereta perang dan bahkam penulis kitab Samuel ini menyebut jumlah pasukan berjalan kaki sebanyak sebanyak pasir di laut (ay.5)


3.      Dampak dari kepanikan yang berlebihan (ay.6-12)
Sudah pasti kondisi ini mengejukkan pasukan Israel. Kekuatan pasukan Filistin berhasil mendesak pasukan Israel. Apa yang terjadi kemudian? Pasukan terserak-serak, banyak yang lari menyelamatkan diri, bersembunyi di gua, bukit batu, perigi, liang batu (ay.6). Para prajurit dan rakyat yang mengikuti Saul mengalami ketakutan luar biasa. Mereka gemetar menghadapi orang Filistin (ay.7). Kondisi ini sangat manusiawi. Siapapun pasti terkejut dan takut melihat pasukan besar orang Filistin.

Walaupun tidak menyebutkan bahwa Saul takut, namun dapat dipastikan bahwa sebagai raja yang melihat kekalahan di ujung mata dan kocar-kacirnya rakyat yang ia pimpin, sudah pasti sangat mengkuatirkan Saul. Apa yang Saul buat? Inilah awal persoalannya. Dalam kepanikan itu Saul kemudian mempersembahkan korban bakaran kepada Allah (ay.9). Mengapa ia melakukannya? Karena hingga 7 hari ia menunggu Samuel, tetapi nabi itu tidak datang.

Fatalnya, ketika selesai mempersembahkan korban bakaran itu, ternyata Samuel datang dan hadir di tengah pasukan (ay.10). Sebagaimana disebutkan dalam pengantar tadi, Saul mendapat perintah untuk menungu Samuel di Gilgal selama 7 hari, dimana Samuel akan mempersembhakn korban di tempat itu dan memberikan petunjuk apa yang akan dilakukan Saul selanjutnya (10:8). Kenyataannya, Saul tidak mengindahkan perintah itu. Mengapa Saul melanggar perintah? Mengapa ia tidak menunggu Samuel? Paling tidak ada beberapa alasan, yakni:

Pertama, Kepanikan Saul. Siapa yang tidak panik dan takut. Raja yang baru saja 2 tahun memerintah, raja pertama yang masih belia dihadapkan dengan kehancuran kerajaan yang baru dibentuk itu. Bukan hanya Saul yang panik, tetapi juga seluruh rakyatnya. Kepanikan masal mungkin adalah istilah yang tepat untuk kondisi saat itu. Sialakan bayangkan situasi yang terjadi dan pemandangan di depan mata Saul. Yang dipikirkan Saul adalah bagaimana supaya selamat menghadapi kehebatan Filistin. Sangat mungkin ia terpikir “TUHAN” sebagai jalan keluar. Sehingga tidak heran, ia kemudian berinisiatif untuk mempersembahkan korban bakaran kepada Tuhan.

Kedua, ketidak-sabaran Saul. Samuel berjanji bahwa ia akan datang ke Gilgal setelah tujuh hari (10:8). Ternyata sampai pada waktu yang ditentukan Samuel tidak datang (ay.9). Menunggu adalah pekerjaan membosankan. Apalagi menungu dalam situasi yang mengerikan, terdesak dan dalam keadaan takut. Jalan pintas menjadi satu-satunya peluang untuk keluar dari masalah itu. Tidak heran jika Saul berinisiatif untuk segera mempersembahkan korban bakaran.

Andaikata Saul menungu sedikit lagi dan memiliki kesabaran yang cukup, maka peristiwa itu tidak akan terjadi. Sebab Samuel ternyata datang di hari ke-7 seusai korban bakaran itu dipersembahkan Saul. Yah… ketidak-sabaran Saul, mentalitas instan di situasi yang mendukung, membuatnya gagal untuk taat pada perintah yang tidak berat itu, yakni menungu Samuel datang.

Ketiga, Rapat Pikiran. Perhatikan jawaban Saul di ayat 11 dan 12 ketika ia ditanya Samuel alasan ia membakar korban bakaran itu. Selain karena ketakutan karena pasukan Filistin (ay.11), rupanya juga Saul sedang “rapat pikiran”,  dan berandai-andai, apa jadinya jika Samuel tidak datang. Hasil buah pikirannya adalah segera membuat korban bakaran. Saul mengandalkan buah pikirannya dan bukan mengandalkan ketaatan kepada perintah Allah melalui kesepakatannya dengan Samuel tetntang waktu tunggu tujuh hari itu.

Keempat, Tujuan baik jangan menghalalkan segala cara. Saul tidak mendapat tugas untuk mempersembahkan korban di hadapan Allah. Ia bukan imam, ia adalah raja yang bertugas memimpi umat. Tanggung-jawab untuk mempersembahkan korban adalah tanggung-jawab Samuel. Tugas suci itu hanya boleh dilakukan oleh Samuel sebagai nabi yang ditunjuk oleh Allah. Tetapi dengan harapan mencapai kemenangan atau paling tidak mampu menghadapi Filistin, Saul memberanikan diri mengambil tugas itu. Tujuannya baik, apalagi mempersembahkan korban. Tapi tujuan yang baik itu tidak berarti kemudian mensahkannya melakukan sesuai cara yang ia anggap baik. Inilah kesalahan Saul. Dan karena itu ia dianggap tidak setia pada kehendak Tuhan sehingga kemudia kelak, posisinya sebagai raja akan digantikan, sebagaimana di nubuatkan Samuel (ay.13)


RELEVANSI DAN APLIKASI (Penerapan).
1.      Saul dan perioritasnya[1]
Dalam perikop ini nyata bahwa Saul memiliki prioritas berbeda dengan apa yang Tuhan kehendaki. Menjelang pertempuran melawan Filistin, Samuel berjanji akan datang dalam tujuh hari (8), tetapi ketika Samuel belum juga tiba, Saul tidak sabar sehingga lancang mempersembahkan kurban yang bukan tugasnya. Padahal Samuel datang pada waktunya, tepat sesuai janjinya (10). Ketidaksabaran dan ketidaktaatan inilah yang menyebabkan Tuhan mencabut janji-Nya atas kelanggengan dinasti Saul (14).

Dalam ayat 11-12, tampak bahwa Saul merasa dirinya begitu superior dan dibutuhkan oleh umat - dan mungkin juga oleh Tuhan - sehingga ia merasa dibutuhkan untuk melakukan fungsi sebagai imam yang seharusnya hanya boleh dijalankan oleh Samuel. Ia memberikan alasan seolah-olah ia tengah melakukan pengorbanan pribadi dengan mengambil alih fungsi Samuel yang belum hadir. Padahal sebenarnya ia tengah bertindak impulsif, tidak sabaran, dan melakukan hal yang tidak berkenan kepada Tuhan! Ia mencoba menjadi penguasa tunggal dengan memusatkan kekuasaan politis dan agama di tangannya sehingga ia tak lagi membutuhkan kehadiran Samuel sebagai imam.

Jelas bukan persembahan yang Tuhan inginkan, juga bukan ritual keagamaan yang Tuhan cari. Yang Tuhan kehendaki ialah ketaatan kepada-Nya. Saul hanya mementingkan kemenangan politis bagi dirinya dan juga kekuasaan serta kehormatan pribadi. Ia tidak lagi menempatkan Tuhan pada nomor satu dan ketika Tuhan tidak lagi di nomor satu, Ia juga tak akan bertahan lama di nomor dua. Di nomor berapakah Tuhan bagi kita? Kiranya Tuhan tetap menjadi perioritas utama

2.      Andalkan Allah dan ketaatan padaNya, bukan pikiran sendiri!
Saul gagal dan menjadikan keterlambatan Samuel sebagai alasan dari pelanggaran itu. Analiasa dan buah pikir menjadi andalannya. Komitmen untuk melakukan apa yang disepakati dan diperintahkan Allah melalui nabi Samuel dilanggarnya. Mengapa?

Saul beralasan: “…maka pikirku: Sebentar lagi orang Filistin akan menyerang aku di Gilgal, padahal aku belum memohonkan belas kasihan TUHAN; sebab itu aku memberanikan diri, lalu mempersembahkan korban bakaran." (ay.12). Saul mengandalkan kemampuan berpikirnya, bukan keyakinan dan Iman bahwa Allah pasti hadir melalui kehadiran nabiNya itu.

Demikian juga kita. Apapun alasannya, jangan hanya kemampuan berpikir dan melihat kenyataan di depan mata yang jadi acuan kita membuat keputusan. Menanti dan menunggu jawaban Tuhan adalah hal penting untuk dilakukan. Orang yang tidak sabar justru gagal menerima pertolongan Tuhan. Inilah yang dialami Saul.




[1] Diambil dari Santapan Harian edisi: Senin 12 Mei 2014. Lihat link tautan berikut: http://renungan.stefanussusanto.org/2014/05/e-sh-12-mei-1-samuel-131-22-ketika.html

No comments:

Post a Comment